9. Jemput

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy Reading

🍀🍀🍀

Hujan dengan cepat mengguyur bumi sesaat setelah aku menginjakkan kaki di teras rumah. Dalam hati, aku bersyukur sebab hujan itu datang tepat waktu. Ia datang setelah aku sampai di rumah, sehingga aku tidak perlu merasakan guyuran hujan yang membasahi tubuhku.

"Sayang, kenapa kamu baru pulang? Kamu habis dari mana aja?" Suara Buna dengan cepat mengisi ruang telingaku, menggantikan suara hujan yang kini mulai menderas.

"Tadi Hafika mampir bentar ke makam ayanda, Bun, makanya agak telat dikit," ujarku sembari melepas sepatu kets yang kugunakan untuk pergi ke kampus. Aku dapat mendengar helaan napas Buna di sela-sela suara hujan.

"Buna kirain kamu kemana tadi. Kamu kenapa gak ajak Buna ke makam ayanda? Buna udah lama juga gak ke sana."

"Maaf, Bun. Hafika kirain, Buna tadi bakalan sibuk antarin kue ke pelanggan Buna, jadinya Hafika pergi sendiri aja."

"Ya udah, deh. Lain kali, kalau kamu mau pergi, ajak Buna, ya."

Aku dengan cepat menganggukkan kepalaku. Buna lantas mengajakku masuk ke dalam, sebab berlama-lama di luar bukanlah pilihan yang tepat. Udara dingin begitu menusuk ke tulang-tulang.

"Bun, Hafika ke kamar dulu, mau naruh barang, ya," ujarku kepada Buna, kemudian berjalan berbeda arah dengan Buna yang kini menuju dapur.

🍀🍀🍀

Aku berjalan menuju nakas sembari mengelap rambut basahku bekas mandi tadi guna mengambil ponsel yang sedari tadi berdering.

From : Haydan
Ada yang perlu gue bicarain.
Share alamat rumah lo.
Besok sore jam 5 gue jemput.

Aku membelalakkan mataku ketika membaca baris pesan terakhir yang dikirimkan oleh Haydan. Aku tentu tidak dapat mengizinkannya. Aku tidak ingin lelaki itu bertemu dengan Buna. Terlebih, aku takut bila Haydan akan membocorkan masalah yang kemarin kepada Buna. Sungguh, ini tidak boleh terjadi. Buna akan merasa bersalah jika ia tahu perihal ini.

To : Haydan
Kamu kasih tahu aja lokasinya di mana.
Biar aku pergi sendiri, gak perlu kamu jemput.

Sembari menunggu balasan dari Haydan, aku meletakkan ponselku kembali di atas nakas dan melanjutkan aktivitasku mengeringkan rambut. Aku membuka kipas angin yang ada di kamarku dan mengaturnya hingga ke kecepatan tertinggi. Bukannya gerah. Hanya saja, aku terbiasa mengeringkan rambutku di depan kipas agar cepat kering.

Sebuah notifikasi terdengar dari ponselku. Itu pasti balasan dari Haydan. Aku segera membuka layar kunci ponsel dan mengecek pesan itu. Tapi, aku salah. Pesan itu bukan berasal dari Haydan, melainkan dari operator yang menawarkan promo kuota internet. Mungkin, aku terlalu percaya diri, sehingga mengira bahwa Haydan akan dengan cepat membalas pesanku.

Ponselku bergetar kembali saat aku hendak mematikan layar. Kali ini, pesan yang datang itu benar-benar dari Haydan.

From : Haydan
Gue jemput lo.
Share alamat lo.
Gue gak nerima penolakan.

Aku menghela napas. Mengapa pesan yang dikirimkan oleh Haydan seperti tidak asing? Seperti, kata-kata yang biasanya diucapkan oleh tokoh cerita dalam novel saat permintaannya ditolak oleh lawan bicaranya. Dan, biasanya, jika lawan bicaranya masih berusaha melakukan penolakan, maka si tokoh akan berusaha mencari tahu sendiri mengenai apa yang ia inginkan dari lawan bicaranya.

Ah, aku tidak bisa diam saja. Aku tidak boleh membiarkan Haydan yang turun tangan sendiri untuk mencari tahu tentangku. Apalagi, ia berasal dari keluarga yang kaya raya. Pastinya, bukan hal yang sulit untuk Haydan membayar orang suruhan guna mencari tahu semuanya.

To : Haydan
Jemput aku di univ Pancasila aja.
Kebetulan, aku ada urusan di kampus jam segitu.

Dengan sangat terpaksa, sepertinya besok aku akan izin kepada Buna seharian di kampus. Walaupun, kelas terakhirku berakhir jam 2 siang, tapi mau tak mau aku harus tetap stand by di kampus. Setidaknya, untuk menahan Haydan agar tak nekat datang ke rumah guna menjemputku.

From : Haydan
Oke.
Sampai jumpa besok.

🍀🍀🍀

"Halo, Buna. Hafika mau ngabarin, hari ini kayaknya Hafika pulangnya agak malam. Soalnya, Hafika baru inget, ada tugas kelompok yang harus diselesaikan malam ini."

Saat ini, aku tengah menelepon Buna dan memberitahukan perihal keterlambatan pulangku. Sebenarnya, aku ingin memberitahu Buna tadi pagi sebelum berangkat ke kampus. Sayangnya, karena aku sedang buru-buru, aku baru bisa mengabari Buna sekarang ini.

"Oh, ya udah, Sayang. Jangan terlalu larut. Hati-hati nanti pulangnya, ya," jawab Buna di ujung telepon. Setidaknya, itu adalah pesan terakhir yang Buna ucapkan di telepon sebelum aku memutuskan panggilannya.

Aku menghela napas melihat 4 digit angka yang ada di ponselku.

14.05

Masih ada waktu kurang lebih 3 jam sebelum jam 5—saat dimana Haydan akan datang menjemputku—. Lalu, apa yang harus aku lakukan guna menghabiskan 3 jam itu agar tak terasa membosankan?

Aku menghela napas. Mengapa aku merasa menyesal atas keputusanku yang ini? Menunggu selama 3 jam di kampus bukanlah opsi yang tepat, sebab selalu saja, yang beratasnamakan "menunggu" adalah hal yang sangat tidak menyenangkan.

🍀🍀🍀

Jam 5 tepat, sesuai janji Haydan kemarin malam, lelaki itu datang ke kampus untuk menjemputku. Dan, seperti apa yang pernah ia katakan sebelumnya, ia memang seorang yang on time serta jauh dari jam karet. Aku benar-benar kagum dengan lelaki itu. Sungguh jarang, menemukan seseorang dari kaum adam yang begitu menghargai waktu. Sejauh ini, semua lelaki yang kukenal itu sama saja. Sama-sama tidak bisa menghargai waktu. Kecuali, Ayanda tentunya.

Saat ini, aku tengah berada di dalam mobil Haydan. Sejujurnya, aku sudah begitu lama tidak pernah menumpangi kendaraan beroda empat ini. Penciumanku terasa sedikit aneh kala menghirup udara dari AC mobil. Aku dengan cepat membekap hidung ketika rasa mual mulai menghampiriku.

"Lo kenapa?" tanya Haydan. Aku menatap Haydan dengan tatapan nanar, lantas menepuk-nepuk pintu mobil berharap lelaki itu segera memberhentikan laju mobilnya. Aku sedang dilanda mabuk mobil. Dan, sekarang juga, aku ingin memuntahkan semua yang ada di perutku untuk keluar.

"Lo kenapa, sih?" Haydan lalu benar-benar memberhentikan laju mobilnya. Dengan cepat aku membuka pintu mobil dan menumpahkan semua isi perutku. Bau tidak sedap lantas menyelimuti indra penciumanku.

"Ya ampun, Nay. Sebentar, gue beliin air." Suara Haydan terdengar panik. Aku tidak menatap ke arahnya, sebab masih sibuk meladeni rasa mual yang masih mengganjel.

"Udah mendingan?"

Aku menganggukkan kepalaku menjawab pertanyaan dari Haydan. Rasa-rasanya, isi perutku telah keluar semua setelah acara muntahku. Padahal, setengah jam sebelum Haydan datang menjemput tadi, aku sempat mengisi perut dengan batagor yang kubeli dari kantin kampus.

"Ini buat bersihin wajah dan tangan kamu yang kena muntahan."

Aku memandangi sebuah botol air mineral yang diulurkan Haydan kepadaku, lantas beralih menatap lelaki itu. Ia sama sekali tak mengindikasikan wajah jijiknya melihat keadaanku saat ini.

"Makasih."

🍀🍀🍀

"Kamu nggak jijik ngelihat aku tadi?" tanyaku penuh keheranan di sela-sela keheningan mobil. Sedari tadi, ia tidak sama sekali menunjukkan rasa jijiknya. Atau, mungkin kesal, sebab akulah alasan mengapa ia harus mematikan AC mobilnya.

Setelah acara muntahku tadi, Haydan membuka jendela mobilnya, membiarkan AC alami yang masuk untuk menyejukkan kami. Sepertinya, ia paham, bila aku tidak kuat berlama-lama menggunakan AC khas mobil.

"Buat apa gue jijik? Karena lo muntah? Ya, wajar kali," ujarnya dengan enteng, seolah-olah ia sudah biasa dengan orang sepertiku. "Gue paham, gak semua orang tahan dengan AC mobil. Jadi, gak usah mikir gue bakalan jijik sama lo."

"Makasih, ya. Aku pikir, kamu bakalan berpikiran gitu sama aku."

"Lagian, kalau gue jijik sama lo, udah gue turunin dari tadi kali," balasnya dengan nada bicara yang judes. Padahal, baru saja aku ingin memujinya seseorang yang sungguh pengertian.

"By the way, gue mau nanya, deh. Tapi, mohon maaf kalau misalnya pertanyaan ini buat lo tersinggung," ujar Haydan seketika.

Aku menganggukkan kepalaku lantas memberinya izin untuk melontarkan pertanyaannya.

"Sebelumnya, lo gak pernah naik mobil, ya?" tanyanya yang membuat aku sedikit terhenyak. "Eh, maaf, kalau nyinggung."

Aku terkekeh kecil. "Santai aja, aku nggak tersinggung kok," ujarku dengan santai. "Aku pernah kok naik mobil. Bahkan, pas aku kecil dulu, sering banget naik mobil buat jalan-jalan. Cuma, itu dulu. Seiring berjalannya waktu, gue udah gak pernah naik mobil lagi. Makanya, setelah sekian lama gak naik mobil, tadi gue ngerasa udah gak cocok sama AC mobilnya. Sorry, ya," terangku disertai sedikit rasa bersalah di akhir pembicaraan.

"Gue gak permasalahin kejadian tadi. Lo tenang aja."

Aku manggut-manggut sembari memandang ke luar. Berusaha menikmati semilir angin yang menerbangkan anak-anak rambutku. "Benar ya kata orang, setiap detik yang berlalu selalu membawa perubahan. Dulu, aku senang banget setiap kali diajak jalan, karena bisa naik mobil. Tapi, setelah itu, boro-boro berharap naik mobil, diajak keliling sama ayanda pakai motor aja aku udah senang banget."

"Ayanda? Ayanda itu siapa?"

"Panggilan khusus dari aku untuk mendiang papa aku." Nada bicaraku menjadi sendu ketika membahas perihal Ayanda.

"Eh, sorry, gara-gara pembahasan kita, lo jadi keinget."

Mobil Haydan lantas berhenti, membuatku dengan segera menoleh ke luar jendela. Ia membawaku ke sebuah kafe yang bergaya monokrom. Dapat terlihat jelas dari desain eksterior kafe yang berwarna hitam dan putih.

Kami lalu turun dari mobil setelah Haydan memarkirkan mobilnya dan berjalan masuk ke dalam kafe. Cukup sepi. Hanya sekitar 30 persen meja yang terisi oleh pengunjung. Haydan memilih meja di dekat pintu samping kafe yang langsung menghubungkan kami dengan pemandangan taman kafe.

Seorang pelayan kafe menghampiri kami tepat saat aku mendudukkan tubuhku di atas kursi berbahan kayu. "Selamat sore, Mas, Mbak. Ini buku menunya, silakan dilihat-lihat."

Secara bergantian, aku dan Haydan melihat buku menu serta memesan minuman untuk menemani kami selama beberapa saat ke depan.

"Jadi, apa yang mau kamu bicarakan?" tanyaku to the point setelah pelayan tadi pergi guna mempersiapkan pesanan kami. Waktu kami sudah terbuang sekian belas menit sebab agenda muntahku di tengah jalan tadi.

"Gue langsung ke inti aja, ya. Soalnya, gue gak bisa lama, ada urusan," ujar Haydan. "Lusa, lo ikut gue ke rumah buat ketemu sama bokap nyokap gue."

Aku membulatkan mataku sebagai refleks keterkejutan. "Lusa?" beoku. Apa secepat itu Haydan akan membawaku bertemu dengan kedua orang tuanya?

"Iya. Gue rasa, semakin cepat, semakin baik. Biar gue punya alasan buat nolak acara perjodohan itu. Sebenarnya, gue mau besok. Tapi, gue pikir itu terlalu mendadak buat lo. Jadinya, lusa aja," ujarnya yang seolah memberikan sedikit ruang untukku menikmati keterkejutan itu. Sayangnya, lusa juga terlalu mendadak.

"Oke deh. Kamu atur aja. Aku cuma bisa ngikut," ucapku seolah pasrah. Lagian, memang sudah niatku dari awal untuk membantu Haydan. Aku tidak bisa memilih mundur begitu saja sekarang ini.

"Bagus. Sepertinya, lo tipikal cewek yang penurut," kata lelaki itu yang terdengar seperti memuji. "Lusa, gue bakalan minta orang buat jemput lo jam 10. Gue harap, lo gak malu-maluin gue," ujarnya dengan tegas.

🍀🍀🍀

1.682 words
©vallenciazhng_
December 28, 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro