5. Akrhinya, Kabar Bagus!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Gimana, Kak?" todong Giana setelah memamerkan hasil pencariannya siang tadi. Matanya menatap Ariani dengan pandangan berbinar seolah berkata "kerjaku bagus, 'kan?".

Ariani menghela napas panjang. Merasa lega sekaligus gemas dengan tingkah adiknya itu. Ia masih bisa merasakan detak jantungnya yang meningkat sesaat akibat tindak tanduk adik satu-satunya itu. Ariani baru saja membuka pintu, langsung kaget saat ditarik paksa oleh Giana yang sudah berdiri di samping pintu seolah sedang menunggunya.

"Kak, buruan," desaknya membuat detak jantung Ariani bertambah cepat beberapa ketuk. Giana menutup pintu dengan rapat secara terburu-buru, lalu mendorong Ariani masuk ke dalam dan mendudukkannya ke atas sofa. "Kakak harus lihat ini."

Ariani menerima ponsel pintar Giana dengan tangan gemetar. Entah kabar buruk apa yang akan ia terima kali ini. Ia benar-benar sudah lelah.Ia bahkan merasa sudah menghabiskan rasa kagetnya tahun ini akibat kedatangan Briptu Joshua serta Aiptu Andre dan juga pemikiran Giana mengenai situasi mereka saat ini. Ariani benar-benar sudah lelah, ditambah lagi saat ini Sonya—atasannya—sedang uring-uringan akibat proyek baru mereka berskala besar. Sonya benar-benar rewel karena menganggap semuanya masih kurang dan tak sempurna.

"Gimana, Kak? Kakak mau pilih yang mana?" desak Giana tak sabar. Bukannya ia ingin segera angkat kaki dari rumah ini, masalahnya mereka memang benar-benar diburu waktu. Saat ini sudah pukul 01.00 pagi dan mereka harus segera mengurus semua masalah penyewaan rumah sebelum pukul 19.00 malam di hari ini juga. Waktu yang mereka miliki benar-benar tak banyak. Belum lagi bila pemilik rumahnya tak bisa dihubungi atau ada halangan lain yang tak terduga. Secepat mungkin mereka harus membuat keputusan agar bisa bergerak.

"Kakak gak lupa kan tenggat waktu yang diberikan Om Ridwan itu hari ini jam 7 malem?" tanya Giana mencoba memastikan.

Ariani menepuk jidatnya keras. "Gawat! Kakak lupa, Dek. Maaf, ya, harusnya kakak yang bertugas buat mikirin masalah rumah, tapi malah kamu yang sibuk cariin rumah buat kita," ujarnya penuh rasa bersalah.

Giana menggeleng tegas. 'Wajar, kok. Banyak yang terjadi beberapa hari belakangan. Jadi, kakak pasti bisa lupa. Apalagi, di kantor kakak juga sibuk 'kan? Sepertinya di kantor juga lagi masa-masa sensitif, ya?" ungkap Giana penuh pengertian. Bukan tanpa alasan ia bisa menarik kesimpulan seperti itu. Ia bisa melihat dengan jelas kebingungan wajah resepsionis tempat kakaknya bekerja tadi saat ia bertanya bolehkah ia bertemu dengan Ariani ataukah tidak.

"Tahu dari?" Ariani menghentikan pertanyaannya setelah mengingat Giana memiliki kemampuan analisa yang cukup bagus. Gadis berwajah datar tanpa ekspresi itu cepat mempelajari situasi. Maka dari itu, bila ia menyelesaikan pertanyaannya, hanya ia saja yang akan terlihat konyol. Baiklah, kini ia harus kembali ke realita dan memilih calon rumah baru mereka.

Rumah pertama, rumah berukuran 6 x 6 berwarna abu-abu yang lebih dekat dengan jalan besar. Di depan rumah minimalis tersebut terdapat teras kecil yang sudah dilapisi keramik. Ariani bisa membayangkan mereka menghabiskan waktu bertiga saat sore sembari memakan cemilan dan bersenda gurau. Pasti sangat menyenangkan.

Rumah kedua berukuran 9 x 4 berwarna putih gading. Keadaannya sedikit kotor, sepertinya sudah lama tak ditinggali seseorang. Letaknya agak jauh dari jalan besar sehingga sulit mencari kendaraan umum di sana. Mereka harus berjalan keluar terlebih dahulu baru bisa menemui kendaraan umum.

Ariani menatap foto rumah abu-abu dan rumah putih itu bergantian sambil menimbang lebih bagus memilih rumah yang mana. Setelah menimbang cukup lama dan juga ditemani desakan dari Giana, pilihan Ariani pun jatuh pada rumah abu-abu itu.

Giana bersorak gembira. Ia mengecup pipi sang kakak sekilas. "Asyik. Kita memang sehati," soraknya. "Baiklah, nanti pagi aku akan menelepon pemilik rumahnya dan mengurus semua pindahan kita. Sekarang kakak mandi aja dulu," ujar Giana berjalan sembari melompat kecil menuju kamarnya.

"Giana!"

Baru saja Giana menempelkan tubuhnya di atas kasur, telinganya menangkap teriakan histeris sang kakak. Tanpa perlu masuk ke dalam kamar—tempat suara teriakan tersebut berasal—Giana tahu apa yang terjadi. "Ah! Barang-barang kakak sudah aku bereskan, ya. Biar besok enak pindahannya," balas Giana dengan nada girang. "Aku sudah meninggalkan satu pasang baju tidur dan baju kerja kakak untuk besok. Untuk dalemannya juga sudah aku siapkan. Jadi, kakak tidak perlu bongkar-bongkar atau susun lagi," lanjutnya lagi menjelaskan.

Ariani menepuk keningnya dan menggeleng tak percaya. Adiknya itu benar-benar manusia yang hidup dengan semua perencanaan yang matang! Ia bahkan tak tahu kapan Giana bisa dan mengerjakan semua hal ini sendirian. Ia sangat bersyukur memiliki Giana sebagai adik. Walau kadang tingkat empatinya sangat miris bahkan sampai mengkhawatirkan, tetapi Giana selalu menomor satukan keluarga di atas segalanya.

***

"Selamat Pagi, bisa bicara dengan Ibu Siti?" sapa Giana sopan begitu teleponnya tersambung.

"Benar. Ini siapa, ya? Dan ada keperluan apa?" balas suara serak di ujung sana. Dari suaranya, Giana memperkirakan usia sang ibu sekitar 40 akhir sampai awal 50 tahun. Suaranya terdengar ramah dan begitu keibuan membuat Giana sedikit bertanya-tanya apakah bila ibunya masih hidup suaranya akan seperti itu ataukah tidak.

"Begini, Bu. Saya melihat pamflet yang ibu tempel di depan rumah di Jalan Mawar No. 21A. Sebelumnya, perkenalkan nama saya Giana, Bu. Saya ingin menyewa rumah ibu. Apakah masih bisa?" Giana menggigit bibir bawahnya pelan. Ia sungguh berharap bahwa ia bisa mendengar kabar baik yang sesuai dengan harapannya setelah menerima serentetan kabar buruk.

Suara terkesiap terdengar dari ujung sana. "Ah! Iya. Iya. Saya ingat. Masih bisa kok, Dek. Maaf, dengan adek siapa tadi?"

Giana bersorak dalam hati. Akhirnya, ada satu kabar bagus dari sekian banyak kabar buruk. "Saya Giana, Bu. Maaf sebelumnya, Bu, tapi saya ingin masuk hari ini ke rumahnya bisa, Bu?" tanya Giana lagi tanpa membuang waktu. Kali ini, ia juga berharap yang akan didapatkannya adalah kabar baik.

"Tentu! Tentu saja! Adik mau datang jam berapa? Biar ibu ke sana untuk menyerahkan kuncinya," ujar Siti tanpa perlu repot-repot menyembunyikan kegirangannya.

Senyum terkembang di wajah manis remaja berusia 16 tahun itu. "Bu, untuk biaya sewa sama seperti yang tertera di pamflet, ya? 500 ribu per bulan di luar biaya listrik dan air?" tanya Giana memastikan.

"Benar, Dik. Kalau bisa untuk uang sewa bulan ini di bayar di depan, ya," ujarnya setenang mungkin. Walau begitu, Giana bisa merasakan kegirangan yang pekat di nada tersebut. Bahkan, gadis itu bisa membayangkan bahwa Siti kini tengah tertawa lebar sembari mengangguk antusias.

"Ibu kapan bisa membawa kuncinya ke rumah itu?" Giana melirik ke jam dinding yang tergantung di atasnya di mana jarum pendek berada di antara angka 10 dan 11 serta jarum panjang menunjuk angka 6.

"Kapan saja bisa, Dik. Adik jam berapa bisa ke sini?" tanya suara di ujung sana dengan tak sabaran.

Giana mengangguk kecil. "15 menit lagi saya sampai ya, Bu," ujarnya pelan. Walau sebenarnya ia bisa mencapai rumah itu dalam waktu 10 menit, tetapi ia takut Siti yang akan terburu-buru bila ia menentukan waktu terlalu singkat. Selain itu, Giana pun bisa mengistirahatkan badannya sejenak sebelum berangkat.

"Baik, Nak. 15 menit lagi, ya. Ibu tunggu," ujar Siti antusias.

"Baik, Bu. Terima kasih, ya, Bu," ujar Giana sopan sebelum memutus sambungan telepon. Giana memejamkan matanya sejenak sembari menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa.

Selamat tinggal rumah yang sempat kupanggil kandang babi, batinnya pelan.

"Giana! Ariani! Angga!"

Mata Giana sontak terbuka dan ia segera berlari ke depan rumah. Begitu pintu terbuka, ia langsung bersitatap dengan Ridwan yang memasang tampang sangar bak rentenir yang tengah menagih hutang ratusan juta yang sudah ditunggak selama setahun penuh.

"Siang, Om. Kakak dan papa lagi kerja, Om," sapa Giana sopan.

Tanpa menunggu untuk ditanya, Ridwan segera berucap dengan nada sombong. "Kapan kamu dan keluargamu angkat kaki dari sini?!"

Giana menggertakkan giginya keras. Melihat hal itu, Ridwan pun menghardiknya dengan keras hingga menarik perhatian beberapa pengguna jalan yang sedang melintas.

"Dasar anak tidak sopan! Seharusnya Angga mengikuti saranku untuk menikah lagi. Lihatlah sekarang! Karena tak pernah merasakan sosok seorang ibu, kau jadi anak yang kurang ajar." 


-------------------------
22.05.2023
Ihhhh .... Bener-bener deh si Ridwan ini bikin emosi tingkat dewa. Sini deh Om, biar kutampol dulu palamu.
Btw, bagi yang mau baca lebih cepat bisa baca di KK dulu ya.
Makasih.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro