Her

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Aku ingin jujur namun aku tak bisa. Biarkan kebohongan ini berlanjut, asal aku bisa bersamamu.

Inilah kisahku Fadilla Rahma


000


Tidak ada kegiatan yang lebih bagus selain berolahraga-menurut seorang Rahma. Gadis itu mendribell bola yang ada di tangannya namun ia dihadang oleh dua pemain lainnya. Gadis itu lalu melakukan pass. Sepertinya ia melemparnya kurang akurat sehingga bola tersebut meluncur keluar gor.

"AWAS!" teriaknya pada pemuda yang berjalan.

Kepalanya terbentur dengan bola basket.

"Ouch, kurasa itu sakit sekali," bisik seseorang di samping Fadilla

Gadis itu mengangkat bahuku dan mendekatinya.

"Ngehindar donk tadi," ucap Rahma dan mengambil bola tersebut.

"Kalau main hati-hati! Bagaimana jika aku terkena stroke!" ucap pemuda itu, terdengar belebihan di telinganya.

Emang segitu aja bisa ngebiat stroke? Jangan bercanda! Dasar lemah!

"Kau terlalu banyak mengkhayal!" ucap Rahma memandang sengit kearah pemuda itu, lalu berbalik pergi, meninggalkan pemuda berkacamata itu, menuju ke GOR.

Rahma memantulkan bola tersebut, salah satu teman se-timnya menangkap pantulan bolanya.

"Ada apa denganmu? Permainanmu terlihat menurun," ucap pelatihnya.

"Maaf," gumam Rahma, "Saya akan berusaha lebih keras lagi."

"Padahal kau poin guard terbaik tahun lalu," pelatih menghembuskan napasnya, "jika performamu menurun maka aku tidak bisa memasukkanmu ke dalam porsenijar tahun ini."

Rahma mengangguk, "Baik Pak!"

000

Rahma menyeka keringatnya, rasa lelah luar biasa menyerangnya. Apalagi kepalanya yang terasa pusing akhir-akhir ini.

"Wajah kakak tampak pucat," komentar Baron,

"Benarkah?" tanya Rahma, ia lalu berlari menuju ke kamarnya, melihat di cermin besar tersebut.

"Ah... ya, wajahnya tampak pucat. Mungkin ia terlalu bersemangat sehingga ia tidak menyadarinya.

Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka, menampakkan sosok Baron.

"Kak, dipanggil bunda," ucapnya dan menutup pintu

Rahma mengangguk, lalu dengan cepat mengganti seragamnya dan mandi. Turun menuju ke lantai pertama. Dimana Baron dan Ibunya sedang menyantap makan malam.

"Rahma, duduklah." Ucap Ibunya, gadis itu patuh saja.

"Wali kelasmu berkata bahwa prestasimu menurun di semester ini, apa ada sesuatu yang menganggumu?" tanya ibunya,

Rahma menggeleng, lalu menyendok nasi dan meletakkannya di piringnya. "Aku belajar, dan latihan basket sepulang sekolah seperti biasanya,"

"Sepertinya kak Rahma sakit, ia sering mengeluh kepalanya sakit." Celetuk Baron, langsung mendelik kearahnya.

Bagaimana Baron tidak tau? Kamar mereka berseberangan, apalagi Rahma sering mengeluh-dengan keras-bahwa kepalanya pusing.

Ibunya langsung berdiri, "Kita harus memeriksanya ke dokter sekarang!"


000


Sehabis bel istirahat berbunyi ia langsung beranjak ke perpustakaan untuk belajar dan sedikit menenangkan diri. Saat ia sampai tidak ada orang disana. Ia harus memperbaiki nilai ulangannya, dengan belajar lebih keras lagi.

Keadaan ini membuatnya kesal juga. Jadi Rahma mengeluarkan music player-nya, namun ia lupa membawa earsetnya.

"Sudahlah, putar-putar saja," gumamnya

Di tengah asik-asiknya dirinya menjawab soal-soal yang ada di buku, seseorang mengambil musicplayer miliknya.

"Hei diamlah!" ucap pemuda itu kesal

"Apaan sih!" sahut Rahma kesal,

Mereka saling tatap-menatap dengan pandangan paling garang.

"Nih, kalau mau konser sebaiknya di lapangan, bukan disini!"

"Suka-sukaku donk! Cepet balikin!" kata Rahma

"Fadilla Rahma, si cewek bar-bar. Nih kukembalikan," ucap cowok itu sambil melempar musicplayer tersebut.

Rahma terkaget dan berusaha untuk menangkap musicplayernya, namun entah mengapa mata dan tangannya tidak ingin berkoordinasi dengan baik. Sehingga ia gagal menangkap benda tersebut.

"Ck! Menyeballkan!" gerutu Rahma sambil mencoba mencari musicplayernya yang berada di kolong meja.

Ugh... pusing. Katanya dalam hati.

Pemuda itu berjongkok dan membantunya.

"Hh... aku jadi ragu apakah kau benar-benar anggota klub basket jika menangkap benda kecil seperti itu tak bisa." Kata pemuda itu sambil memberikan musicplayer milik Rahma kepada gadis itu.

Rahma menerimanya dengan rasa sedikit kesal. Ia lalu beranjak dari sana dengan langkah yang dihentak-hentakkan.

Apa-apaan sih tu orang?! Batinnya

"Namaku Rangga! Kau boleh mengingatnya sebagai musuhmu!" teriak pemuda itu.

Sedangkan Rahma terus berdecak sebal, meninggalkan ruang perpustakaan.

000

Rahma melempar bola jingga tersebut, namun tidak masuk ke dalam ring.

Sekali lagi!

Rahma mendribel sebelum akhirnya melompat dan melakukan lay up. Namun tidak berhasil. Kata-kaat pelatih tadi pagi masih terngiang di telinganya.

Maaf Rahma, kamu tidak bisa maju ke porseniijar tahun ini.

Rasanya sangat sakit, tentu saja. Rahma sendiri juga merasa bahwa kemampuannya entah kenapa, menurun dari sebelumnya. Padahal ia sudah menjaga pola makan dan istirahatnya. Lemparannya sering tidak akurat. Terkadang juga ia merasa konsentrasinya terpecah serta kepalanya yang sering terasa sakit.

Mungkin ia hanya kelelahan saja, ya. Mungkin ia hanya kelelahan saja.

Rahma kembali mendribel bola sebelum akhirnya melakukan lemparan.

"Ini sudah malam, kau tak mau pulang?" tanya seseorang.

Refleks Rahma menengok ke belakang menemukan Rangga yang berdiri dengan tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana.

"Belum, nanti," sahutnya lalu kembali melempar bola jingga tersebut.

Rangga lalu duduk dan memperhatikan Rahma yang berusaha memasukkan bola dari posisinya berdiri. Sedangkan Rahma tidak terlalu mengacuhkan keberadaan Rangga, yang entah mengapa membuatnya sedikit kesal.

Setelah merasa lelah Rahma duduk begitu saja.

"Sudah selesai?" tanya Rangga sambil mendekati Rahma, gadis itu hanya mengangguk singkat dengan napas yang pendek-pendek.

"Dimana tasmu?" tanya Rangga lagi, Rahma menunjuknya.

Rangga lalu beranjak mendekati tas milik Rahma dan mengelarjan botol air, memberikannya kepada Rahma gadis itu menerimanya dan meneguk habis isinya.

"Thanks," ucap Rahma lalu rebahan di lantai GOR,

"Rahma kau sakit?"

Pertanyaan Rangga membuatnya terkejut-langsung kembali ke posisinya duduk.

"Apa maksudmu?! Aku sedang tidak sakit!" ucap Rahma mengelak.

Tentu saja, ia merasa sedikit pusing sekarang, namun sebagai atlit ia sangat sangsi apabila dikatakan sakit.

"Aku sehat bugar! Aku bahkan masih bisa berolahraga dan lalu kau bilang aku sakit?!"

Rangga lalu duduk bersila di dekat Rahma, "Hah... jadi gitu ya...." Ucap Rangga sedikit kecewa.

Heh?! Jadi kau ingin aku sakit begitu?! Protes Rahma dalam hati.

"Lalu kenapa kau tidak ikut porsenijar?" tanya Rangga

"Aku sudah bosan, jadi aku tak ikut lagi," jawab Rahma cuek,

"Jadi begitu ya... kukira kau nggak ikut karena sakit, padahal kau itu best scorer."

Entah mengapa pujian itu terasa menyindirnya.

Mereka akhirnya keluar dari sekolah ketika langit sudah gelap, Rangga menemani Rahma sampai cewek itu masuk ke dalam bus, mereka tidak mengatakan apapun sejak keluar dari GOR


000


"Tumben tidak berisik,"

Ucapan Rangga membuat Rahma yang sedang sibuk belajar di dalam perpus langsung menoleh kepadanya.

"Bukan urusanmu," ucap Rahma sambil kembali menulis, moodnya seketika langsung jatuh.

"Kau galak sekali," ucap Rangga sambil duduk di samping Rahma, gadis itu bergeser sedikit, menjauh dari Rangga.

"Lho? Kok malang menjauh," ucap Rangga heran,

"Bukan urusanmu," sahut Rahma

"Tapi ini urusanku," kata Rangga sambil membenarkan kacamatanya, lalu membaca note milik Rahma. Membuat gadis itu kesal.

Apa-apaan sih dia?!

"Whoa... kau tertinggal banyak sekali, padahal setauku tahun kemarin kau mendapat rangking tiga besar di kelas."

Rahma menatap Rangga dengan wajah dongkol. Sepertinya pemuda itu suka sekali mengejeknya.

"Sudah kubilang ini bukan urusanmu!" ucap Rahma sambil merebut kembali note miliknya, sedangkan Rangga tertawa.

"Fadilla Rahma, bagaimana kalau kita pacaran?"

Dengan tenang Rangga mengatakan itu, cowok itu dapat melihat reaksi Rahma yang terkejut bukan main. Tingkah pemuda itu tidak dapat ia prediksi.

Entah, rasanya malu, kesal dan senang jadi satu. Oke ia memang merasa sedikit senang karena ini kali pertama ia ditembak. Namun sayangnya orang yang menembaknya adalah orang yang suka sekali mengejeknya.

Rahma berusaha untuk menyusun kata-kata. Namun entah kenapa isi kepalanya buyar seketika

"Kayaknya kau butuh waktu, yaudah kita friendzone dulu." Kata Rangga, "baru beranjak ke couplezone."

Perkataan Rangga tersebut makin membuat Rahma cenat-cenut, oke sepertinya ia harus benar-benar menjaga jarak dari pemuda tersebut. Ia tidak tau apakah pemuda itu berbocara jujur atau malah sebaliknya.


000


Rasanya ia ingin melompat dari gedung tertinggi di dunia, lalu menyelam ke dalam dasar lautan yang dalam.

Kemarin sepulang sekolah ia dan ibunya pergi ke rumah sakit untuk mengambil hasil pemeriksaan beberapa hari yang lalu. Dan hasilnya sangat mengejutkan.

Kankernya sudah mendekayti stadium empat, jika dibiarkan seperti ini...

Rahma menyeka airmatanya. Ia tidak menyangka akan memiliki penyakit yang sama dengan kakaknya. Penyakit yang merenggut nyawanya 5 tahun yang lalu.

Dengan seragam yang masih menempel di tubuhnya Rahma tetap memaksakan diri untuk pergi kesekolah.

Kau kuat, kau tidak lemah, Rahma kau pasti bisa! Batinnya menyemangati diri sendiri.

Namun entah mengapa, saat ia sudah sampai di depan pintu gerbang, ia menggurungkan niatnya masuk ke dalam. Ia takut... ia takut jika teman-temannya tau, ia takut kalau mereka akan mengasihina ia takut...

Ia takut berpisah

Rahma berbalik pergi menuju ke taman kota yang berada dekat dengan sekolah, duduk di bawah salah satu pohon dekat dengan kolam, berusaha menenangkan diri.

Namun yang ada malah sebaliknya, ia menangis.

Mungkin, setelah ini ia akan berada di rumah sakit, menjalani kemoterapi dan pengobatan lainnya. Namun ia tau bahwa hanya ada sedikit harapan untuknya tetap bertahan.

Entah berapa lama ia berada disana, melamun dan menangis seperti orang gila. Baju seragamnya bahkan basah karena airmatanya.

"Jadi disini kau rupanya,"

Rahma menoleh dan menemukan Rangga berdiri memandang dirinya.

"Bukan urusanmu," sahut Rahma dengan kesal.

Rangga lalu duduk di samping Rahma, "Jangan nangis begitu, wajahmu tambah jelek tau," ucapnya sambil mencubit pipi Rahma

"Sakit tau!" ucap Rahma yang sedikit tak terima dengan perlakuan Rangga.

Tanpa pemberitahuan , pemuda itu memeluk tubuhnya.

"I'm always by your side, where ever you are," bisik Rangga,

Rahma terdiam, pelukan Rangga begitu hangat, begitu menenangkan. Ingin rasanya ia tetap seperti ini. Ingin rasanya... bisa bersama Rangga seterusnya.

Tapi apakah itu mungkin? Umurnya pun bisa dihitung jari sekarang.

Mengapa disaat-saat seperti ini perpisahan harus datang? Kenapa terlalu cepat? Kenapa?

Kenapa ia harus merasa sedih-padahal perpisahan itu balum benar-benar datang?

Tanpa sadar ia menangis lagi, "Are you promise it?" tanya Rahma

"Yes, I promise you forever right now."


000


Waktu berlalu begitu cepat, entah mengapa rasanya mereka semakin dekat. Rangga bahkan meluangkan waktu untuk makan siang bersama dengan Rahma. Terkadang pemuda itu juga ikut bermain basket bersamanya sepulang sekolah. Rahma kira Rangga orang yang dingin dan misterius. Rupanya pemuda itu juga mempunyai sisi hangat dan humoris. Walau kadarnya lebih sedikit, sisanya ia lebih sering membuatnya jengkel.

Rahma menikmati semuanya, menikmati waktu yang berharga ini.

Gadis itu terkadang teringat dengan pengakuan Rangga. Ia tidak bisa untuk tidak mengabaikan pertanyaan, 'apa kau mau jadi pacarku?' dari Rangga.

Pemuda itu terlalu terang-terangan di awal, namun entah mengapa ia tidak terlalu terang-terangan, sejauh ini. Ke-frontalan pemuda itu juga kadang membuatnya cenat-cenut.

Rahma menjalani beberapa pengobatan, dengan harapan rasa sakitnya berkurang, walau ia tau sedikit kemungkinan ia bisa sembuh. Seharusnya ia berada di rumah sakit sekarang, mengingat kondisinya. Namun Rahma bersikeras bahwa ia masih kuat. Ia tidak ingin kalau teman-temannnya sampai tau tentang penyakitnya.

Terlebih orang itu....


000


Rahma menonton pertandingan antar kelas yang diadakan oleh sekolahnya. Ia sendiri mewakili kelasnya dalam pertandingan basket.

Diantara kerumunan penonton, Rahma berdiri dan menyemangati Rangga.

Ketika pemuda itu selesai dengan pertandingannya ia mendekati Rahma,, "Jadi, bagaimana permainanku tadi?" tanya Rangga

"Biasa aja," sahut Rahma

"Cie... ngaku aja Rah nggak ada salahnya," ucap Frieska mengimpori.

"Ish Frieska diem! Nanti aku rusak teropong bintangmu ya!" sahut Rahma sedikit kesal

Rangga tertawa renyah, "Jangan malu-malu tai kucing gitu Rah,"

Disudutkan seperti ini ia kalah juga, "Iya-iya deh! Permainanmu tadi sangat hebat," ucap Rahma malu-malu

"Rahma, aku pergi dulu ya dah!" ucap Frieska sambil ngacir pergi dengan cengiran aneh di wajahnya.

"Wah temanmu itu baik sekali, meninggalkan kita berduaan," ucap Rangga membuat Rahma cenat-cenut, sepertinya pemuda itu memiliki tingkat kepercayaan diri yang terlalu tinggi.

"Tentang pertanyaanku dulu... apakah kau mau menjadi pacarku?" tanya Rangga

Rahma terkejut, ini adalah pertanyaan yang paling ia hindari dari dulu. Pertanyaan yang tidak bisa ia jawab. Pertanyaan yang membuatnya gelisah akhir-akhir ini.

"Maaf, aku tak bisa bersamamu," ucap Rahma dengan berat.

Semakin dekat kita, semakin kuat rasa ini, semakin kuat juga rasa sakitnya.

"Kenapa?" tanya Rangga, sepertinya pemuda itu tidak terima dengan keputusan Rahma "Padahal kita sudah sedekat ini,"

Ya, padahal kita sudah dekat, namun inilah keputusan yang terbaik.

"Maaf..." ucap Rahma lalu berlari pergi meninggalkan Rangga.

Rasanya sesak.

Terlalu sesak.

Aku ingin menangis.


000


"Rahma ayo semangat!" ucap Frieska sambil memegang bendera kelasnya.

Yup, sekarang gadis itu akan maju untuk bertanding. Meskipun kepalanya terasa sedikit pusing namun ia tetap memaksakan diri untuk ikut.

Rahma berusaha untuk tetap berkonsentrasi selama pertandingan berlangsung. Namun saat ia melakukan pass tubuhnya ambruk, dan tak sadarkan diri.


000


Apa aku sudah... mati? Gelap... tempat ini sangat gelap. Aku... takut....

Rahma membuka matanya dan bangun. Menyadari keberadaan Rangga di dekatnya.

Sepertinya aku pingsan lagi, pikirnya.

"Aku pingsan tadi ya?" tanya Rahma sambil tertawa, berusaha untuk menetralkan suasana yang terkesan kaku.

"Kalau sakit seharusnya kau tidak memaksakan diri," sahut Rangga terkesan dingin

"Maaf," ucap Rahma sedikit menyesal, sepertinya ia telah membuat pemuda itu kesulitan.

Rangga memeluk Rahma, "Aku khawatir sekali denganmu..."

Entah mengapa ia merasa sedih, apa mungkin waktunya tinggal sedikit?

Rahma membalas pelukan Rangga lalu menangis, "Maafkan aku... maafkan aku..."

"Sudahlah jangan menangis," ucap Rangga lalu melepas pelukanya.

"Rangga kau harus berjanji akan memberikan boneka padaku valentine nanti." ucap Rahma,

Rangga menyengritkan dahinya heran, "Kenapa kau meminta hal seperti itu?"

"Soalnya kau bau saat dipeluk, kalau meluk teddy bear kan lebih wangi,"

"Ish ! kau ini!" kata Rangga sambil menyentil dahi Rahma

"Are you always by my side?" tanya Rahma

"Wherever you are I always by your side, I promise it. Kenapa kau tiba-tiba mengatakan hal itu lagi?" tanya Rangga

"Soalnya aku juga punya rasa yang sama,"

Kata itu meluncur saja dari dalam mulutnya, tanpa diperintah otaknya. Mungkin jika ia mengucapkannya sekarang, setidaknya ia tidak akan terlambat.

Belum sempat Rangga membalas perkataan Rahma, pintu UKS lalu terbuka memperlihatkan orang tua Rahma yang datang dengan wajah panik.

"Kau tidak apa-apa?" tanya ibunya, Rahma menggeleng

"Kita ke rumah sakit sekarang!" kata Ayahnya

Mereka lalu membawa Rahma masuk ke dalam sebuah mobil, cewek itu memberikan seulas senyuman pada Rangga sebelum akhirnya pergi dibawa mobil.


000


Dua hari kemudian...

Rahma melihat kearah lampu langit-langit lorong rumah sakit.

Sekarang saatnya.

Terima kasih untuk segalanya. Ucapnya dalam hati sebelum akhirnya masuk ke dalam ruang operasi.

Ia mungkin akan pergi hari ini, dan ia tak akan menyesali apa yang akan terjadi nanti. Mungkin itulah yang terbaik untuk akhir kisahnya.




END







Versi Rangga https://my.w.tt/UiNb/7GULPDUL5

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro