Chapter 31 - Menetap Jauh di Dalam Hati

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Lelaki itu bukan Gabriel.

Ia hanya seorang pegawai restoran resort, yang kebetulan memiliki kemiripan postur tubuh dengan Gabriel. Tinggi, berahang tegas, dan, memakai parfum dengan aroma kekayuan. Seperti lelaki yang setiap saat terus menetap di dalam benak.

Malam itu aku kehilangan kesadaran, hingga menimbulkan kegemparan. Bukan hanya di antara para pegawai, tetapi juga di antara para tamu lain yang menginap di sekitar cottage yang aku tempati. Tidak lama setelah aku sadar, Mama dan Papa datang dengan langkah terburu dan wajah yang dipenuhi kepanikan. Rupanya seorang pegawai resort menghubungi nomor kedua orang tuaku saat aku pingsan.

Begitu melihat mereka, tangisanku kembali pecah. Aku menangis, hingga akhirnya tertidur di pelukan Mama. Karena kejadian itu, mamaku tidak pernah lama-lama meninggalkanku sendirian. Bahkan aku sudah tidak diizinkan pergi seorang diri. Harus selalu ditemani ke mana pun aku pergi.

Hari-hari kulewati dengan hanya berdiam di kamar. Menatap langit siang dan malam lewat jendela kamar, seraya merangkai potongan-potongan kenangan bersamanya. Terkadang aku berkhayal. Gabriel muncul di depan rumahku. Menatapku sambil melambaikan tangannya. Melemparkan senyuman manis, sebelum ia pergi berlalu. Aku tahu, ia selalu ada di sekitarku. Mengawasiku, seperti apa yang pernah ia katakan dulu.

"Manda, kamu hari ini masih nggak mau ke mana-mana? Pergi keluar, yuk. Lagi ada sale di mal, lho." Mama mengajakku yang kujawab dengan berdeham satu kali.

"Kamu beneran mau?" imbuh beliau lagi sambil menatapku penuh harap.

"Tapi, Manda nggak mau ke mal," balasku pendek. Mataku masih terarah ke jendela kamar yang terletak di samping tempat tidur. "Manda pengen ke apartemen Gabriel, Ma. Udah lama nggak ke sana. Sekalian beres-beres," sahutku pelan.

Mama terdengar menghela napas, lalu duduk di sampingku. "Kamu udah dihubungi mamanya Gabriel belum, tentang apartemen Gabriel?"

"Udah. Manda minta rencananya ditunda dulu, Ma. Setidaknya ... nggak dalam waktu dekat ini. Apartemen itu menyimpan terlalu banyak kenangan. Manda nggak rela, ada orang lain yang menempatinya," lirihku.

Tangan Mama meraih pundakku, agar menghadap ke arahnya. Kepalaku menunduk. Menghindar dari tatapan penuh rasa empati dan kesedihan dengan memejamkan sepasang mataku yang sudah sembap.

"Kamu pasti bisa melewati semua ini, Sayang. Percaya sama Mama. Kita hadapi bareng-bareng, ya? Jangan pernah merasa sendirian. Oke?" ucap Mama yang kini telah memelukku erat.

Aku menarik napas pelan-pelan. Lalu mengeluarkannya pelan juga dari mulutku. Kulakukan itu beberapa kali sampai hati tenang kembali.

"Konferensi persnya jam berapa, Ma?"

"Kalau nggak salah, jam tujuh malam, Sayang."

"Hm ... malam ini kita menginap di apartemen aja ya, Ma? Nggak apa-apa, kan?" pintaku.

Tiba-tiba saja aku ingin sekali mendatangi salah satu tempat favorit Gabriel, lantai rooftop apartemennya. Menikmati pemandangan langit malam dan bintang-bintang. Mungkin sambil menyantap satu cup popmie. Persis seperti yang sering kami berdua lakukan semasa kuliah dulu.

Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya kepala Mama mengangguk. Jemari lentiknya terangkat hingga ke puncak rambutku. Mengelus lembut helaian demi helaian yang sudah memanjang.

Kedua telapak tangannya membingkai wajah mungilku yang pasti sedang tampak tak keruan. Mataku berkaca-kaca, hidungku kempas-kempis, dan mulutku sudah mengatup erat. Namun, tatapan Mama begitu melemahkan. Pertahananku luntur sudah. Untuk pertama kalinya aku menangis lagi hari ini. Setelah berhasil menahan diri sejak mataku terbuka pagi tadi.

"Kenapa Tuhan tega banget sih, Ma?" tanyaku di sela tangisan. "Kenapa? Kenapa ambil Gabriel secepat ini? Manda ... nggak. Nggak kuat, Ma ...."

"Amanda ... udah, udah. Kamu pasti kuat kok. Udah ... udah. Jangan menangis terus."

"Tapi, kalau, nggak ada yang tertinggal darinya. Ke mana Manda harus pergi waktu rindu sama dia, Ma?"

"Sayang ... Gabriel selalu ada di hati kita semua. Yakin, Sayang. Bahkan sekarang, pasti dia lagi memperhatikanmu dari atas sana. Dan Mama yakin, Gabriel nggak akan suka melihatmu terus menangis seperti ini. Ikhlaskan, Sayang. Relakan. Supaya Gabriel pun tenang."

Tangisanku semakin kencang. Ikhlas? Rela? Kedua hal itu adalah hal yang sangat susah dilakukan manusia. Apalagi manusia lemah sepertiku. Salahkah jika aku masih ingin berharap? Meski aku tahu jelas, harapanku ini sia-sia.

"Amanda ... Gabriel memang sudah pergi meninggalkan kita, tetapi ... senyumnya, tawanya, dan kebaikannya, akan selalu tersimpan di ingatan dan hati kita. Mama pun sayang sekali sama Gabriel. Dia lelaki baik, bertanggung jawab, dan mencintai anak kesayangan Mama dengan begitu tulusnya. Sekarang yang bisa kita lakukan, hanya mendoakan Gabriel dan memohon pada Tuhan. Agar mengampuni semua kesalahan Gabriel serta menerimanya di surga. Hanya itu, Sayang ...."

Gabriel has left us. But his smile, his laugh, his kindness, will always be there.

Remains deep in our minds and hearts.

*

Di hari terakhir bulan Februari, akhirnya aku bisa menginjakan kaki di dekat lokasi jatuhnya pesawat yang Gabriel tumpangi. Tepatnya satu minggu lalu, proses pencarian para korban telah dihentikan. Jenazah Gabriel belum juga ditemukan, bersama dengan sembilan belas korban lainnya. Sementara jenazah tujuh puluh dua korban sudah berhasil diidentifikasi. Korban yang selamat kini sedang dirawat intensif di rumah sakit sekitar.

Aku sempat merasa iri dengan mereka, tapi tidak lama. Sekarang aku sudah berada di fase benar-benar pasrah. Semakin hari, kondisiku pun semakin melemah. Papa sempat melarangku untuk ikut terbang ke Pangkal Pinang. Bahkan beliau yang biasanya menaruh kepercayaan penuh padaku, bisa berubah tegas dan agak mengekang. Kuakui, keadaanku memang cukup mengkhawatirkan. Namun, aku memaksa. Lagi pula aku kemari tidak sendirian. Tante Irina, Om Prabu, Bang Adri, dan Kak Rina juga datang bersamaku.

Pukul tujuh pagi, aku tiba di Bandara Depati Amir. Seorang pegawai Dimitri Corp sudah menunggu di pintu keluar Bandara. Aku dan keluarga Gabriel menggunakan kendaraan yang disewa khusus untuk menuju ke Pelabuhan Pangkal Balam. Sementara keluarga korban penumpang lain beserta awak pesawat mengendarai bus yang sudah disediakan oleh pihak X-Air.

Langit yang bersinar cerah dan udara lembap, menyambutku ketika turun dari mobil. Keadaan pelabuhan sudah cukup ramai. Mayoritas kerumunan adalah keluarga para korban. Ada juga perwakilan dari maskapai X-Air, Tim Basarnas, TNI, bahkan Bapak Walikota Pangkal Pinang pun turut hadir dalam kegiatan tabur bunga dan doa bersama pagi ini.

Setelah mendengarkan pengarahan, rombongan naik ke kapal besar. Terik matahari mulai menyilaukan. Berbarengan dengan bau khas air laut yang memenuhi udara. Tidak banyak yang aku katakan selama dalam perjalanan hingga sekarang. Tante Irina dan Om Prabu tampak masih terpukul. Keadaan kami tidak jauh berbeda.

Meski begitu, sesekali kedua orang tua Gabriel tetap berusaha menghiburku. Mengajakku bercanda yang diakhiri dengan tawa kering. Begitu juga dengan Kak Rina yang sejak awal hingga sekarang, masih melemparkan tatapan penuh iba padaku.

Aku duduk di salah satu kursi kayu, setelah upacara militernya selesai dilaksanakan. Aku terdiam. Kadang juga memejamkan mata. Semua terasa seperti mimpi. Dalam waktu singkat, aku kehilangan separuh jiwaku, cinta dalam hidupku, juga pusat gravitasiku. Sungguh begitu berat sekali rasanya. Tiada malam yang kulewati, tanpa berharap Gabriel muncul di alam mimpiku. Dan tadi malam, Tuhan mengabulkan permohonanku.

Lelakiku itu hadir. Menyunggingkan senyum hangatnya, hanya padaku. Meskipun sebentar dan agak samar, nyatanya keberadaannya itu, bisa sedikit melepas rindu. Fajar tadi, pertama kalinya aku membuka mata sambil tersenyum.

"Manda ...." Suara berat milik Bang Adri memanggil namaku.

"Iya, Bang?" Aku menegakkan tubuh, dan menghadap ke arahnya.

"Gimana keadaanmu, Man?"

Aku menghirup napas, lalu menjawab, "Masih mencoba baik-baik aja, Bang."

"It's okay. You've been doing your best till now. Abang pun butuh waktu. Berat sekali, kehilangan adik satu-satunya," lirihnya. Kentara sekali kalau Bang Adri sedang berusaha sekuat tenaga agar tidak menitikkan air mata. "Tadi malam ... Gabriel datang ke mimpi Abang. Dia ganteng, putih, bersih. Wajahnya tenang. Dia tersenyum sama Abang, tapi nggak lama. Padahal banyak sekali yang ingin Abang katakan." Bang Adri mendesah sedih. Menghela napas panjang, kemudian menoleh ke arahku.

"Masalah apartemen Gabriel, Abang sudah dengar dari Ibu. Kami semua paham, Manda. Kami juga sudah memutuskan untuk memberikan apartemen itu untuk kamu. Abang titip. Rawat apartemennya, ya? Jangan hilangkan jejak Gabriel di sana."

"Bang Adri serius?"

Kepalanya mengangguk. "Iya. Anggap aja, itu hadiah terakhir dari adik Abang. Kita semua tahu, Gabriel sangat mencintai kamu, Man. So, jangan kepikiran masalah apartemen lagi, ya?" Pria yang begitu baik ini tersenyum. Menunggu aku memberikan respons.

"Iya, Bang. Manda janji, akan merawat peninggalan Gabriel dengan sebaik-baiknya. Makasih banyak, ya, Bang ...."

"Adri! Amanda! Ayo sini!"

Kepalaku dan Bang Adri menoleh berbarengan ke arah asal suara. Kak Rina, sudah berdiri di tepi kapal. Melambaikan tangan ke arah kami berdua. Di tangannya sudah ada rangkaian bunga yang siap dilemparkan ke lautan.

Perjalanan hampir satu jam dari pelabuhan hingga ke titik jatuhnya pesawat terasa begitu singkat. Aku berdiri, berjalan di belakang Bang Adri yang sudah bangkit lebih dulu. Kakiku berhenti melangkah saat tiba di samping Tante Irina. Beliau memelukku sekilas, kemudian menyerahkan satu rangkaian bunga yang semula dipegang oleh pegawainya.

"Jangan berhenti mendoakan Gabriel ya, Sayang," pintanya sembari menangkupkan kedua telapak tanganku menjadi satu.

"Iya, Tante. Pasti," anggukku.

"Tante nggak ingin egois, tapi ... bisakah kamu terus mencintai Gabriel?" mohon wanita yang hari ini datang memakai terusan berwarna hitam, lengkap dengan bros bunga berwarna putih yang ia sematkan di dada sebelah kiri.

Permohonan yang sangat tidak perlu dipinta oleh siapa pun. Sebab jawabannya sudah jelas.

"Tante ... tanpa diminta pun, Amanda akan selalu mencintai Gabriel. Jangan ragukan perasaan itu. Amanda sayang dan kangen banget sama dia, Tante," aku mengaku jujur.

Seketika kepalaku menjadi berat. Perasaanku campur aduk. Padahal aku sudah bertekad untuk tidak menangis hari ini. Apakah rencanaku akan gagal lagi?

"Menangis aja, Manda. Nggak apa-apa, kok. Menangislah. Sampai beban hatimu mereda. It's okay, Sayang ...." Ucapan lembut penuh ketulusan dari wanita yang tadinya akan menjadi mama mertuaku, berhasil meruntuhkan benteng pertahanan yang kubangun susah payah. Bagaimana bisa aku membendung air mata di saat semua orang di sekitarku sedang menangis tersedu-sedu?

Maaf, Gabriel. Aku bukannya masih belum rela. Aku hanya, benar-benar sedih. Maafkan aku, Sayang. Tidak apa-apa ya, hari ini aku menangis lagi?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro