Chapter 15 - Haru Berujung Ricuh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Begitu menyadari kalau kami sudah keluar dari lift, detak jantungku berpacu semakin cepat. Rasa takut menguasai hingga kedua telapak tangan menjadi basah. Keringat dingin membanjiri kening. Entah akan bagaimana reaksi dari Mama dan Papa nanti. Aku tidak berani membayangkan.

Ayah Gabriel berjalan memimpin di depan. Langkah kakinya cepat dan teratur. Tidak sekalipun beliau membuka suara. Sepertinya ia menunggu waktu yang tepat, untuk memberondong aku dan Gabriel dengan berbagai pertanyaan.

Ketika pintu kayu lebar berwarna cokelat gelap dengan aksen pinggiran bingkai berwarna keemasan sudah terbuka lebar, kami melangkah masuk ke dalam. Pria yang tingginya tidak begitu jauh berbeda dariku itu berbelok ke kamar mandi, tanpa mengatakan apa-apa. Sementara Gabriel terus menggiringku masuk hingga tiba di pojok kamar, di mana sofa berbentuk leter L berada.

Ia duduk hanya menyisakan sedikit jarak. Padahal, sofa hitam berbahan beludru ini bisa muat untuk empat orang. Namun, bukan Gabriel namanya kalau tidak hobi menyerempet. Aku juga tidak menghindar. Percuma. Lebih baik tenaga ini aku simpan untuk menjawab setiap pertanyaan serta memberikan penjelasan pada Om Prabu.

Bibir penuh milik lelaki berwajah datar di sebelah, belum terbuka sejak tadi. Ia bungkam. Sekilas aku melihat tatapan kosong dari sepasang mata sipit miliknya. Awas saja kalau ia tidak memberikan penjelasan yang tepat kepada ayahnya. Jangan sampai beliau salah paham tentangku.

Aku bukan gadis penganut kebebasan tanpa batas. Hal terjauh yang pernah kulakukan dengan lelaki hanya berciuman saja. Itu juga, bisa dibilang sebuah kecupan. Bukan ciuman bibir penuh gairah. Sungguh. Kalau masalah kontak fisik, aku bukan ahlinya.

Sementara Gabriel, setahuku juga sama. Jumlah mantan pacarnya tidak berbeda jauh denganku. Kalau ia tidak berbohong, kemungkinan besar Gabriel juga belum pernah melakukannya. Jadi, bisa dibilang apa yang terjadi malam itu, adalah yang pertama kali bagi kami berdua. Kecuali bagian mabuk-mabukannya. Aku sudah pernah dua kali minum dan langsung bikin kapok. Lebih baik mabuk kopi atau soda, deh.

Akhirnya Ayah Gabriel muncul dari balik pintu kamar mandi, lengkap dengan wajah yang ditekuk. Ia duduk di kursi kerja beroda yang busanya dilapisi kulit berwana krem, kemudian menyilangkan kedua tangan. Menunggu siapa saja yang bersedia membuka suara.

"Ayah, aku bisa jelaskan semuanya," tutur Gabriel mengawali pembicaraan.

"Oke, coba jelaskan yang tadi kamu bilang."

Gabriel berdeham, sebelum mulai berbicara. Sementara aku, terus menundukkan kepala tanpa berencana mengangkatnya dalam waktu dekat. Pandangan terpusat pada karpet berbulu lembut, yang untungnya menyalurkan kehangatan pada tubuhku yang gugup.

Lelaki bersuara bariton ini menceritakan apa yang terjadi di hari Sabtu, dua minggu yang lalu. Mulai dari memesan cottage di pagi hari, lalu berlanjut pada kegiatan meniup dua bungkus balon warna-warni. Setelah itu, ia menyusun lilin hias yang sengaja dibeli di mal, satu hari sebelumnya. Aku mendengarkan setiap penjelasan, sembari terus menatapnya dari samping.

Lagi-lagi dibuat terharu oleh apa yang telah dilakukan Gabriel. Berarti, sepenting itu artiku untuknya. Sampai ia rela merogoh kocek cukup dalam, hanya untuk menyatakan cinta dan melamarku. Aku jadi penasaran, apa semua lelaki bersedia mencurahkan segenap hati dan tenaga demi mengungkapkan perasaannya pada wanita yang mereka cintai? Seperti Gabriel misalnya? How lucky I am.

"Terus, apa dengan Amanda nggak hamil, tindakan kalian ini bisa dimaklumi? Dengan alasan tidak sadarkan diri?"

Angan indahku lenyap saat mendengar suara bernada tinggi milik ayah Gabriel. Ia berdecak seraya memutar bola mata.

"Jangan mengambinghitamkan alkohol, Gabriel. Memangnya dia menawarkan diri untuk kamu beli? Nggak, kan? Kamu sendiri yang dengan penuh kesadaran membelinya di supermarket. Kalau kamu sama sekali nggak berencana untuk meniduri Amanda, untuk apa kamu membeli bir sampai sebanyak itu? Ayah yakin, kamu nggak bodoh. Kalau kamu dan Amanda atau gadis mana pun, mabuk berdua di satu tempat tanpa ada orang lain, pasti ujung-ujungnya ada yang khilaf!" Ucapan Om Prabu barusan membuatku merasa tertampar oleh kenyataan yang terlewatkan.

Pria yang semula duduk di hadapanku, kini sudah bangkit dari kursi, dan berjalan gelisah mengitari kamar. "Sudah cukup, kamu mengecewakan Ayah," ucapnya tegas. Sementara lelaki muda yang duduk di sebelahku, sudah terlihat pasrah menerima apa pun konsekuensi dari perbuatannya.

"Om," panggilku dengan suara pelan, tapi berhasil menarik perhatian pria yang tengan dipenuhi amarah. Beliau menghentikan langkah kaki, lalu memutar badan. Menatapku, sembari menaikkan sebelah alis.

Aku menelan ludah. "Amanda juga salah, Om. Jangan menumpuk kesalahan hanya pada Gabriel. Amanda bersedia menanggung konsekuensinya juga."

Om Prabu tampak sedikit melunak. "Oke. Kalau begitu, malam ini juga kita datang ke rumah Amanda, untuk menjelaskan semuanya pada kedua orang tuanya. Sekaligus meminta maaf dan membicarakan rencana pertunangan kalian," ucap Om Prabu pada Gabriel. Rencana super mendadak ini langsung bikin aku kalang kabut.

"Tapi, Om—"

"Nggak ada tapi-tapi. Bukannya tadi kamu bilang bersedia menanggung konsekuensinya juga?" tanyanya telak. Aku dibuat kembali menelan ludah.

Aku menyahut pasrah. "Ya, udah, Om." Pundakku merosot begitu rendah.

"Ayah, apa nggak lebih baik kami langsung dinikahkan saja? Kenapa harus tetap bertunangan dulu, sih?" sela Gabriel spontan. Tarikan napasku sampai berhenti, seraya menoleh cepat ke arahnya.

Astaga! Ada apa dengan mulut Gabriel? Pengin kujahit rasanya.

Tatapan tajam dilemparkan tepat ke arahnya, yang sedang menoleh sekilas padaku. Begitu menusuknya, hingga membuat lelaki yang berhasil menjungkirbalikkan hidupku secepat kilat ini menggeser posisi duduknya. Tanganku mengepal, saking kesalnya.

"GABRIEL!"

*

Pukul tujuh malam. Gabriel beserta ayahnya tiba di depan rumahku. Mereka berjalan masuk lewat pagar besi yang sengaja dibiarkan terbuka. Aku menanti di ambang pintu dengan gelisah. Sementara Mama, serta papaku yang baru saja tiba dari kantor dua puluh menit lalu, masih sibuk memanfaatkan detik-detik terakhir untuk mengatur posisi bantal sofa, juga karpet yang diletakkan di tengah ruangan. Berkali-kali aku melirik ke arah mereka, lalu ke arah dua orang berwajah serius yang semakin mendekat.

Sembari menyetir ketika mengantarku pulang tadi sore, Gabriel menelepon Bang Adri. Ia memberitahu abangnya, kalau akan tetap tinggal di Bandung sampai masalah kami diselesaikan. Sempat aku mendengar suara bernada tinggi yang keluar dari pria yang lebih tua tiga tahun dari Gabriel itu. Selain berbicara di telepon, lelaki berkulit putih itu tidak mengatakan apa-apa, sampai ia menghentikan kendaraan di tempat tujuan. Mungkin ia takut membuatku mengamuk lagi. Ayahnya saja sampai terkejut saat melihat aku meledak.

"Halo, Pak Prabu dan Nak Gabriel," sapa papaku sambil tersenyum ramah. Begitu juga dengan Mama, yang langsung mempersilakan kedua tamu masuk dan duduk di ruang tamu rumah. Mari kita lihat, akan bertahan sampai kapan keadaan tenang ini.

Gabriel dan Om Prabu, duduk di sofa dua seater yang berada tepat di samping pintu masuk. Sedangkan kedua orang tuaku, duduk di sofa berukuran sama yang terletak di hadapan mereka. Mulanya, mereka saling melempar senyum dan bertanya kabar masing-masing. Lalu, ketika Ayah Gabriel mulai memposisikan tubuhnya untuk berbicara serius, senyuman tadi perlahan luntur.

Aku dan Gabriel saling bertukar tatapan penuh makna. Kemudian, kepalanya mengangguk. Berusaha menyampaikan kalau semuanya akan baik-baik saja. Mama melirik sekejap, memintaku untuk membuatkan minuman. Ada sedikit rasa lega yang terasa. Tanpa menunda, aku segera pamit dan berlalu ke dapur.

Meski sedikit gemetaran, tanganku masih cekatan menyusun lima buah cangkir serta tatakannya masing-masing di atas nampan perak berukiran antik. Air panas telah disiapkan di dalam termos berukuran sedang. Sembari mencelup kantung teh, pikiranku terus mengembara ke mana-mana.

"Amanda!" seru Mama tiba-tiba membuyarkan lamunan. Pergerakanku yang sempat melambat, segera mengebut secepat kilat sampai tidak sempat menakar gula yang dimasukkan ke dalam setiap cangkir teh.

Langkah terburu-buru tapi tetap penuh kehati-hatian, kukerahkan penuh penjiwaan. Tiga pasang bola mata, langsung mengarah padaku ketika tiba kembali di ruang tamu. Om Prabu menatapku serius. Rahang berbentuk oval itu menegang. Mataku beralih pada kedua orang yang paling kukecewakan malam ini. Mama, menatap penuh amarah dan kecewa. Sementara Papa, melihatku sembari menggelengkan kepala. Situasi penuh ketegangan ini membuatku berkali-kali menelan ludah.

Dengan hati-hati, kuambil setiap cangkir dan tatakan, lalu meletakkannya di hadapan keempat orang yang sedang memendam perasaan masing-masing. Setelah selesai, aku kembali duduk di tempat semula. Menaruh kedua telapak tangan di atas lutut dan bersiap untuk menerima kenyataan serta omelan.

"Amanda ... apa benar, yang dikatakan oleh ayah Gabriel? Kalau kamu dan Gabriel sudah ...." Papa menjeda kalimat, untuk menarik napas. Pria yang biasanya selalu tersenyum, kini terlihat begitu kalut hingga kesulitan berbicara. "Melakukan, hal yang seharusnya tidak kalian lakukan?"

Aku tertunduk. Jantung sudah berdetak tidak keruan. Telapak tangan pun berkeringat banyak, saking gugupnya. Aku sampai harus mengatur jalannya pernapasan, supaya bisa mengeluarkan suara tanpa terganggu oleh isakan. Cairan bening yang selalu keluar setiap aku sedih dan terlampau takut, sudah menumpuk di sudut-sudut kelopak mata.

"Amanda ... jawab, Nak," imbuh mamaku tegas.

Pada akhirnya aku mengangguk. "Maaf, Ma ... Pa. Maafin Manda ...," lirihku lemah.

Wajah Mama segera berpaling ke arah lain. Beliau menggelengkan kepalanya. Lengkap dengan raut wajah tidak percaya. Kalau Papa membisu. Orang tua mana yang bisa dengan mudah percaya pada fakta yang mengecewakan dari anak satu-satunya?

"Maka dari itu, Pak Hendrik dan Bu Erlin. Saya berpikiran agar mereka segera melangsungkan pertunangan secepatnya. Walaupun Amanda, untungnya, tidak mengandung akibat perbuatan terlarang itu, tapi tetap saja. Saya ingin mereka segera meresmikan hubungan. Namun, karena kebetulan anak pertama saya, Adri juga akan menikah di bulan Januari, jadi ... kalau bisa, pernikahan Gabriel dan Amanda dilangsungkan beberapa bulan setelahnya. Bagaimana, Bapak dan Ibu?" ungkap Om Prabu penuh kehati-hatian.

"Wah. Kalau begitu caranya saya tidak setuju, Pak Prabu!" sanggah mamaku penuh emosi sampai membuat Om Prabu terkesiap. Posisi kaki beliau berubah. Punggungnya pun menegak. Sementara aku, hanya bisa memusatkan pandangan pada cangkir teh yang uap panasnya mulai menghilang.

"Saya juga tidak setuju, Pak. Kasusnya Amanda dan Gabriel ini, kalau tidak segera ditindak lanjuti, saya khawatir mereka akan mengulanginya lagi," imbuh papaku mendukung pendapat Mama.

Mengulanginya lagi? Aku menatap Papa, sambil geleng-geleng kepala.

"Pa ... Manda nggak sebebas itu," ucapku berusaha mematahkan pemikirannya yang salah.

"Memangnya kamu bisa menjamin, kalau setelah bertunangan sampai nanti menikah, kalian berdua." Mamaku melihat aku dan Gabriel secara bergantian. "Bisa menjaga hawa nafsu meskipun akan sering pergi berdua? Kalau Mama sih, sangsi, ya. Apalagi Gabriel kelihatannya sudah tidak sabar begitu," lanjut Mama. Sengaja agak menyindir lelaki yang jadi mengerlingkan matanya setelah mendengarkan tuduhan.

Aku menghela napas cukup panjang. Dilahirkan dan dibesarkan di keluarga yang sedikit konservatif, membuat reaksi Mama juga Papa mungkin tampak agak sedikit berlebihan. Namun, aku sangat memahaminya.

Om Prabu menatap galak ke arah anak bungsunya, sebelum menarik napas dalam-dalam seraya memejamkan mata. Pasti beliau tidak menyangka, kalau pada akhirnya kedua orang tuaku akan memaksa seperti ini.

"Baiklah kalau begitu. Saya mengerti dengan pendapat Pak Hendrik dan Bu Erlin. Sebetulnya saya juga ingin mereka menikah secepatnya, akan tetapi ... kalau sebelum bulan Januari, rasanya tidak mungkin." Om Prabu menjawab dengan tetap mempertahankan intonasi.

"Saya ada ide, Pak," tutur mamaku setelah berhasil meredam emosi. Semua pasang mata kini mengarah padanya. Menanti jalan keluar yang sekiranya mampu menjadi jalan tengah.

"Kalau begitu, pernikahan mereka diadakan berbarengan dengan anak pertama Pak Prabu saja. Selain cepat, ini juga menghemat anggaran, bukan? Kalau mau bertunangan dulu sebelum acara pernikahan, boleh saja. Tapi, saya tidak setuju kalau ditunda sampai beberapa bulan kemudian," tegas Mama yang langsung didukung oleh papaku. Aku memilih untuk diam dan pasrah menanti keputusan. Mau melawan juga sudah tidak punya kuasa.

"Gabriel setuju, Tante!" sahut lelaki beralis tebal itu dengan cepat.

Aku menoleh ke arahnya, sembari membuka mata lebar-lebar. Tidak habis pikir dengan jalan pikiran serta reaksi yang ia berikan. Raut wajah bahagia tampak jelas menghiasi rupa tampannya. Namun, ucapan tadi berhasil membuat ayahnya sendiri mendelik. Ayah dan anak itu saling bertukar tatapan dengan mulut yang berkomat-kamit.

"Ma, nggak enak dong sama Bang Adri dan calon istrinya. Masa nikah barengan? Pelaminannya penuh nanti, Ma," sanggahku tidak setuju. Mama tidak menghiraukan pendapatku, malah Papa yang menoleh.

"Manda, biar orang tua yang memutuskan," ungkapnya.

"Ya, sudah. Saya setuju." Tiba-tiba ayah Gabriel membuka suara.

"Tapi, Om," sahutku merasa tidak enak.

Bang Adri dan Kak Rina—calon istri Bang Adri—pasti akan keberatan dengan keputusan ini. Belum lagi keluarga calon besan Bang Adri.

"Berarti untuk sementara kita tetapkan, Amanda dan Gabriel akan menikah di bulan Januari juga. Tapi, untuk kapan lebih tepatnya, saya mohon waktu untuk mendiskusikannya dulu dengan keluarga, ya, Pak," pinta Om Prabu setelah beberapa saat.

Papaku mengangguk. "Iya, Pak. Sebelumnya mohon maaf kalau saya dan istri terkesan memaksa. Namun, Amanda adalah anak kami satu-satunya. Jadi ... mohon dimaklumi, ya," kata Papa pelan. Ayah Gabriel akhirnya tersenyum. Perhatianku kini terarah pada Gabriel. Di saat seperti ini, ia masih bisa tersenyum lebar. Membentuk bulan sabit sempurna yang menampakkan jelas isi hatinya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro