25. Perihal hubungan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy Reading

🍀🍀🍀

Aku terpaksa membohongi Buna sore ini untuk pergi bekerja ke rumah bu Ineke. Aku mengatakan bila ada tugas kelompok salah satu mata kuliah yang harus kuselesaikan hari ini juga. Aku juga meminta Buna untuk tidak menungguku pulang, sebab ada kemungkinan aku akan pulang malam hari ini. Beruntungnya, Buna tidak banyak bertanya. Mungkin, karena Buna tengah sibuk mengurusi orderan-orderan kecil yang masuk hari ini.

Jarak rumahku dengan rumah bu Ineke cukup dekat, namun aku memilih untuk mengayuh sepeda agar Buna tidak mencurigai alasanku. Tak butuh waktu lama, aku sampai di depan rumah bu Ineke. Aku mendorong gerbang rumahnya untuk memasukkan sepedaku ke pekarangan rumah bu Ineke.

Setelah memarkirkan sepeda, aku lantas menekan bel rumah. Bu Ineke keluar dengan pakaian rapinya, tidak lagi memakai daster seperti yang ia kenakan tadi pagi. Mungkin, ia sudah bersiap untuk berangkat ke restoran.

“Wah, on time sekali kamu, Hafika,” puji bu Ineke setelah mengecek jam tangannya. “Ayo, masuk.”

Aku menganggukkan kepalaku lantas berjalan masuk ke dalam rumah megah milik bu Ineke. Untuk beberapa saat, aku begitu terpana dengan desain minimalis rumah ini. Walau tidak semewah rumah Haydan, setidaknya rumah bu Ineke mempunyai daya tariknya tersendiri.

“Ayo, biar saya kenalin dulu kamu ke putri saya. Kebetulan, dia ada di kamar dan baru selesai mandi,” ucap bu Ineke.

“Baik, Bu.”

Aku langsung mengekori bu Ineke di belakang hingga kami tiba di sebuah ruangan yang kuyakini merupakan kamar putri bu Ineke. Terbukti dari warna merah muda yang mendominasi ruangan tersebut.

“Kia, sini, Sayang.”

Seorang anak perempuan yang tengah duduk di atas ranjang kecil miliknya tersenyum, dan segera berlari ke pelukan bu Ineke. Bu Ineke lantas menggendong putri kecil nan menggemaskannya.

“Bunda, ini ciapa?”

“Kia sayang, kenalin, ini Kakak Hafika. Kakak Hafika yang akan jagain Kia nanti kalau Bunda sama ayah pergi bekerja. Ayo, kenalan dulu sama kakaknya.”

Aku tersenyum lalu mengulurkan tanganku untuk mengelus pelan pipi chubby milik Kia. “Halo, Kia. Kenalin, nama Kakak Hafika.”

“Halo, Kak Hafika. Aku Kia,” ujarnya dengan nada cadel khas anak kecil.

“Kia suka permen, nggak?” tanyaku lantas mengeluarkan beberapa bungkus permen jelly yang tadi kubeli di warung sebelum datang ke sini.

“Pelmen?” Kia membeo, lantas menatap ke arah bu Ineke. “Kia boleh makan pelmen, Bunda?”

“Boleh, tapi jangan banyak-banyak, ya, Sayang.”

Kia tersenyum puas lalu dengan ragu ia meraih permen yang ada di tanganku.

“Bilang apa dulu sama Kak Hafikanya, Sayang?”

“Telima kacih, Kak Hafika.”

Aku tersenyum seraya mengusap puncak kepala Kia dengan perlahan. “Sama-sama, Anak cantik.”

“Oh, iya, Kia mau digendong sama Kakak, nggak?” Aku menawarinya. Awalnya, anak perempuan itu terlihat takut. Namun, bu Ineke langsung meyakinkan Kia bahwa aku bukanlah orang jahat.

“Kia mau digendong sama Kak Hafika!” ujarnya dengan gembira.

Bu Ineke lantas memindahkan Kia dari gendongannya kepadaku. Untuk usia anak 3 tahun, berat badan Kia tidaklah terlalu berat, sehingga aku masih mampu menahan bebannya.

“Kia baik-baik, ya, sama Kakak Hafikanya. Jangan nakal. Bunda sebentar lagi mau berangkat kerja.”

“Iya, Bunda.”

“Pinter anak Bunda. Ya udah, Hafika, saya titip Kia, ya. Jaga Kia baik-baik. Kianya udah makan. Kalau dia mau ngemil, cemilannya udah saya siapin di atas meja. Kamu tinggal ambil di dapur aja, ya. Kamu juga kalau mau makan apa, atau minum apa, langsung ambil aja di dapur. Jangan sungkan, ya?”

“Iya, Bu. Saya akan jagain Kia dengan baik. Terima kasih banyak untuk kepercayaannya.”

Setelah aku mengajak Kia untuk mengantar bu Ineke yang akan berangkat ke restoran ke depan, aku membawanya kembali ke kamar. Aku mengajaknya untuk bermain beberapa boneka beruang yang ada di kamarnya. Untuk beberapa waktu pertama, Kia mungkin terlihat kaku untuk berinteraksi denganku. Maklum saja, namanya juga anak kecil.

Namun, lama-kelamaan, kami sudah semakin akrab. Terkadang, aku mengusilinya dengan menyembunyikan boneka beruangnya di bagian belakang punggungku. Lalu, aku menggelitik bagian tubuhnya sehingga ia berhasil tertawa dengan begitu lepas.

“Kak Hafika, Kia mau ngemil,” pinta Kia.

“Kia mau ngemil? Sebentar, ya. Kakak ambilin cemilannya dulu. Kamu main dulu di sini, ya. Yang anteng,” ucapku sebelum bergegas ke dapur untuk mengambilkan cemilan bagi Kia.

Sekembalinya aku ke kamar, aku tersenyum karena Kia masih di tempat, bermain bersama dua boneka beruang berwarna cokelatnya tanpa pergi kemana-mana. Kia benar-benar anteng untuk anak seumurannya yang biasanya suka meloncat ke sana kemari.

“Kia, ini Kakak bawain cemilannya. Bonekanya dipinggirin dulu, biar nggak kena cemilannya. Nanti bonekanya bersemut, loh, kalau kena cemilannya,” ucapku lalu membantu Kia menggeser bonekanya ke samping. Gadis itu mengambil cemilan serealnya dengan sendok yang ada, lantas menyuapkan cemilan itu ke mulutnya. Kia sudah pandai makan sendiri rupanya, sehingga aku hanya perlu mengawasinya. Takut-takut bila ia makan berceceran atau tersedak karena terburu-buru menghabiskan serealnya.

Waktu terus bergerak maju, sampai akhirnya aku mendengar suara deru mobil yang begitu dekat. Tak lama setelah itu, suara decitan pintu yang terbuka menyusul.

“Itu pasti ayah dan bunda,” ucap Kia mengangkat jari telunjuknya seraya tersenyum. “Kak Hafika, ayo kita kelual,” ajaknya.

Dan, ternyata benar. Bu Ineke dan suami telah pulang. Setelah menunggu bu Ineke berbenah habis pulang bekerja, aku pun dipersilakan untuk pulang.

Aku kembali mengayuh sepedaku untuk pulang ke rumah. Jarum pendek di jam tanganku nyaris menunjuk ke angka 9 saat aku tiba ke rumah.

Dengan perlahan, aku membuka pintu, berharap tidak membangunkan Buna yang kemungkinan besar sudah tidur. Namun, sayangnya, ternyata aku salah. Buna belum tidur. Sepertinya, Buna menungguku sedari tadi di kursi ruang tamu.

“Malem banget kerja tugasnya, Sayang?” tanya Buna saat aku menyalami tangannya.

“Maaf, Buna. Soalnya, tugasnya banyak banget dan harus diselesaikan malam ini juga. Makanya, Hafika pulangnya agak malem. Lagi pula, Buna kenapa tungguin Hafika? Kan, Hafika udah bilang tadi, Buna istirahat aja, nggak usah tungguin Hafika sampai pulang.”

Buna mendesah pelan. “Gimana bisa Buna tidur kalau kamu belum pulang, Sayang? Buna kan khawatir sama kamu.”

Aku sedikit merasa bersalah karena telah membuat Buna khawatir.

“Ngomong-ngomong, kamu udah makan, belum?” tanya Buna yang langsung kubalas dengan gelengan kepala disertai cengiran kecil.

“Ya ampun, kebiasaan, deh, kamu. Lain kali, sesibuk apa pun itu, kamu harus tetap ingat makan. Jangan sampai menunda makan, Sayang. Nanti kalau kamu mag, gimana?”

“Maaf, Buna. Hafika kelupaan soalnya. Ya udah, sekarang Buna temenin Hafika makan, yuk. Hafika laper,” ucapku lantas menarik tangan Buna untuk mengikutiku ke ruang makan.

Setelah mencuci tangan, aku langsung menyantap penuh selera makanan yang disajikan Buna di meja makan.

“Sayang, tadi nak Haydan ke sini,” ucap Buna yang membuatku berhenti menyuapkan nasi ke mulutku. Aku menatap Buna yang saat ini hanya menemaniku makan di meja makan.

“Oh, iya, Bun,” jawabku singkat kemudian melanjutkan acara makan malamku.

“Kamu lagi ada masalah sama nak Haydan?”

Aku mengernyitkan keningku. “Kenapa Buna bisa narik kesimpulan kayak gitu?”

“Soalnya, tadi pas nak Haydan datang, raut wajahnya kayak banyak beban pikiran. Makanya, Buna tanya, kamu lagi ada masalah nggak sama nak Haydan.”

“Oh, gitu ... nggak, Buna. Hafika nggak lagi ada masalah sama Haydan. Semuanya baik-baik aja.”

Ya, kuharap begitu. Tapi, nyatanya, aku dengan Haydan sedang tidak baik-baik saja. Rasa kecewa masih begitu menghantui isi hatiku.

“Buna berharap juga seperti itu. Lain kali, kalau kalian ada masalah, kalian harus menyelesaikan masalah itu dengan bijak, ya, Sayang. Ingat! Kalau ada masalah, yang diselesaikan itu masalahnya, bukan hubungannya. Kamu paham, kan, Sayang?”

Aku menganggukkan kepalaku. “Paham, Buna. Makasih untuk nasihatnya. Hafika bakal selalu ingat soal itu.”

“Ya udah, kalau gitu sekarang kamu buruan habisin makanannya. Lalu, kabarin Haydan kalau kamu udah pulang. Takutnya, dia nyariin kamu,” saran Buna yang membuatku seketika teringat. Sedari kemarin, aku sudah memblokir semua sosial media milik Haydan, pantas saja lelaki itu tidak berupaya mencariku di sana.

Namun, persetan dengan semua itu, aku lantas lanjut menghabiskan makananku.

“Sayang ...,” panggil Buna. “Soal kerja kelompok, kamu beneran pergi buat ngerjain tugas, kan? Kamu nggak bohongin Buna kayak kemarin-kemarin lagi, kan?”

🍀🍀🍀

1.276 words
©vallenciazhng_
January 15, 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro