Chapter [4] Run After You

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ekor akan selalu mengikuti kepala, tetapi ketika ia menghilang, keadaan akan terbalik sepenuhnya."

.
.
.

"Bagaimana denganmu?" Wanita paruh baya menyentuh lengan Draven, sorot matanya terlihat khawatir sekaligus takut pada rupa lelaki muda di hadapan. "Kau tidak bisa di sini sendirian, lebih baik kembali bersama." Ucapannya kemudian diikuti anggukkan beberapa orang yang masih bisa menggunakan akal sehat.

Sejenak ia bergeming, menimbang-nimbang perkataan barusan yang terdengar lebih waras. Namun, Draven sudah memutuskan. Selagi membantu anak-anak menaiki perahu bermesin yang ia pakai mengejar, kepalanya bergerak ke kiri dan kanan. "Tidak," lanjut Draven.

"Ini mustahil ...," timpal seorang lagi. "Mereka pasti sudah jauh."

Tidak ada percakapan setelahnya, suasana menjadi canggung sampai semua yang berada di kabin bawah telah naik ke perahu lain. Draven meminta salah satu dari mereka untuk memanggil bantuan ketika sampai di pantai, berpesan pula untuk tetap saling merapat menghalau angin yang lebih ganas ketika sang surya tenggelam dan purnama tengah cantik-cantiknya memamerkan mutiara di cakrawala.

"Semoga Tuhan melindungimu dan orang yang kau cari ...."

Draven tersenyum kecil sebagai balasan atas doa murah hati dari seorang manula berparas lembut.

Suara mesin membelah air makin jauh terdengar, tinggal Draven seorang bersama mayat seorang yang ia yakini bagian dari sebuah organisasi atau kelompok aneh. Kali ini ia dapat melihat lebih jelas rupa orang tersebut, topeng yang mirip dengan orang pertama—sama-sama memiliki gambar semacam ular di bagian tengah dahi, sisanya hanya berupa kain hitam polos agak tebal. Saat Draven menarik penutup wajah itu, wujud seorang wanita terpampang jelas di depan mata termasuk luka tembak di leher bagian sisi kanan. Seorang ginger berbintik-bintik di pipi, rambutnya seperti warna bunga marigold, rupa yang menawan, tetapi itu tak menutup kemungkinan perempuan di sana merupakan bagian sindikat penculikan.

Di bagian saku ada semacam alat seukuran ponsel, menunjukkan sebuah titik merah yang berkedip-kedip dengan gelombang hijau. Draven terduduk sembari menelisik benda di tangannya, jika benar seperti yang ia duga, Dorotty masih bisa ... sebelum memeriksa lebih jauh, Draven harus mempunyai setidaknya sesuatu untuk bertahan. Di bagian dalam kabin terdapat sebuah ransel ukuran sedang, tali tambang bekas para tawanan, dan sekotak peralatan berisi palu, obeng, dan beberapa korek gas, serta sebuah pisau lipat. Senjata api yang ia bawa menyisakan dua peluru, Draven mesti menghematnya untuk keadaan darurat.

Perbekalan seadanya siap, beruntung pula ia menemukan dua batang cokelat protein di kotak penyimpanan es, para bedebah ini mungkin kelaparan saat menuju Wilmington. Demi kenyamanan bersama, Draven ingin memberikan penghormatan terakhir untuk si pemilik tubuh yang kini berjarak satu jengkal dari tepi perahu, lagi pula tidak mungkin ia mau menghabiskan perjalanan bersama orang-orang aneh. Lebih baik ia menjadi santapan ikan-ikan di laut, daripada membusuk tak berguna, bukan?

Di tengah-tengah pengejaran yang terasa lama, Draven memodifikasi ikat pinggangnya supaya bisa menyimpan palu dan pisau lipat, agar memudahkan ia kalau-kalau hal buruk terjadi. Dorotty memang luar biasa, gadis pendek itu berhasil membuat dirinya mengulang pekerjaan yang sudah dilepaskan demi menikahi Issabela. Kebencian, kemarahan, dan emosi-emosi aneh yang berkumpul dalam hati Draven membuat perut terasa lucu.

Sudut bibirnya tertarik ke atas sebelah, tawa renyah Draven dapat membangkitkan bulu kuduk siapa pun yang mendengar. Ia berbisik pelan hampir hanya gerakan bibir dan suara napas saja. "Tak adil jika Dorotty pergi. Kau harus menderita bersamaku ...." Menggunakan punggung tangannya menyeka sisa kotoran di wajah.

Bola gas di langit hampir mencapai titik paling atas, panasnya terasa lebih membakar kulit dibanding terik panas kota penuh debu dan bangunan tinggi. Draven memelankan laju perahu saat melihat siluet besar beberapa ratus meter di depan. Berdiri sebuah bangunan besar di pulau tersebut, tebing-tebing karang berujung runcing mengelilingi sekitar pulau, tampak beberapa speed boat berlalu-lalang mengitari tempat misterius yang bahkan tidak Draven ketahui, pun dua menara yang tingginya melebihi pagar beton menambah penasaran. Tempat itu tidak pernah muncul di peta mana pun. Barangkali memang tidak akan pernah ada lantaran pulau yang sekarang makin jelas terlihat adalah pulau buatan.

Draven memutar mencari tempat berlabuh di antara pepohonan sebelah timur di mana speed boat jarang melintas ke sana. Omong kosong jika ia tiba-tiba muncul melintas, bisa-bisa rentetan senapan mesin menghancurkan semua organ tubuh Draven, bagaimana tidak? Untuk apa penjagaan begitu ketat di tempat yang jauh dari keramaian dan manusia, jika memang tak ada sesuatu yang jauh dari kata legal. Memanfaatkan bayang-bayang pepohonan rindang, pria itu bergerak cepat, mata birunya sigap mengawasi sekitar, sementara kedua tangan bersiap dengan belati atau palu yang berada di sisi pinggang. Gerbang besar pada dinding beton bangunan di depan terbuka, entah dari mana pula sekumpulan manusia dari berbagai rentang usia berjalan tertatih-tatih serta terikat kedua tangan dan kaki. Kening Draven mengernyit, pandangan tidak begitu mampu melihat setiap pemilik wajah, ia butuh teropong.

"Adios."

Spontan Draven merunduk menyembunyikan diri di semak-semak, dari arah kiri depan seseorang bergerak menuju pinggir ke dekat air, sibuk menenggak sebotol minuman dari wadah kulit. Di pinggangnya benda yang dibutuhkan Draven tergantung seolah melambai-lambai minta diambil.

Pisau lipat terselip kuat di antara jemari panjang Draven, ia berjalan setengah berjongkok seraya melirik ke sekitar memastikan tidak ada yang melihat dirinya. Begitu jarak kedua orang itu terpaut dua langkah, ia segera menancapkan ujung pisau lantas menggerakkan mirip gerakan mencongkel di leher, pun meminimalisir suara lengannya yang lain sudah siap dengan sepotong kain dari lengan kemeja yang sengaja dirobek guna menyumpal mulut.

Wajah Draven yang belum lama bersih kembali ternodai cairan amis berbau besi, menggunakan benda tajam dibanding senjata api beresiko lebih kotor. Orang itu menggelepar menarik-narik lengan Draven berusaha setengah mati melepas cengkeraman, tetapi keterampilan orang di belakangnya jauh mematikan. Dalam hitungan detik, raga jangkung barusan terkulai kehilangan daya, kemudian diseret ke bawah pohon di mana semak-semak tumbuh lebih banyak. Jejak darah yang terpaut lumayan jauh dari pinggir ditutupi Draven dengan cara menaburi tanah dan daun-daun kering yang bisa ia temukan.

Meraih teropong dan memosisikan diri merapat ke tanah. Rambut cokelat kusut nan panjang sedikit bergelombang dapat Draven kenali di mana pun tanpa melihat siapa pemiliknya, dari cara anak itu melangkah agak menunduk ia sudah tahu bahwa Dorotty masih hidup, sedang menahan diri dari tulang-tulang bergemelutuk di bawah todongan moncong-moncong panas. Apalagi jaket yang dikenakan bocah di seberang sana adalah jaket yang Draven berikan untuk sang istri tercinta.

Seekor burung mendadak hinggap di teropong, Draven menyipit melihat wujud tak biasa makhluk bersayap dengan bulu-bulu mengilap. Ia tersentak lantas melempar hewan itu menggunakan tangan kosong ke air, kemudian secepat mungkin menjauh dari lokasi tempat ia mengintai. Betul saja, tak lama tiga orang bersenjata lengkap menghampiri dengan langkah yang sudah pasti bermusuhan.

"Sial ...," desis Draven melindungi kepala dari letupan timah panas di belakang. Ia mustahil tahu burung tadi adalah alat untuk mengawasi daerah mereka dan dirinya malah menatap lama mempersilakan siapa pun di balik kendali melihat rupanya secara lengkap.

Ia menggenggam batang pohon kecil menjadikannya sebagai bantuan untuk Draven berbelok sekaligus menghindari serbuan besar-besaran, kemudian bersembunyi di balik pohon besar. Degup jantung terasa melompat lewat gendang telinga, panas pun tekanan membuat gerak tangan Draven tak bisa. Ia segera berlari kembali ke belakang mengincar salah satu kepala orang yang terakhir mengejar. Serangannya berhasil mengenai bagian dada kanan samping, tanpa menunggu dua kawannya datang ia menarik palu menggempur bagian kening mencipta suara krak yang renyah dan ngilu. Mengambil alih senapan tipe serbu dan amunisi yang bisa diambil dan bergerak seperti sebelumnya.

Mengalahkan satu atau dua ia masih bisa, tetapi makin sering dirinya mengeluarkan serangan maka lebih mudah untuk mereka mengetahui keberadaan Draven. Cara teraman untuk sekarang hanya berlari zig-zag, menghindari berhadapan senjata secara langsung. Melaju di atas tanah bergelombang menjadi tantangan sendiri, ranting-ranting patah menghambat pergerakan, lumut licin, ditambah hewan-hewan liar yang tiba-tiba melintas seperti ular makin menyulitkan Draven.

Keadaan kian menggelap dan lembab berkat cabang-cabang pohon besar menutupi sinar mentari mencapai tanah. Draven tak menyangka pulau yang dikira hanya sebatas bangunan besar di awal, ternyata lebih luas dari dugaan. Ia hingga matahari kian condong dan masih belum mencapai ujung pulau, malah makin terkesan seperti hutan lebat tanpa akhir. Entah berapa lama lagi ia harus menghindari, dua dari rekannya yang mati belum putus asa mengejar. Tungkai makin mencapai batas, Draven tak bisa selamanya berlari.

Dengan mempertaruhkan segalanya, ia melompat begitu saja ke jurang terdekat yang tertangkap begitu berbelok tajam di dekat plang nama yang dimakan rayap. Bersiap mendapatkan rasa nyeri luar biasa akibat benturan benda keras, tetapi sebuah danau sebesar lapangan sepak bola terbentang mengerikan di bawah. Tekanan air menyakiti setiap inci tubuh Draven, mendesak lubang hidung dan telinga berniat masuk memenuhi paru-paru dengan cairan lantas memecahkan sistem peredaran darah. Ia mesti bertahan, berenang ke tepi tanpa menghirup udara ke permukaan sembari dihujani peluru sungguhan dari atas. Salah satunya berhasil bersarang di lengan atas kiri, membuat air yang tadi tak terlalu jernih sekilas berwarna merah sebelum akhirnya terhapus riak air.

Mereka berpikir tak ada yang bisa selamat menerima hujan peluru sampai habis satu magasin pada masing-masing senapan. Nyatanya Draven masih berumur panjang, susah payah ia merayap ke pinggir danau dengan beban dari barang-barang yang dibawa pun baju basah. Menyeret kedua tungkai ke celah batu besar, rumput-rumput berujung tajam menggores kulit perih, kerikil-kerikil kecil menancap pada lutut dan telapak tangan. Draven merangkak lantas bersandar sembari menarik napas panjang cepat. Luka di lengannya tak henti-henti mengucurkan darah segar dibarengi perih membakar bersama detak jantung yang menggebu-gebu. Sebisa mungkin Draven menekankan kuat-kuat, menyobek bagian kemeja yang tersisa dan mengikatnya guna menghentikan pendarahan sementara sebelum mengambil proyektil.

Ketegangan pada urat-urat di bawah kulit menjadikannya menonjol, Draven kini setengah telanjang bagian dada terbuka memperlihatkan bekas-bekas luka yang mulai tersamarkan. Cokelat protein sedikit menenangkan adrenalin kandungan glukosa memanjakan sel-sel darah kelaparan. Matahari berjalan menuju barat, Draven pikir ini bukanlah perjalanan mudah.

Kalau saja hari itu ia langsung datang begitu panggilan dari putrinya masuk, semua kesulitan ini tak akan terjadi. Setidaknya ia masih berada di wilayah yang sangat dikenal, lebih menguntungkan melawan musuh di medan familier. Draven mendesah pasrah, memikirkan nasibnya dan Dorotty yang terlibat sekumpulan orang berdarah dingin dan tak segan menguliti hidup-hidup.

Entah bagaimana caranya Draven harus menerobos masuk demi membawa Dorotty pulang dalam keadaan hidup-hidup, yang jelas cara awal tak akan berhasil dan dirinya sudah diketahui. Ia butuh persiapan dan senjata jika tak ingin berakhir dengan tubuh penuh lubang menganga.[]

.
.
.

[To Be Continue]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro