Sequel "Rasta"

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

            Yogyakarta.

            Entah sejak kapan aku begitu menyukai kota ini. Aku memutuskan untuk kuliah di sini dengan alasan karena aku ingin mandiri, jauh dari orang tua, dan berusaha sendiri di kota orang. Ya, aku menyukai kota ini! Sangat! Apalagi saat aku bertemu dengan sosok itu. Rasta namanya! Mungkin kalian bertanya-tanya siapa aku. Aku memang tak terkenal diantara cerita dalam kisah Ravy dan Bima, atau bahkan tak muncul sama sekali. Tapi aku ada. Aku hanya bayangan, bayangan semu yang mengagumi sosok itu dari jauh. Aku tahu, Rasta begitu memuja Ravy. Aku tahu, siapapun pasti begitu menyukainya. Dia manis, cantik bersamaan dengan wajah natural tanpa goresan apapun, lalu sifat cueknya namun terlihat lucu dan menggemaskan itu.. aku tahu, siapapun pasti sangat menyukainya atau bahkan iri. Aku salah satu orang yang iri itu. Iri karena tak ada orang yang akan memperlakukanku seperti Bima memperlakukan Ravy. Dari matanya saja sudah terlihat kalau Bima sangat menjaga peri kesayangannya itu. Lalu Rasta jadi pihak ketiga. Ah, cukup! Kenapa harus Rasta, dan kenapa harus Rasta yang kusuka! Oke, aku memang cemburu!

            “Kamu jadi ikutan kegiatan baksos itu?” seseorang menepuk bahuku, membuatku harus menoleh. Salah satu teman kuliahku.

            “Emang jadi kemana..? Ke wilayah banjir di Jakarta lagi?”

            “Iya, nih..! Kalau mau ikut tanda tangan di sini, ya..!”

            Aku menatap lembaran berisi nama, nomor HP dan tanda tangan di tanganku. Aku menelusuri nama-nama itu sampai akhirnya kutemukan satu nama di sana. Nama Rasta. Lengkap beserta nomor HP dan tanda tangannya. Aku tersenyum, lalu mengambil pulpenku dan menulis namaku di lembaran itu. Sepertinya aku masih punya kesempatan untuk mendekat padanya. Sebenarnya modusku cukup terlihat. Aku sengaja mengikuti kegiatan itu untuk mendekati Rasta. Ah, entahlah.. kenapa juga kisah ini sarat dengan kisah cinta sejenis begini! Sebenarnya Rasta pernah memiliki pacar cewek. Aku tahu, karena mantan pacarnya itu adalah sepupuku. Dulu Rasta sering sekali ke rumah Lily saat aku tinggal di sana bersama mereka. Aku sering memperhatikannya, dan sejak saat itulah muncul bibit yang akhirnya bertunas. Bibit yang akhirnya dikenal dengan nama CINTA. Aku jatuh cinta padanya.

            Lalu sejak mereka putus dan aku memutuskan untuk tinggal di kostan dengan alasan aku ingin mandiri, cintaku yang kupendam untuknya kini tumbuh. Tapi entah sejak kapan aku begitu picik diantara sifat malu-malu, pendiam dan cuekku. Aku melakukan hal yang baik, tapi ada niatan lain di balik itu semua. Aku merasa.. ya, sudahlah!

***

            Kegiatan bakti sosial itu dilaksanakan di sebuah daerah di Jakarta. Kami datang ke pengungsian warga bersama. Kebetulan aku satu bus dengan Rasta. Sejak kami berangkat dia selalu berceloteh ke sana ke mari, menceritakan lelucon seperti biasanya. Tapi aku diam. Karena memang ini sifatku. Aku tidak nyaman kalau harus bergabung bersamanya walau sekedar untuk tertawa.

            “Kan udah tahu ya siapa aja yang punya partner. Kami sengaja bikin kalian satu grup dua orang agar kalian mudah dan grup bisa berpencar. Aku sama Ghani..! Ghani tuh yang mana, sih..?” Rasta memberikan instruksi. Dia adalah ketua Badan Eksekutif Mahasiswa. Dia celingukan mencari orang yang memiliki nama Ghani. Itu namaku! Aku satu grup bersama Rasta! Mimpi apa aku semalam?!

            Aku mengangkat tanganku dengan ragu. Begitu melihatku, Rasta langsung tersenyum dan menghampiriku. Dia mengulurkan tangannya, mengajakku bersalaman.

            “Hai, aku Rasta! Salam kenal, eng... Ghani...”

            “Iya, salam kenal, Rasta...” aku menyambut uluran tangannya canggung. Tangannya hangat, sehangat kepribadiannya. Aku suka!

            Lalu disinilah kami akhirnya. Saling membantu korban bencana. Ada yang bertugas di daerah banjir, mengevakuasi korban, ada yang bagian dapur umum, ada juga yang kebagian di tempat yang sakit, sedangkan aku dan Rasta ada di bagian anak-anak. Mereka butuh hiburan di saat begini. Mereka harus libur sekolah dan harus kehilangan sebagian harta mereka. Aku tahu itu harta orang tua mereka, tapi setidaknya mereka juga berhak memilikinya.

            “Kakak, kakak... kakak main, yuk...!” tiba-tiba seorang anak kecil berusia lima tahun menarik-narik ujung bajuku. Aku menunduk menatapnya.

            “Adek mau maen apa..?” aku bertanya ramah. Dia tersenyum. Mungkin dia menertawakan dialekku yang agak medhok. Tentu saja, aku dari Surabaya! Dialekku memang seperti ini.

            “Aku mau maen layang-layang...” dia menunjuk beberapa tumpuk layang-layang di dekat tenda. Kami memang sengaja membawanya untuk hiburan bagi anak-anak itu. Aku mengandeng tangannya dan mengambil sebuah layang-layang dan mengikat dua sisinya dengan benang.

            “Pegang yang erat, ya..! Kalau kakak bilang lepas, kamu lepas...” aku memberinya komando. Dia mengangguk riang. Aku mengulur benang di tanganku, setelah lumayan jauh, aku berteriak ke arahnya, “Lepas...!” dan terbanglah layang-layang itu di angkasa. Anak itu berlari ke arahku sambil bertepuk tangan ceria. Aku berjongkok dan memberikan benang di tanganku ke arahnya. Saat aku memberikan benang itu, anak-anak lain berlari ke arahku dan mereka bergerombol di sekitarku sambil menarik-narik tanganku meminta hal serupa. Saat itulah aku tertawa. Aku benar-benar tertawa. Aku tidak menyangka kebahagiaan kecil ini membuat tawaku muncul begitu saja. Aku benar-benar menyukainya. Sangat! Tawa spontan dan tulusku untuk pertama kalinya.

            Aku terus tertawa saat mereka telah mendapatkan layang-layang masing-masing. Mereka berlomba untuk menerbangkan layang-layang itu hingga mereka bertabrakan, terjatuh.. namun tak ada satupun dari mereka yang menangis. Justru mereka akan tertawa karena kebodohannya sendiri. Aku terus tertawa sampai perutku sakit, sampai akhirnya aku menyadari ada sepasang mata yang menatapku sejak tadi sambil tersenyum di tempatnya. Mata milik RASTA!!

            “Ada masalah?” dalam gugup aku mencoba bertanya ke arahnya yang masih tersenyum menatapku. Dia hanya tersenyum lalu melangkah santai ke arahku.

            “Kamu lebih cakep lho kalau ketawa...! Aku suka tawa kamu...”

            DEG! Jantungku serasa mau lepas begitu saja dari tempatnya. Lalu disusul dengan debaran yang kencang dan menyiksaku. Aku kira aku benar-benar sudah jatuh terlalu dalam oleh cintanya. Hanya dengan dua kalimat, dengan dua kata kunci. Cakep. Suka. Tiba-tiba semuanya sudah menjadi indah tiba-tiba.

***

            Oke, aku akan skip beberapa adegan di sini! Tentu saja adegan kesibukan kami di tempat pengungsian ini. Seharian kami disibukkan oleh kegiatan membantu korban bencana banjir di sini. Kami tinggal bersama di sebuah tenda baru, khusus untuk relawan dari kampus. Tentu saja aku akan satu tenda dengan Rasta. Lagi-lagi Rasta! Rasta lagi.. Rasta lagi...

            Malam menjelang. Waktunya kami beristirahat. Namun kami dibagi lagi dalam piket. Waktu tidurku dan Rasta tidak sama. Tentu saja aku lebih memilih tidur setelah Rasta. Rasta tertidur lebih dulu daripada aku. Aku menghabiskan waktu di luar tenda, patroli seandainya ada yang membutuhkan bantuan. Tepat pukul dua aku kembali ke tenda. Saatnya aku tidur. Memang kami hanya diberi kesempatan untuk tidur dua jam. Nanti pukul empat pagi kami harus bekerja di dapur umum. Aku membangungkan Rasta. Dia membuka matanya dengan rambut acak-acakan. Tapi dia tetap tampan di mataku.

            Rasta bangun lalu aku yang menggantikan tempat tidurnya. Aku mulai menggeser tasku, lalu mencari barang yang bisa dijadikan bantal. Aku mulai menutup mataku. Tidur.

            Saat aku membuka mata, sinar matahari sudah bersinar terik. Aku melompat dari tidurku, lalu menyadari seluruh teman-temanku sudah menghilang dari tempat mereka. Kenapa tak ada yang membangunkanku? Rasta! Dia tidak membangunkanku! Aku segera bangun dari posisiku dan mengambil handuk. Saat aku melewati klinik umum, aku melihat Rasta. Aku ingin menghampirinya, tapi dia pura-pura tidak melihatku. Ada yang aneh...

            Nanti saja aku bicara dengannya, saat ini aku harus membantu yang lain. Aku membasuh mukaku dan bergabung dengan teman-temanku di tempat lain. Sebenarnya aku juga curiga kenapa Rasta tidak membangunkanku dan sejak tadipun dia seolah menghindariku. Dia menghindariku sepanjang hari. Bukan sifat Rasta yang biasanya, karena itu aku tidak tahan dengan keganjilan ini. Setelah tugasku selesai, aku menghampiri Rasta yang saat itu sedang mencuci tangannya. Aku melangkah ke arahnya, namun saat dia akan beranjak pergi aku segera menahan lengannya.

            “Kalau aku bikin salah, aku minta maaf...” ucapku pelan. Rasta terdiam, lalu menoleh ke arahku.

            “Kamu tahu aku bukan orang yang suka menyembunyikan sesuatu..” balasnya cepat. Berbeda dengan nada suaraku. Aku terkejut dia tiba-tiba berbicara seperti itu. Aku masih belum paham kenapa. Awal masalahnya adalah dia tidak membangunkanku atau aku yang sudah dibangunkan tapi aku tidak bangun. Mungkin aku mengigau dan berkata kasar saat dia membangunkanku tadi, sehingga membuatnya tersinggung.

            “Aku nggak ngerti maksud kamu ap...”

            “Foto-fotoku! Sejak kapan kamu nyimpen itu..?”

            DEG! Apa dia melihat semuanya?! Sebenarnya aku menyimpan foto-foto Rasta di dalam buku notes kecilku. Foto-foto yang aku curi diam-diam. Jadi dia tahu? Sejak kapan? Apa waktu tadi malam saat dia mengobrak-abrik tasku saat dia ingin meminjam selimutku?

            Aku terdiam. Speechless dengan sejuta pikiran. Ketahuan sudah semuanya. Dengan satu tarikan nafas akhirnya aku mulai bercerita padanya. Aku mengaku. Semuanya!

            “Aku nggak percaya kalau kamu juga... ah, sejak kapan..?” Rasta bertanya dalam kagetnya. Aku memalingkan wajahku.

            “Sejak kamu sering datang ke rumah Lily. Aku sepupunya yang dulu tinggal sama dia...”

            “Gini, ya Ghani.. aku pikir ini terlalu cepet..! Dalam artian, kamu tahu kan kalau aku suka sama seseorang. Kamu tahu orang itu.. Ya, walau aku akhirnya nyerah soal dia, tapi perasaanku untuk saat ini masih buat dia. Jadi maaf.. aku nggak bisa...”

            “Aku tahu! Aku tahu! Karena itu, aku bakalan jauhin kamu! Aku bakalan jauhin kamu! Maafin aku...” aku sedikit berteriak. Bodohnya aku, aku menginginkan sesuatu yang mustahil! Aku bodoh! Bodoh! Tentu saja dia tidak akan mau melirikku. Lily dan Ravy terlalu luar biasa kalau dibandingkan denganku. “Sekali lagi maaf kalau kamu terganggu..! Lupakan semua itu, dan anggap aja kamu nggak pernah lihat apa-apa!” aku menunduk dan akhirnya berbalik pergi.

            “Tu.. Tunggu... Ghani..” aku mendengar dia memanggil namaku, tapi aku terus melangkah dengan hati yang terluka. Hatiku sudah terlanjur sakit seperti ini. Aku masih belum siap dia menolakku. Aku belum siap!

            Aku melangkah ke arah pengungsian dan bersikap seperti biasanya. Saat ini perasaanku kosong. Seperti ada lubang di sana, dan aku tahu satu perasaan inti dalam hatiku telah diambil begitu saja dengan makhluk bernama penolakan. Ahahahaha.. aku gila! Bodoh untuk cinta!

            Saat ini aku memang menjauhinya. Benar, aku menjauhinya. Lihat, aku bahkan tidak mengajaknya bicara. Aku lebih pendiam dari biasanya. Aku lebih memilih bergabung dengan anak-anak daripada harus bergabung dengan Rasta di dapur umum. Aku masih sibuk mengajari anak-anak baca dan tulis, hingga akhirnya Rasta menemuiku. Aku mendongak sekilas, lalu kembali fokus pada buku di depanku.

            “Ada hal yang perlu aku omongin ke kamu..! Please, aku bukannya nyuruh kamu menghindar..”

            Aku terdiam mendengar penjelasannya. Aku masih menunduk menulis huruf-huruf di atas bukuku. Anak-anak menatap kami aneh, juga aku merasa risih juga. Apa dia tidak bisa mencari waktu lain, atau setidaknya mencari tempat yang lebih baik dan lebih tepat? Karena aku tak juga merespon, tiba-tiba Rasta menarik tanganku dan berteriak ke arah anak-anak itu.

            “Anak-anak, kak Ghani marah sama kak Rasta! Kak Rasta nggak dimaafin, nih..! Gimana, dong?” dia berteriak kencang. Anak-anak di sana saling bersahutan dan bertepuk tangan menyuruhku memaafkan Rasta. Aku menghela nafas.

            “Oke, kak Ghani maafin kak Rasta!” aku berkata singkat.

            “Kalau gitu sekarang kak Ghani dan kak Rasta berteman, kan?” dia tertawa. Anak-anak di sana ikut bersorak mengiyakan dan bertepuk tangan. Aku terdiam, namun perlahan aku menarik sudut bibirku. Tersenyum. Oke, siapa yang bisa membuat perasaanku berubah secepat ini? Tentu saja dia orangnya!

***

            Bakti sosial kami selesai. Kami kembali ke kampus tepat setelah tiga hari kemudian. Tiga hari yang sangat mengesankan menurutku. Juga sedikit menyakitkan, tidak.. sangat menyakitkan! Aku awalnya berpikir kalau ditolak mungkin rasanya akan sakit dan aku siap untuk itu, tapi aku tak tahu kalau rasanya akan seperti ini. Ditolak itu ternyata menyakitkan. Tapi aku sedikit bersyukur karena penolakan itu. Rasta dan aku jadi akrab tiba-tiba, bahkan jauh lebih akrab daripada saat sebelum dia memergoki perasaanku.

            Namun sayangnya hari ini ada kejadian tidak mengenakkan. Tiba-tiba ada seseorang yang sangat kubenci, kini muncul di depanku. Seseorang dari masa laluku. Mantan pacarku. Entah bagaimana dia tahu aku ada di sini. Aku benci mengakuinya, namun aku juga pernah menjalin cinta dengan cowok brengsek yang menjual dirinya itu. Erda.

            “Ngapain kamu ke sini?” aku bertanya cepat dengan nada judesku seperti biasanya. Dia tersenyum sinis.

            “Aku mau menemui kamu!”

            “Buat apa? Kita udah lama putus! Kita udah nggak ada hubungan sama sekali!”

            “Oh, jadi sekarang kamu kayak gitu? Apa sekarang kamu udah nemuin orang lain yang bisa nidurin kamu lebih baik daripada aku?”

            “Bahkan kita nggak pernah tidur!! Jaga mulut kamu!!” aku berteriak marah. Tanganku sudah terkepal karena dengki, dendam dan juga kesal jadi satu. “Harga diriku bukan kayak kamu yang siap buat dijual kayak gigolo!” saat aku mengatakan itu, tangan Erda sudah mencengkram krah bajuku. Sifat kasarnya masih sama seperti dulu, dan aku benci itu.

            “Maaf, ya di area kampus nggak boleh berantem...” tiba-tiba sebuah tangan mencekal tangan Erda dan melepaskan cengkraman itu dari krah bajuku. Aku terdiam dan menatap orang yang sudah menyelamatkanku itu. Rasta. Lagi. Lagi. Kenapa harus dia?

            “Loe ada urusan apa sama dia?” tiba-tiba nada bicara Rasta berubah. Dia menatap tajam Erda dengan pandangan membunuh.

            “Loe apanya dia?!” Erda balas bertanya.

            “Dia? Dia adalah pacar gue! Jadi percuma loe mohon-mohon buat bikin dia balik sama loe...!” Rasta melirikku lalu tangannya menggenggam tangan kiriku. Saat itu seperti ada kembang api tahun baru meledak begitu saja di atas kepalaku. Aku tahu dia hanya berbohong, dan aku juga merasa kalau hatiku tiba-tiba sakit dan senang dalam waktu yang bersamaan.

            “Jadi loe pacar baru gay murahan ini?!” Erda menunjukku. Aku geram, sakit hati mendengar ucapannya. Namun sebelum aku sempat mengungkapkan marahku, Rasta yang lebih dulu mencengkram baju Erda. Ada tatapan marah dalam tatapan Rasta.

            “Sekali lagi mulut loe ngomong kayak gitu lagi soal dia, gue yang akan robek-robek mulut loe..!!” dia marah. Namun sebelum semuanya melihat kami dan terjadi baku hantam, aku segera menarik Rasta.

            “Rasta cukup!! Ini bukan urusan kamu! Er, kita selesaikan nanti berdua! Mendingan kamu pergi sekarang! Aku hubungi kamu nanti!” aku melerai mereka. Rasta melepaskan cengkramannya, sementara Erda pergi dengan mobilnya.

            Sepeninggal Erda, Rasta yang kini menatapku. Tatapan marah itu masih ada di matanya. Aku terdiam, gentar melihat tatapan matanya itu. Aku belum pernah melihat dia seperti itu. Belum pernah sekalipun.

            “Tuh cowok siapa kamu?!” dia bertanya cepat dan tegas.

            “Mantan..” rasa malas muncul tiba-tiba dalam otakku.

            “Ada urusan apa dia sama kamu?!”

            “Bukan urusan kamu..”

            “Aku berhak tahu!”

            “Kenapa?”

            “Aku juga secara nggak langsung juga terlibat dalam masalah ini!”

            “Kamu yang melibatkan diri kamu sendiri dalam masalahku. Aku nggak pernah minta kamu buat pura-pura jadi pacarku!”

            “Ghan...”

            “Sorry, buat saat ini tolong jangan bahas itu lagi! Ini urusanku dan dia, jadi tolong jangan ikut campur soal ini!” aku serasa muak dengan diriku sendiri. Aku pergi dari sana, meninggalkan Rasta yang masih terdiam dengan pikirannya sendiri.

            Aku memang kembali ke kostanku. Tentu saja Erda sudah sampai di sana lebih dulu. Aku mengagumi hidung anjingnya yang bisa mencium jejakku, termasuk dimana aku tinggal. Aku hanya melewatinya, lalu pergi ke kamarku. Tanpa diperintah dia langsung mengikuti langkahku. Aku hanya membiarkannya mengikutiku masuk ke kamarku. Kostanku hanya terisi oleh lima orang cowok, dan tentu saja mereka pasti sedang ada di luar saat ini.

            “Apa lagi yang harus kita omongin?” tanpa basa-basi aku langsung bertanya padanya. Dia terdiam, lalu mendekat ke arahku. Tatapan marah itu masih ada di sana.

            “Aku mau kita balikan!”

            “Gila! Jangan seenaknya! Siapa yang mau!”

            “Aku bakalan maksa kamu! Sampai kamu mau!”

            “Aku bukan cowok murahan! Aku emang gay, tapi aku bukan cowok murahan! Aku beda dari cowok biseks yang diluar sana dia juga cari lubang lain dengan imbalan uang!”

            “Ghani!!” dia berteriak, mencengkram tanganku, lalu menjatuhkanku di atas kasur. Aku benci sifat kasarnya! Dia langsung menyerangku, menindihku, lalu tangannya bergerak menjamah tubuhku, melepas baju dan celanaku. Tangannya liar menyentuh setiap jengkal tubuhku sementara bibirnya mulai mengeksplorasi tubuhku.

            Aku berteriak, memukulnya, namun tenagaku tak sebanding dengan kekuatannya. Aku hanya bisa berteriak dan menangis. Aku benci saat aku lemah begini. Jarinya sudah masuk di sana, namun sebelum yang lain masuk ke sana, sebuah dobrakan pintu terdengar. Lalu disusul dengan tinju yang melayang di pipi Erda. Rasta datang sebagai penyelamatku, tapi entah kenapa aku sangat malu. Malu dengan semuanya! Dengan masa laluku! Dengan diriku sendiri!

            “Kalau loe nggak pergi dari sini, gue bisa panggil polisi kalau loe udah terlibat perbuatan asusila!” Rasta berteriak di depan wajah Erda yang sudah babak belur. Erda bangkit dengan tertatih lalu pergi. Sebelum dia pergi, dia tersenyum padaku. Senyum merendahkan. Aku benci senyum itu!

            “Ghan.. kamu nggak ap...”

            “Pergi...! PERGI!!” aku meringkuk di pojok kamarku dengan tubuh menggigil ketakutan. Aku sudah malu, jadi aku benci melihat Rasta di sini. Dia melihat semua masa lalu menjijikkan yang ingin aku tutupi.

            “Ghani...”

            “Pergi! Aku tahu kamu cuma kasihan aja! Pergi!! Pergi dari hidupku! Pergi sebelum aku merasa lebih jijik dengan diriku sendiri!” aku berkata padanya. Dia menatapku kaget, lalu perlahan dia pergi. Sebelum dia pergi dan sampai di pintu kamarku, dia menoleh dan berbisik.

            “Kalau ada apa-apa aku siap buat ada di samping kamu. Kapanpun!”

            Aku tahu itu hanya rasa kasihannya. Kasihan dan mungkin rasa bersalah. Aku sudah tidak kuat lagi seperti ini. Tidak ada yang bisa kuandalkan. Aku sendirian. Aku ingin pulang. Pulang ke rumahku. Aku ingin memeluk Ibuku. Aku ingin bertemu Ayahku. Aku ingin menangis di pelukan mereka. Hanya mereka yang selalu ada untukku.

            Aku ingin pulang....

***

            Aku menghindari Rasta dimanapun aku berada. Aku menghindarinya. Aku tak akan pernah menatapnya, karena menatapnya saja sangat sakit untukku. Biarlah aku yang akan menahan kerapuhanku sendiri. Dia juga selalu mencariku, lalu mencoba mengajakku bicara walau aku selalu menghindarinya.

            Tiket kereta sudah ada di tanganku. Aku menyeret koperku dari kamar kostku. Lalu aku sampai di tempat ini. Stasiun. Aku ingin pulang ke Surabaya. Aku menarik koperku. Isinya sebenarnya hanya oleh-oleh, karena bajuku di rumah masih ada. Saat kakiku melangkah untuk mencari tempat duduk karena menunggu kereta sampai, tiba-tiba seseorang menarik lenganku. Dia terengah-engah dan mencengkram erat lenganku.

            “Jangan pergi.. Tolong, jangan pergi...!”

            “Aku udah bilang, kan apapun yang terjadi sama aku itu bukan urusan kamu. Kamu boleh pergi. Aku nggak pernah nahan kamu buat ada di dekatku!”

            “Jangan pergi...”

            “Aku nggak perlu dikasihani, Ras...”

            “Emang siapa yang kasihan sama kamu?! Aku nggak mau kamu pergi karena nggak mau aja! Tolong jangan pergi...” dia menatapku serius. Aku balas menatapnya bingung. Kenapa anak ini?

            “Aku udah janji mau pulang...”

            “Pulang?”

            “Iya, aku mau pulang kampung ke Surabaya!”

            Rasta menatapku bengong. Aku melambai di depan wajahnya. Dia tersadar lalu dia berbalik dan berlari. Aku tidak tahu kemana dia, namun saat dia kembali dia sudah membawa sebuah tiket bersamanya.

            “Untung aja aku nggak kehabisan..!” dia mengusap keringatnya. Aku melotot menatapnya.

            “Kamu mau kemana?”

            “Ikut kamu, lah! Ke Surabaya!”

            “Hah?! Buat apa?” aku berteriak kaget. Dia terkekeh sambil mengangkat bahunya. Aku menatapnya sementara dia tersenyum. Hatiku kembali menghangat melihat senyumnya, namun aku ingat kalau dia hanya kasihan padaku. Aku tidak ingin berharap terlalu banyak dengan kebaikannya.

            “Ini pertama kalinya aku liburan tanpa persiapan, juga pertama kalinya aku liburan ke Surabaya...! Ah, di Surabaya lagi musim apa, ya...?” dia merentangkan tangannya dengan wajah antusias. Aku menatapnya sekali lagi, lalu tersenyum. Senyum pertama sejak di pengungsian itu.

            “Entah kenapa aku lebih suka kalau kamu tersenyum kayak gitu...” lagi-lagi dia memuji senyumku. Aku kembali menampakkan wajah datarku. Dia mendekat ke arahku lalu menggenggam tanganku sambil tersenyum. Aku tidak menolak. Aku diam saja. Setidaknya sampai kereta sampai.

            Begitu kereta sampai, kami langsung naik. Aku duduk di depannya, sementara dia hanya tersenyum sejak tadi. dia terlihat sangat antusias. Pasti ini pertama kalinya dia naik kereta. Aku angkat bahu dan langsung menutup mataku. Aku tidak ingin mati dalam kecanggungan, jadi aku pura-pura tidur saja.

            Tangan Rasta tiba-tiba sudah sampai di alisku. Dia mendekat ke arahku, lalu berganti tempat duduk dan berada di sampingku. Aku hanya diam saat tangannya menarik kepalaku untuk bersandar di pundaknya. Aku pura-pura menutup mata, hingga suaranya menyapa pelan gendang telingaku....

            “Aku rasa aku mulai ngerti gimana perasaan Bima saat Ravy diambil dari pelukannya, karena sekarang itu terjadi sama aku. Makasih udah ajarin aku rasa itu, Ghani...”

            Aku terdiam, namun degup jantungku makin menggila, seirama dengan laju kereta jurusan Yogyakarta-Surabaya. Jantungnya juga....

END

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro