Chapter [2] Willow Tree

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Seperti pohon dedalu menangi. Seperti aku yang terus meratap, tak seharusnya membiarkan cintaku pergi."

.
.
.

Matahari baru muncul sementara Draven sudah bersiap dengan baju besi kantornya dan tas jinjing di tangan kiri. Hari ini adalah hari berat, sejak semalam manager terus saja menelepon perihal berkas-berkas yang harus ia hawa, ditambah stres dan kelelahan ulah Dorotty membuatnya ingin terjun dari gedung bertingkat. Mungkin dengan begitu ia bisa terbebas dari segala rutinitas membosankan ini. Draven hanya berangan-angan berbaring di pasir hangat pantai menikmati suara ombak, alih-alih bergumul dengan tumpukan kertas apak mengerikan.

Saat melewati kamar putrinya, Draven berhenti sejenak lantas membuka perlahan pintu. Dorotty masih tertidur dengan wajah merah dan sembab, ia tampaknya terbaring setelah kehabisan air mata. Boneka kecil yang diberikannya dulu tergeletak di lantai, salah satu kaki boneka kelinci itu nyaris putus saking sudah tua dan rapuh. Ia hanya mengangkat bahu tidak peduli, kemudian turun menyiapkan beberapa lembar roti di meja makan dan segelas air, melahapnya buru-buru lantaran si cerewet kembali meneleponnya untuk segera datang. Draven bahkan tidak sempat menelan makanan dengan tenang.

Keadaan makin memburuk di tempat kerja, pria berbadan pendek itu mengomel sepuas hati sampai air ludahnya menciprat ke sana-sini. Hasil yang dibuat Draven tidak sesuai dengan harapannya, ia mendengkus seperti kerbau dan menghamburkan seisi map tepat ke wajah karyawan yang tertunduk di tengah-tengah kantor. Setiap orang yang ada hanya bisa mengasihani tanpa mau menolong, mereka melihat wajah memerah menahan malu sekaligus murka di dalam diri pria yang terkenal pendiam. Draven sendiri menelan bulat-bulat semua cercaan yang terlontar, terlihat dari kepalan tangan berurat yang siap kapan saja meninju si kumis panjang. Namun, keinginan itu hanya terbayang dalam benak, Draven masih butuh pekerjaan ini untuk hidupnya.

"Aku minta maaf," kata karyawan lain selepas si manager pergi ke ruangannya. Ia menepuk bahu Draven berusaha meredakan gejolak panas di dada. "Seharusnya bukan hanya kau sendirian yang kena saus pedas."

Draven mengusap wajah seraya menarik napas panjang dan dalam, melirik Don menunjukkan senyum pasrah yang ia buat untuk dirinya sendiri. "Tak masalah." Ucapannya berbanding terbalik dengan sorot mata tajam yang jarang sekali ia tunjukkan pada seorang perempuan berparas menor yang menyeruput kopi mahal. "Aku mungkin membunuhnya malam ini," bisik Draven masih bisa didengar beberapa orang di sekitar.

Don terkesiap. "Kau ...."

"Bercanda."

Laki-laki yang seumuran Draven sedikit mengembus napas lega, pasalnya ia baru pertama kali melihat rekan yang satu ini dengan pandangan seperti orang gila pendendam. "Bagaimana kalau kopi malam ini? Tenang aku yang traktir," tawar Don, "lalu sejak tadi ponselmu terus berbunyi, mungkin ada hal penting tentang anakmu." Don kembali duduk di bilik sebelah dekat Draven, ia sempat mengintip layar benda pipih yang tengah dilihat kawannya dan menemukan banyak panggilan masuk, lalu mengalihkan pandangan ke layar komputer. Ia tak harus tahu semua kepentingan Draven, cukup ada untuk menepuk bahu. 

Keduanya sudah berteman sejak sekolah, sedikit atau banyak Don tahu bahwa pria di sebelah melewati banyak rintangan termasuk wanita yang Draven cintai pergi entah ke mana. Oh, lelaki malang, ia tak habis pikir Draven masih sendiri membesarkan anaknya sendiri di saat paras yang dimiliki mampu meluluhkan hati banyak perempuan, meskipun sifatnya cukup mengesalkan.

Draven sendiri sibuk mengumpat nasib tanpa terpikirkan berhubungan lagi, toh, pada akhirnya mereka akan pergi, jadi untuk apa membuang-buang waktu dan tenaga? Matanya menyipit melihat nomor telepon rumah berpuluh-puluh kali masuk sejak sejam yang lalu. Selain Dorotty, tak ada siapa pun di sana, apa bocah itu bolos dan berniat mengganggunya? Draven mendecih, lalu mematikan ponsel dan melemparnya ke laci meja, kembali fokus pada permasalahan kecil yang dibesar-besarkan.

Waktu berjalan, Draven akhirnya bisa terlepas dari jeratan kursi kantor dan ocehan panas manager beruntung hari ini ia bisa pulang sebelum pukul lima sore, tulang-tulang ikut menjerit begitu direnggangkan, bisa saja ia mati muda jika beberapa tahun ke depan terus seperti ini. Don pula sudah menunggu sejak keluar lebih dulu sepuluh menit sebelumnya. Membawa dua cangkir dengan asap mengepul dan sekantong benda beraroma mentega dan gandum.

"Terima kasih," tutur Draven menerima uluran kopi, menyesapnya dalam-dalam merilekskan otot-otot tegang dan urat-urat kaku. Aroma kopi adalah yang terbaik di kala kepala mau pecah.

Anggukan kecil dari Don menjadi jawaban. Keduanya mengobrol ringan menuju parkiran di basemen, tentang teman-teman sekolah yang mengajak reuni atau sekadar ajakan sederhana menonton hoki atau sepak bola. Lelaki berlogat Amerika Latin terkikik sebelum akhirnya keluar mendahului dari parkiran, sementara Draven masih mematung memandangi pintu mobil.

"Hahhh ...." Desahannya terdengar berat, Draven merogoh ponsel dan langsung disambut notifikasi panggilan lain. Dahi lelaki itu mengerut, kenapa Dorotty terus saja memanggil padahal ia harusnya sudah tahu kenapa sang ayah tidak menjawab. Amarahnya sudah siap terlontar begitu sambungan dari panggil yang ia tuju ke nomor rumah mereka diangkat.

"Halo?" Suara di seberang bukan milik Dorotty.

Draven menjauhkan sejenak ponsel, menatap layar memastikan bahwa ia menghubungi nomor yang benar dan bukan malah menyambung kepada seorang dewasa bersuara besar. Ia lalu berkata, "Siapa kau? Di mana Dorotty dan sedang apa di rumahku?" To the point-nya.

"Anda sebaiknya segera pulang, Tuan. Kami dari kantor polisi menerima laporan dari tetangga Anda mengenai suara jeritan siang tadi."

Tanpa melanjutkan, Draven buru-buru pulang berharap rumah yang susah payah ia cicil masih berdiri kokoh. Tidak ada yang tahu, mungkin Dorotty berniat membakar kediaman mereka satu-satunya karena marah pada perkataan semalam. Gerimis menambah kesan tegang sekaligus membuat aspal lebih licin. Begitu sampai Draven hanya melihat beberapa orang berseragam, tetapi tidak ada sosok kecil yang biasanya langsung tertangkap mata sekian detik saja.

Seorang opsir mendekat, ia mulai bertanya-tanya terkait kejadian yang bahkan baru Draven ketahui. Sejak siang, tepatnya antara pukul setengah dua belas sampai satu siang, salah satu warga menghubungi polisi selepas mendengar teriakan seorang anak perempuan dari rumah milik Draven. Jam-jam yang sama ketika sang putri terus menerus menghubunginya. Opsir melanjutkan bahwa ketika mereka sampai, tak ada siapa pun di kediaman Draven, hanya rumah berantakan dan di beberapa sudut terdapat noda pasir pantai.

"Apa ada kemungkinan putri Anda bermain sampai tak pulang? Misalkan bermain-main dengan pasir dengan temannya lalu pergi ke tempat lain? Kami tidak menemukan tanda-tanda kekerasan di pelosok rumah, selain yang disebutkan tadi," jelas salah seorang polisi.

"Dorotty memang sering mengacak-acak seisi rumah, tapi darimana ia dapat pasir. Pantai cukup jauh dari sini, butuh berapa lama seorang anak membawa pasir dengan berjalan sendirian?" Draven menaikkan sedikit intonasi suara, penat dan lelah kian menggerogoti tak peduli seberapa sabar, dewasa, dan tangguhnya seorang lelaki.

Mereka memutuskan untuk kembali dan menunggu sampai esok, jika masih tak ada tanda-tanda Dorotty pulang maka laporan orang hilang dan pencarian bisa dilakukan. Barang kali gadis kecil itu bermain bersama di salah satu rumah teman atau kerabat terdekat tanpa mengabari orang tuannya lebih dulu. Hal ini kerap pada anak di masa-masa sekolah, terutama menjelang hari ujian dan libur panjang.

Kini Draven bergeming memandangi pintu depan yang terbuka dan mobil yang melaju ke arah Utara. Sebelum kakinya melangkah ke dalam, seorang pria tua tiba-tiba muncul dari balik pohon. Ia menyapa orang muda di hadapan lantas memberikan sepucuk amplop hitam dengan pita putih yang melilit, lalu pergi tanpa mengatakan sepatah kata apa pun.

Hari ini betul-betul aneh dan melelahkan, Draven menggeleng sembari memasuki rumah. Pikirannya baru terlepas dari beban pekerjaan, sekarang malah berganti dengan Dorotty yang kabur. Ke mana perginya bocah nakal itu? Kepala Draven terasa makin mendidih jika terus memikirkan tentang darah dagingnya. Ia menjatuhkan diri ke sofa, menarik dasi yang mencekik, kemudian membuka amplop yang barusan.

Ada dua pucuk surat beraroma lilac yang lembut berpadu vanila, satu buah cincin dengan batu permata sederhana yang sangat ia kenali. Satu kata saja sudah mampu menjadi biang keladi emosi Draven makin meledak. Siapa lagi yang bisa meniru tulisan cantik milik sang istri yang tiba-tiba pergi setelah melahirkan. Mengesampingkan rasa panas di dada, ia mulai mengatur napas membaca untaian kata yang terukir cantik di atas kertas hitam dengan tinta putih bersih.

Cintaku, Draven ....

Ketika surat ini sampai, mungkin aku sudah tidak ada lagi. Tuan Mo—pegawai panti tempatku dirawat—yang akan memberikan surat ini untukmu.

Aku mungkin sangat egois meninggalkanmu dengan anak kita yang baru lahir, tapi aku benar-benar tidak punya pilihan. Maafkan wanita tidak berguna ini, padahal selama itu kau sepenuh hati mencintai, memenuhi segala mimpi, dan hasratku. Namun, bodohnya diriku malah menjadi beban mengerikan bagimu, bagi kita, bagi keluarga kecil kita.

Oh Draven sayang, tiga bulan sebelum Dorotty kecil kita lahir, aku divonis kanker. Aku sangat tahu pengobatan untuk penyakit mematikan itu tidak murah apa lagi di negara ini. Si kecil pun butuh biaya yang tidak sedikit, dan aku tida berani memberitahumu. Jadi pergi adalah keputusan terbaik yang aku punya. Aku pun sangat percaya bahwa Draven Walker dapat mengurus anakku dengan baik dan sehat, meski aku tahu itu sangat berat dan melelahkan menjadi orang tua sendirian, maafkan aku.

Perlahan kebotakan menjadi teman, tubuh mulai melemah seiring penyakit memenuhi. Kuputuskan membiarkanmu hanya memilih Dorotty, tidak masalah bagi seorang ibu untuk mati demi kehidupan yang tak menyulitkan bagi orang-orang yang ia kasihi.

Aku sangat ingin memelukmu, menciummu, membesarkan Dorotty kecil kita sampai ia tumbuh jadi putri yang cantik dan ceria. Pun ingin mengirim foto untuk Dorotty bahwa aku adalah ibunya. Namun, orang berpenyakit seperti aku bisa apa selain menyusahkan kalian? Menghancurkan dunia yang sudah dibangun susah payah tanpa diriku. Sungguh sangat berdosa jika aku membuat kalian harus menerima semua itu.

Terkadang, saat kau datang ke rumah sakit mengecek keadaan putri kita, aku kerap melihatmu dari sudut lorong. Jerit hati ingin berlari ke arah keluargaku yang berharga, menghirup setiap inci aroma tubuh kalian, merasakan kehangatan langsung. Namun sudah kuputuskan untuk menghilang dari bagian hidup Draven dan Dorotty, biarlah jadi sebuah kenangan bahwa ada perempuan yang tega meninggalkan keluarganya demi keluarga, itu sudah cukup bagiku untuk membuat sebuah memori indah sebelum menutup mata.

Aku minta maaf, maaf ....

Ampuni jiwaku, Sayang ... tolong kasihani aku ....

Seseorang yang akan selalu mencintaimu dari jauh, Isabella

Setetes cairan membasahi tepat di kata Isabella, nama seseorang yang tumbuh menjadi mawar berduri di hati Draven, tangannya sigap mengambil kertas lain yang merupakan hasil tes bahwa orang terkasihnya bukan seorang pembohong.

Draven membeku, dingin membungkus bak selimut tak kasatmata berbanding terbalik dengan dadanya yang memanas bahkan ikut membuat kedua iris mengucur deras. Kebencian yang selama ini tertibun untuk wanita yang sering ia sebut jalang sialan adalah sebuah rahasia besar yang ditanggung sendiri oleh Isabella, cintanya.

Malam itu Draven bersimpuh dan meraung hebat, melepas duri-duri yang ternyata sudah mati dari hati, dari jiwanya yang sudah terbawa setengah seraya meremas pun mencium surat berbau khas sang istri. Ini kali kedua pria setangguh gunung, meruntuhkan tembok tinggi dan membiarkan diri terlihat lemah, masih oleh orang yang sama dan sebab serupa. Draven menangis keras seperti ketika Issabela kekasih hati yang pergi meninggalkan bayi merah dahulu, tetapi kali ini untuk selamanya.[]

.
.
.

[To Be Continue]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro