Chapter [6] Little Mouse (Part 1)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Tidak ada yang mustahil, hanya tingkatannya saja yang berbeda."

.
.
.

Tembok tinggi dan besar terpampang megah di hadapan. Tingginya sekitar tiga meter lebih, tebalnya mungkin dua sampai tiga puluh inci. Dinding beton kokoh bercat abu-abu putih tampak mengelilingi sebuah kawasan yang luasnya tidak diketahui. Setiap lima langkah orang-orang berpakaian sama hitam mengawasi sekitar. Menara yang dimaksud orang sebelumnya terlihat lebih besar dari dekat, jarak antara satu dengan lainnya cukup luas, mengingat Draven bisa mendengar suara mesin pesawat dan kendaraan berat.

Draven menyipit, berjongkok agak jauh di antara semak dan pohon rindang menghindari sorot lampu dari arah atas tembok. Tangannya meremas paha kesal, satu-satunya cara masuk adalah melewati gerbang dengan satu batalion bersenjata lengkap yang menjaga di dalam dan juga luar gerbang. Setiap yang masuk harus membuka penutup wajah pun memeriksakan sidik jari. Pria itu tidak mengira pengamanan masuk ke area bangunan besar tersebut begitu ketat. Ia pasti langsung ketahuan beberapa detik selanjutnya.

Keringat dingin mengalir deras membasahi serat-serat pakaian beraroma anyir berkat adrenalin yang tak kunjung mereda. Udara hutan malam terasa lembab, basah, dan dingin tidak menyenangkan. Draven mundur teratur menjauh, berjalan mengikuti ke mana ujung dinding beton mencari jalan masuk lain yang lebih sepi pun lebih manusia untuknya.

Tak tahu sudah berapa lama Draven melangkah, yang jelas kakinya mulai perih di bagian tumit dan ujung jari. Letih, lapar, hingga kantuk berdatangan. Bergelayut manja minta dipenuhi hak-haknya. Jarak antara ia dan tembok yang besar membuatnya mesti memakai tenaga lebih, ditambah medan yang berada di hutan dan sekitar dinding berbeda. Ranting kering bahkan tak jarang ular tiba-tiba muncul berniat mengadu kekuatan dengan Draven. Belum sinar-sinar dan drone berbentuk burung mengharuskan ia jeli mengambil satu demi satu langkah. Namun, tidak sia-sia, makin jauh dari gerbang, para penjaga kian minim. Ada beberapa yang masih hilir-mudik membawa senter, tetapi itu tak sepadat awal-awal, Draven bisa menyusup mendekat ke dinding. Pun lampu yang dipasang pada tembok tak sebanyak sebelumnya. Semak-semak rimbun tak ketinggalan ikut campur tangan dalam menyamarkan pria itu di tengah malam.

Seratus meter selanjutnya terdengar suara gemuruh cukup kuat tepat di depan. Draven mempercepat langkah, di sana saluran air memanjang dari lubang besar di tembok dengan air keruh berbau menyengat, yang masih tetap tercium meski Draven memakai penutup wajah lumayan tebal. Ia melongok ke arah sumber aliran air, tidak ada penjaga selain batang besi yang dipasang vertikal jarang-jarang. Sekitarnya pula tersebar sampah-sampah plastik dan entah apa pun yang dimasukkan ke dalam karung.

"Sial ...," desis Draven seraya memasuki aliran air yang lumayan kuat. Iris biru di balik topeng menyipit mendapati sesuatu berambut panjang tersangkut pada batang besi. Jelas sekali dirinya mengenal benda apa itu. "Kau berhutang banyak kepadaku, Dorothy, seumur hidup kau harus membayarnya ...."

Ia memusatkan kekuatan pada kedua tungkai berusaha melawan kuasa dari selokan bau dengan air setinggi di atas pusar miliknya. Celah antara besi satu dengan yang lain tidak terlalu sempit, Draven bisa melewatinya dengan sedikit menyamping dan berpegangan pada jeruji berdiameter lima sentimeter itu. Benda yang tadi tersangkut bergerak mendekat saat gelombang dari gerakannya mengguncang, mengambang pelan-pelan menuju Draven, membuat ia mau tak mau menggunakan sebelah kaki menyingkirkan bagian yang membusuk dan terlepas dari bagian utamanya.

Luas saluran air dilihat dari luar tampak kecil, Draven harus merasakan sekitar lima sampai sepuluh langkah macam dikubur dalam kubangan air, napas yang sudah menderu dibuat menyakitkan oleh udara malam sampai ulu hati sakit. Senter di tangan kanan menyoroti ke segala arah, gelap pekat nan merinding. Saat makin ke dalam tempat itu ternyata lumayan besar, mirip seperti koridor sekolah-sekolah dengan bagian atas setengah melingkar di mana masing-masing ujung menyentuh lantai. Draven melompat ke tepian di sebelah kanan, tak mau berlama-lama berendam cairan kotor penuh kuman.

Ia menyeringai sekaligus mengumpat, Draven mendadak harus menjadi seekor tikus kecil yang menyelinap di celah-celah demi bocah penyebab pening kepala. Sesekali terbersit penyesalan kenapa dirinya mesti menyerang bocah itu secara verbal lebih dari biasa. Kalau Draven sedikit menekan ego dan tetap mengabaikan Dorothy mungkin ayah dan anak tak pernah akur itu tetap di rumah, mengenakan pakaian hangat dan perut kenyang.

Suasana didominasi bunyi riak dan tetesan embun dari dinding lembab, ataupun suara langkah yang menggema dari arah depan menuju ke arahnya. Seseorang melangkah lebar menuruni tangga kedua sebelum akhirnya sampai ke lantai selokan paling bawah, yang sejajar dengan air. Ia menggerak-gerakkan senter sebesar kepala bayi di mana cahaya hampir sepenuhnya menyibak tirai kegelapan. Busana yang tak jauh berbeda dengan penjaga yang sudah ditelan para piranha. Pistol tersimpan di kedua paha, kali ini penjaga tak membawa

Draven berjongkok di belokan tangga, beradaptasi memanfaatkan titik buta sebelum cahaya menyilaukan menyorot kepadanya. Tangan kanan bersiap menyentuh belati. Pria itu menunggu, menunggu detik demi detik momentum paling pas sesaat lawan di hadapan ingin berbalik memandangi riak air. Sampai waktunya, Draven melompat sigap seraya menyilangkan kedua kaki di pinggang, tangan kiri bertugas menutup lokasi di mana mulut harus berada, sementara tangan kanan bersiap menghujam tepat pembukuh darah besar, menembus trakea menyebabkan pemiliknya meronta sejenak sekaligus tercekik, kemudian perlahan-lahan menggelepar kehabisan darah dan oksigen.

Aroma tubuhnya kian tak karuan, bau darah dan dendeng melekat mengganti harum woody lembut yang menjadi ciri khas dan wangi kecintaan wanita sialnya yang mati begitu saja. Ia bahkan tak perlu mengendus udara untuk mendapatkan reaksi perut macam diremas. Entah sudah berapa tahun lamanya bau ini tak pernah tercium.

Draven melucuti setiap senjata dari mayat, mengabaikan cairan lengket yang menggenangi lantai menjalar ke tepi tembok. Meski tak banyak. Ia berhasil mendapatkan beberapa amunisi untuk senjatanya, lima sampai sepuluh butir timah dan membuang pistol kosong sembarang. Sisanya tak ada yang berguna, sebungkus rokok tanpa filter serta serbuk putih aneh. Ikat pinggang yang sebelumnya dimodifikasi sedemikian rupa, ia buang dan menggantinya dengan pouch senjata, cukup untuk menyimpan pistol dan belati, kemudian memakai benda tersebut di paha. Lain hal dengan palu yang ia masukan ke ransel.

Perbekalan Draven kian menimpis, satu batang cokelat dan seperempat botol ukuran dua ratus mili liter alkohol. Memeriksa kesekian kali tubuh di bawahnya, tetapi tak ada hal yang bisa diambil lagi.

"Ini benar-benar menghinaku," bisik Draven di sela-sela merobek pakaian atas korban, lalu menendang tubuh bertelanjang dada itu ke air. Ia membasahi kaus koyak, mengelap setiap jejak-jejak merah yang bisa saja membuat dirinya masuk mulut singa hingga tak berbekas.

Sampai di lantai paling atas selokan, tepat di depan pintu dengan pegangan memutar Draven bergeming. Menimbang lagi sekarang belum terlambat untuknya kembali, cukup lama lelaki itu memandang antara pintu besi dan jalan dari mana ia datang. Lagi-lagi, dorongan menyebalkan mendepak logika yang berusaha keras untuk mengambil alih kesadaran. Persetan dengan kembali, Draven mencengkeram pembuka pintu lantas mendorong penghalang yang beratnya setara tubuh orang dewasa.

Sinar dari lampu-lampu besar serentak memasuki pupil, kengeriannya kian tumbuh membumbung ke langit. Bagaimana tidak, setiap yang lalu-lalang menenteng senjata laras panjang, ada pula yang berpakaian serba hijau dengan penutup kepala seperti tenaga medis—Draven menyipit, seperti yang dikatakan penjaga sebelumnya, dilihat dari pergerakan mereka cenderung lebih bebas masuk, berbeda dengan topeng hitam berlogo ular yang mesti diperiksa setiap memasuki gedung besar di sana. Mobil-mobil anti peluru berjejer tak lupa mesin di bagian atas yang mampu memuntahkan ratusan bola kecil perobek daging dalam sekali tekan. Empat menara yang berdiri kokoh di masing-masing penjuru. Bangunan yang menjadi pusat mengolok-olok manusia-manusia kecil dengan ukurannya yang luar biasa.

Draven menelan ludah. Tempat seperti apa yang sudah ia masuki? Ia bahkan tak ingin membayangkan dirinya menghabiskan waktu berputar-putar mencari Dorothy.

Lupakan, untuk sekarang Draven harus melipir ke tempat-tempat yang lebih sedikit mata dan telinga. Sebuah bangunan sebesar rumah pada umumnya berada tak jauh di arah kiri. Tanpa berlama-lama ia bergegas sambil menghindar berpapasan dengan para penghuni asli wilayah ini sebisa mungkin, berbaur bersama. Beruntung bukan hanya ia saja yang membawa ransel, ini dapat mengurangi kecurigaan dan terlihat mencolok. Pintu dari bahan plat baja tinggal beberapa langkah, tulisan di atasnya meyakinkan ia bahwa bangunan itu akan memiliki lebih minim pengawas.

"Hoi!"

Sistem saraf menegang seketika saat tepukan kuat menyentuh bahu. Draven berbalik hati-hati ke arah sosok yang sama-sama berpakaian seperti ia. "Ya?" Tak menyangka akan ada seseorang yang menyapa setengah berteriak tepat di depan mata ketika pintu terbuka. Diam-diam menarik napas dalam, mengatur ketegangan adrenalin yang memuncak seketika.

"Selesai patroli selokan, huh?" Orang itu mendadak menyodorkan sebatang rokok yang ragu-ragu diterima Draven. Posisinya tepat di depan wastafel hendak mencuci sepasang tangan penuh noda merah. "Tempat itu sama kotornya dengan orang-orang di sana, bajumu ..., " katanya menarik sebagian penutup wajah, menyelipkan gulungan tembakau berasap di bibir yang berpinggiran hitam.

"Ada mayat yang tersangkut." Suara yang lolos terdengar lebih berat dan serak. Jemari Draven memilin rokok sampai salah satu ujungnya pipih dengan isi yang berhamburan sedikit demi sedikit. "Kalian saling mengenal?" Lolos sudah pertanyaan yang sudah dipertimbangkannya dengan bertaruh nyawa.

Tawa mengejek terdengar. "Dasar bodoh! Kau tak perlu mengenal bajingan yang berkumpul demi uang. We need the money, not the people ... kau sendiri begitu, bukan? Atau?" Ia menengok sedikit, kedua lengannya bersedekap tak lagi jari yang sudah terbungkus sarung itu mengapit batangan perusak paru, rokok yang diisap kini menjadi serbuk abu di sekitar kaki.

"¹." Draven berusaha senatural mungkin berbicara dengan aksen khas orang-orang Spanish. "Uang segalanya," lanjutnya.

Orang di sebelah mendekatkan sesuatu ke telinga, tampak berbicara dengan kawannya di seberang tentang sesuatu ... yang pasti salah satu dari mereka yang mati dan hilang ditelan air, sudah ditemukan. Draven tetap mempertahankan gerak-gerik biasa saja, tangan kanan yang berdekatan pistol bersiap kalau-kalau ia mesti memulai peperangan—semoga itu tak terjadi—berdiri mematung mengawasi seisi ruangan yang digunakan sebagai tempat mencuci atau hal semacam itu.

Ada dua jendela yang hanya bisa dilewati seorang bocah kurus di belakang dekat mesin cuci, sisanya pintu jalan ia masuk. Lemari-lemari tanpa penghalang berisi tumpukan busana suram, pun wadah besar berdampingan mesin pengering tampak seperti tempat baju kotor. Draven terheran tanpa sadar, baru kali ini ia menemukan kriminal yang menjaga apa yang dikenakan tetap bersih.

"Kau tahu." Pria itu bersuara selepas menutup sempurna wajah. "Aku bukan orang bodoh yang tertipu bau darah—"

Perkataannya bahkan baru sampai tahap puncak, tetapi ciuman hebat dari gagang pistol lebih dahulu membungkam mulut orang itu. Draven langsung melepas satu timah menuju leher di tengah keterkejutan. Jika saja ia telat atau meleset, akhir dari perjalanannya akan terhenti di mesin cuci dengan badan termutilasi.

Seperti biasa, kegiatannya tak jauh dari bunuh dan hilangkan barang bukti walau bersifat sementara, setidaknya itu memberi Draven waktu. Kali ini tempat cucian kotor menjadi wadah sempurna, mengubur raga tak bernyawa yang sebelumnya telah digeledah menggunakan pakaian-pakaian pesing. Draven pula buru-buru melucuti setiap kain yang tertempel di badan, menukarnya dengan setelan baru. Pun membersihkan bangunan laundry seolah tak pernah terjadi apa-apa.

Senjata laras panjang jenis AK-47 disampirkan di bahu. Draven mengunyah makanan terakhir mengisi perut, melemaskan otot tangan sejenak seraya bergumam-gumam pelan. Ia tidak akan ragu lagi membuang bisikan-bisikan yang memintanya pulang dan merelakan sang anak. Draven betul-betul akan menyeret Dorothy meski mereka harus kembali dalam bentuk daging membusuk.

Masalahnya sekarang adalah lokasi. Peta yang berada di salah satu menara pasti bisa membawa Draven ke mana mereka membawa putri kecil pembuat onar.

Begitu ia sampai di salah satu pintu masuk menara, tiga orang menggotong papan sebesar meja dorong hidangan. Sungguh keajaiban di tengah-tengah kesialan, hal yang Draven cari muncul di depan mata. Namun, mengambilnya tak semudah menyusup ke sarang kematian ini.[]

.
.
.

[To Be Continue]

___
Note:
1. : Iya

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro