29. Pembelaan Haydan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy Reading

🍀🍀🍀

“Ternyata, ancaman gue masih nggak mempan, ya, buat lo?” Marinka menatapku dengan tajam. Dari sorotan matanya, aku dapat menangkap kilatan emosi. Ia mencengkeram erat tangan kananku dengan jemarinya.

“Apaan, sih, Marinka. Lepasin tangan aku,” ucapku sembari mencoba melepaskan cekalan Marinka di tanganku. Sungguh, walaupun kami sama-sama perempuan, tapi harus kuakui bahwa tenaga yang dimiliki Marinka lebih besar dari tenagaku. Aku nyaris menyerah untuk melepaskan tanganku dari gadis itu, sebab semakin lama cekalan itu terasa semakin menyakitkan.

“Lo pikir, ancaman gue selama ini cuma main-main. Iya?!”

“Plis, lepasin aku, Marinka. Sakitt,” ringisku. Namun, Marinka tetap tidak melepaskan cekalannya.

“Gue udah bilang apa sama lo? Jauhin Haydan dan keluarganya. Masih belum cukup dengan apa yang udah gue lakuin ke nyokap lo? Atau, lo sengaja mancing gue untuk berbuat lebih nekat dari kejadian kemarin?” Senyum miringnya mengembang, membuat nyaliku seketika menciut.

Sungguh. Tatapan Marinka benar-benar menakutkan. Aku memalingkan pandanganku dari wajahnya sembari tetap mencoba melepaskan tanganku.

“Gue udah bilang sama lo, jauhin Haydan. Apa susahnya, sih?”

“Aku pacarnya Haydan. Mana mungkin aku jauhin dia,” ujarku berusaha membela diri. Persetan dengan status pacaranku dan Haydan yang hanya sebatas pura-pura.

“Pacar? Gue sebenarnya gak yakin lo beneran pacaran sama Haydan. Karena, secara, ya, kalian itu beda kasta,” kata Marinka sedikit merendahkanku, disusul dengan tawanya yang menggelegar. Caranya tertawa persis seperti nenek lampir yang ada di film-film barat.

“Ini terakhir kalinya gue peringatin sama lo. Jauhin Haydan atau gue bakal ....”

“Bakal apa?”

Aku sontak menoleh ke belakang dan mendapati Haydan yang berada di sana. Wajah Haydan tampak begitu serius. Kedua tangan yang ia lipat di depan dada justru menambah kesan serius pada lelaki itu.

Entah efek takut pada Haydan atau refleks karena terkejut, Marinka melepaskan cekalan tangannya. Dengan secepat mungkin, aku menarik tanganku kembali. Bekas kuku panjang gadis itu tercetak di tanganku. Pantas saja, rasanya begitu perih.  Aku melangkah dan berlindung di balik tubuh tegap milik Haydan, takut-takut jika Marinka akan kembali menahan pergelangan tanganku.

“Bakal apa gue tanya?” Haydan mengulangi pertanyaannya.

“Eh, Haydan, ehm, itu ... aku,” jawab Marinka yang terdengar gugup. Gadis itu bahkan menundukkan kepalanya, tidak lagi berani menatap wajah Haydan.

“Gue suruh lo pulang. Bukan nyari masalah baru dengan coba mengancam pacar gue,” tegas Haydan dengan penuh penekanan.

Di saat-saat seperti ini, aku merutuki hatiku yang seketika menghangat karena perkataan Haydan tadi. Secara tidak langsung, ia membelaku dan berusaha untuk melindungiku.

“Tapi, Dan, bukan aku yang duluan. Di—”

“Trus, Naya yang mulai duluan gitu?” Haydan berdecih. “Lo pikir gue bodoh apa? Nggak bisa ngelihat mana gadis baik-baik dan mana yang tukang ngancam.”

“Aku berani sumpah, Dan—”

“Gue nggak butuh sumpah lo, Marinka!” bentak Haydan yang membuatku sedikit tersentak.

“Lebih baik ... sekarang lo pergi dari sini atau jangan salahkan gue kalau bakal main kasar ke lo!”

“Oke, Dan, oke. Aku bakal pulang. Keep calm, Baby,” ujar Marinka perlahan. Gadis itu dengan segera mengambil tas juga hadiah yang sempat ingin ia berikan kepada Nika, lalu beranjak keluar.

Namun, sebelum kakinya menginjak ke bagian teras rumah Haydan, suara lelaki yang ada di dekatku kembali terdengar.

“Satu lagi, jangan coba-coba buat nekat ngancam Naya atau lo bakal tahu akibatnya!”

🍀🍀🍀

Setelah kepulangan Marinka, kupikir suasana di ruang tamu itu akan kembali normal. Sayangnya, tidak. Sebab, setelah Marinka yang diberikan tatapan tajam oleh Haydan, kini malah giliranku. Lelaki itu menatapku begitu tajam. Aku tidak tahu apa maksudnya, sampai bibirnya bersuara.

“Gue suruh lo nyusul ke kamar Nika, bukannya malah diam di ruang tamu kayak tadi. Lo tuli atau gimana, sih?”

Aku mendengkus mendengar omelan lelaki itu. Apa ia tidak puas membuat telingaku panas saat tadi memarahi Marinka?

“Nay, kalau gue ngomong itu dijawab,” ucapnya lantas mencengkeram tanganku, tepat di bagian yang sama dengan cengkraman Marinka tadi. Aku refleks meringis seraya mencoba menjauhkan tangan Haydan dari sana.

“Eh, sorry.” Dengan cepat, ia menarik tangannya menjauh. Namun, itu tidak berlangsung lama, sebab lelaki itu kembali menyentuh permukaan tanganku. Kali ini, sentuhannya begitu pelan. Mungkin, ia takut kembali melukaiku dan membuatku menjerit menahan perih.

“Ini ulah Marinka?” tanyanya. Aku anggap, itu pertanyaan formalitas. Seharusnya, tanpa aku menjawab pertanyaan itu, ia sudah dapat mengambil kesimpulannya.

“Sakit?” tanya Haydan kembali.

“Udah nggak terlalu,” ujarku berbohong. Padahal, jelas, rasanya masih begitu perih.

“Duduk dulu, Nay. Bentar, gue ambilin minum.”

Lelaki itu lalu meninggalkanku—untuk sesaat—dan membawakan segelas air untukku. “Diminum dulu,” perintahnya.

Aku sedikit terheran. Untuk apa lelaki itu memberikanku minum? Yang sakit itu tanganku. Harusnya, ia membawakan sesuatu yang dapat meringankan rasa perih  bekas cengkraman Marinka tadi.

Sebentar, kenapa aku jadi berharap diperhatikan lebih oleh Haydan?

“Udah tenangan?” tanya lelaki itu yang membuatku memiringkan kepalaku.

“Maksudnya?”

“Lo udah nggak shock karena ulah Marinka tadi, kan?”

Ah, aku baru tahu. Alasan lelaki itu memberikanku minum ialah karena ia mengira aku sedikit shock akibat ulah Marinka tadi.

Aku menggelengkan kepalaku. “Nggak. Biasa aja. Cuma sedikit terkejut aja pas Marinka tiba-tiba cengkeram tangan aku.”

“Gue minta maaf, karena lo bantuin gue soal perjodohan ini, lo harus jadi samsak kemarahan Marinka,” ujar Haydan.

It's okay, Dan. Kamu nggak perlu minta maaf sama aku,” kataku dengan tulus.

“Tangan lo beneran udah nggak sakit? Jujur sama gue,” ucap Haydan menatapku. Saat ini, tatapan kami berdua bertemu, seolah sedang mengadu kelopak mata siapa yang lebih dahulu berkedip.

“Nay,” panggil Haydan yang membuatku seketika tersadar.

“Eh, apa tadi?” tanyaku yang lupa akan pertanyaan lelaki itu tadi.

“Tangan lo beneran udah nggak sakit?”

Aku mengangguk perlahan.

“Marinka sering ngancam lo?”

Aku menggelengkan kepala.

“Tapi, tadi?”

Aku hanya terdiam, tidak menjawabnya lebih lanjut.

“Nay, jujur sama gue. Sebelum ini, Marinka udah pernah ngancem lo?”

“Nay, jawab gue,” desak Haydan yang membuatku menghela napas. Aku menatap lelaki itu dalam sebelum akhirnya menggelengkan kepalaku.

“Nggak, Dan. Udah, kamu nggak usah khawatir. Aku bisa jaga diri aku sendiri, kok.”

Entahlah, tapi mengapa aku merasa Haydan begitu protektif terhadapku? Lagi pula, aku sudah dewasa, aku bisa menjaga diriku sendiri.

“Bukan tentang itu, Nay,” ujarnya. “Bukan tentang lo yang bisa jaga diri sendiri, tapi tentang kewajiban gue buat jagain lo. Lo pacar gue—”

“Pacar pura-puraan,” koreksiku.

“Iya. Walaupun cuma sebatas pacaran pura-pura, lo tetap tanggung jawab gue, Nay. Dan, gue nggak bakal biarin seorang pun buat nyentuh lo.”

🍀🍀🍀

1.022 words
©vallenciazhng_
January 18, 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro