(1)Jurusan "Kandang Binatang"

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah jam pelajaran terakhir selesai anak-anak lainnya sudah pulang. Tinggal aku, Jessica, dan Frey yang masih bertahahan di kelas menunggu jarum jam menunjuk pukul tiga lewat lima belas. Masing-masing dari kami memiliki ekstrakurikuler berbeda yang harus diikuti selepas pulang sekolah. Jessica di barisan paskibra, Frey di klub futsal sekolah, dan aku di kelompok jurnalistik. Sebenarnya kedua temanku itu bisa langsung pergi ke lapangan dan kumpul bersama teman ekskul mereka. Tapi aku menahan keduanya karena enggak mau nunggu di kelas sendiri. Sekolah kalau uda sepi, kan serem.

"Kenapa enggak nunggu di kelas ekskul aja, sih, Cha?" protes Frey. Dia emang paling semangat kalau mau kumpul klub futsalnya.

"Aduh, tunggu bentar dong. Anak lain pasti belum dateng nanti aku sendirian di sana."

"Iya, Frey. Kasihan Icha uda tunggu bentar aja."

"Jessica emang paling pengertian, deh." aku berbasa-basi.

Sudah lama aku dan anak jurnalistik lain mengeluh soal kelas ekskul ini. Sebab SMK Anugerah tidak memiliki bangunan khusus untuk kegiatan ekstrakurikuler siswa. Sehingga kami hanya bisa memanfaatkan ruang kelas yang kosong. Padahal tiap kegiatan kesiswaan di sekolah banyak mendapat kejuaraan. Tapi berkontribusi dengan bangun satu gedung khusus ekskul aja pihak sekolah enggak mau.

Setelah jam tiga lewat lima belas menit berlalu aku, Frey, dan Jessica berpisah di bawah. Kelas kami ada di atas sementara kelas untuk ekskul di bawah. Kedua temanku langsung pergi ke lapangan depan. Sementara aku berjalan di sepanjang koridor. Aku melewati beberapa ruang kelas mulai tingkat sepuluh hingga sebelas dari berbagai jurusan. Ternyata enggak semua kelas sudah benar-benar kosong. Ada beberapa siswa yang masih asik ngobrol atau makan jajan di sana. Padahal kalau jadi mereka aku lebih memilih untuk pulang dan makan. Ngomong-ngomong soal makan perutku sekarang lagi laper banget. Soalnya tadi istirahat pertama enggak pergi ke kantin gara-gara baca The Orion ulang. Istirahat kedua cuma cukup buat antri wudhu dan sholat dhuhur di mushola.

"Icha!" Mita, ketua ekskul jurnalistik menyapaku.

"Hai, Mit!" aku melambaikan tangan ke arahnya.

Mita itu setingkat denganku anak kelas sebelas, tapi dari jurusan broadcasting. Dia pernah juara membuat tulisan lepas di koran harian dan tergabung dalam projek film pendek pas kelas sepuluh. Mita punya wajah cantik tapi enggak semua cowok berani deketin dia. Kata anak-anak dia sedikit cuek. Emang benar, sih. Pertama kali kenal Mita di ekskul aku juga merasa dia orang yang dingin, kaku, dan enggak bisa senyum. Setelah bergabung selama enam bulan bersamanya, apalagi semenjak dia memegang jabatan sebagai ketua aku baru tahu ternyata itu cuma sikap tegas saja. Kalau di luar ekskul Mita baik kok, bisa diajak bercanda juga.

"Cha, anak-anak sudah kumpul di ruang perpustakaan, tuh!"

Aku melongo. "Lho, kok ruang perpustakaan? Biasanya kan kita di kelas sepuluh perkantoran."

Mita mengerutkan kening. Justru dia yang keliatan kaget dengan jawabanku."Kamu lupa, ya? Kita, kan mau bahas majalah akhir tahunan. Di perpustakaan ada salinan dari tahun-tahun sebelumnya. Kita bisa baca itu untuk bahan rujukan sekaligus revisi."

"Oh." aku bukan cuma lupa bahkan enggak tahu soal rencana itu.

"Ya, uda kamu langsung ke sana, gih."

Perpustakaan itu letaknya di depan. Di dekat lapangan. Tempatnya nyaman, dingin, enak pokoknya. Yang bikin sebel kalo ke sana mesti ngelewatin kandang binatang dulu. Eh, sekolahku enggak punya peliharaan, kok. Kandang binatang itu maksudnya kelas anak TTU (Teknik Tata Udara). TTU adalah jurusan yang isinya cowok semua. Aku enggak bilang semua cowok itu binatang, ya. Cuma julukan itu diberikan sama pak Anton guru ketertiban kami. Karena memang dari tahun ke tahun yang namanya jurusan TTU enggak ada siswa benernya. Semua isinya cowok begundal.

"Eh, Mit kamu mau ke mana? Kita ke perpustakaan barengan aja, yuk." aku enggak takut lewat kelas TTU cuma enggak nyaman kalau ada mata jelalatan yang suka ngeliatin dan mulut celometan yang suka siul-siul. Dipikir cewek itu burung apa?!

"Mau ke kantin beliin anak-anak jajan. Kasian kalo laper."

Nah, apa aku lupa kasih informasi kalau Mita adalah ketua ekskul paling loyal sesekolah. Dia enggak pernah absen apalagi pura-pura lupa nyediain snack buat anak-anak. Dan harus digaris bawahi semua pakai uang pribadi. Enak, kan punya ketua begitu.

"Aku ikut deh, Mit," kataku sambil menyusul langkahnya. Selain untuk menghindar lewat kelas TTU sendirian aku ikut ke kantin buat beli makanan juga. Snack itu gratis dari Mita kalau nasi enggak.

***
Benar, kan. Pas aku dan Mita lewat kelas TTU uda ada lima orang cowok sedang duduk nongkrong depan kelas mereka. Lagaknya kayak yang punya sekolah. Kalian pernah liat preman yang biasa nagih uang setoran di sinetron, ya persis kayak gitu. Tas di punggung, duduk sambil menaikan sebelah lutut, siul-siul pas kami lewat. Malah ada yang meneriakkan nama Mita, lalu bilang minta nomernya, dong.

"Uda Cha enggak usa diladenin. Mereka enggak ada kerjaan!" ucap Mita saat melihat aku menunjukkan ekspresi ngeri.

"Kamu enggak takut apa digodain begitu?"

Mita tersenyum. Menengok ke belakang. Cowok-cowok itu masih ketawa-ketiwi memandang kami. "Semakin kita takut semakin mereka berani sama kita."

Aku memang bukan tipe cewek kuper dan culun, cuma risih saja melihat tingkah cowok model begitu. Amit-amit jangan sampe tiga tahun sekolah bakal berurusan sama mereka.

Setelah sampai di perpustakaan kami melepas sepatu dan menaruhnya pada loker yang disediakan di depan ruangan. Sekolah kami yang punya visi peduli lingkungan memberikan aturan untuk melepas sepatu saat masuk ruangan. Terkecuali ruang guru dan kantor kepala sekolah.

Di dalam perpustakaan anak-anak jurnalistik sudah kumpul. Semuanya tingkat sebelas dari berbagai jurusan, tapi kebanyakan dari broadcasting. Jurusan perbankan hanya ada aku, perkantoran ada satu, jasa boga dua, dan perhotelan tiga orang. Untung enggak ada anak TTU.

Kami mulai merangkai rancangan pembuatan majalah akhir tahunan. Program ini sudah ada dari tahun ke tahun tinggal di berikan pada anggota ekskul selanjutnya. Mita memberikan beberapa tema dan ide untuk desain dan isi majalah. Tak banyak yang berubah dari edisi sebelumnya hanya kali ini terasa lebih kekinian. Desainnya pun penuh warna dan lucu tapi artistik. Kami melakukan pembagian tugas untuk isi majalah. Ada yang kebagian profil sekolah, hiburan, rubrik, fotografi dan artikel. Aku sendiri kebagian artikel.

"Cha gimana menurut kamu kali ini apa tema artikelnya?"

Aku sedang mengetuk pensil pada majalah lama. Artikel edisi lalu tentang artis yang sedang terkenal. Ah, itu basi sekali. Gosip artis sekarang bisa dilihat di mana-mana. Apalagi ada media sosial enggak ada menariknya artikel begitu. Apa sih yang mau dibaca sama anak SMK? cara mengotak-atik mesin? Tips memasak kreatif menggunakan bahan seadanya? Enggak. Anak SMK itu paling suka kalau ngomongin soal temannya sendiri.

"Bagaimana kalau kali ini kita buat artikel tentang siswa SMK Anugerah sendiri?"

Mita dan anak-anak lain memandangku. Aku sempat ingin menarik kembali ide itu sampai Mita bertepuk tangan. "Ide bagus, Cha."

Tuh, kan.

"Menurut kamu tentang apa?"

"Semacam artikel motivasi yang memuat prestasi dan segala macam tentang salah satu siswa SMK Anugerah. Pandangan masyarakat luar soal siswa SMK selama ini selalu buruk. Itu, kan enggak sepenuhnya benar. Banyak kan temen kita yang punya prestasi, tapi enggak pernah ke
Up. Jadi dengan artikel itu bisa membuat semangat ke siswa lain kalau pilihan mereka sekolah di sini enggak sia-sia. Majalah ini juga terbit bersamaan sama kenaikan kelas yang artinya akan ada siswa baru yang baca juga. Bisa jadi mereka yang awalnya sekolah di sini secara terpaksa karena enggak masuk SMA favorit kini bisa kembali semangat. Gimana menurut kalian? "

Mita dan teman-teman memandangku lama. Ada yang justru sedang sibuk sendiri mengisi tts. Aku mengangkat kedua alis mencoba menagih jawaban pada mereka. Kesel dong digantungin begitu lama-lama.

"Aku setuju banget Cha!" sahut Mita disusul anggukan yang lain.

Aku senang meski tahu anggota lain setuju karena Mita juga setuju. Belum tentu mereka mengerti dan mendengarkan penjelasanku tadi. Yasudahlah yang penting aku uda ngasih ide. Sekarang kerjaanku selesai bisa ngikutin yang lain sambil makan nasi bali telor di pojokkan. Saat sedang enak menikmati santapanku Mita menghampiri. Kedua tangannya memegang kertas dan pulpen di kanan-kiri.

"Cha ini kamu list bagianmu? Ngomong-ngomong kamu mau bikin artikel tentang siapa?"

Aku meringkas kertas minyak bekas bungkus nasi bali di meja lalu memasukkannya ke kantong kresek. Sebenarnya aku sendiri belum tahu akan bikin artikel tentang siapa. Masalahnya aku hanya kenal anak perbankan. Di jurusan lain juga sebatas yang ikut ekskul jurnalistik ini. Kalau mau buat tentang Frey, dia anak futsal, pernah lomba dan menang beberapa kali juga. Tapi masalahnya Frey itu cewek. Mana ada siswa SMK Anugerah mau baca artikel tentang cewek bermuka sangar dan berotot kekar yang suka bobol gawang lawan. Ronaldowati aja sekarang jadi cantik.

"Kalau bisa yang paling dikenal sesekolah, Cha." Mita memberi saran mengetahui kebingunganku.

Aku jadi berpikir apa bikin artikel soal Mita saja. "Eh, oke Mit. Ini aku bikin sendiri atau ada patner."

Mita menyerahkan kertas list jobdisk padaku."Sendiri enggak apa-apa, kan Cha? Kan cuma satu artikel."

"Oke," sahutku.

Selama bukan wawancara ke anak TTU aku siap aja. Lagian apa yang bisa dibanggain dari siswa jurusan itu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro