Delapan Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kukira kamu sengaja menghilang," ucapku ketika Dirga datang ke rumahku pagi-pagi di hari Sabtu.

Setelah dua minggu tidak ada kabar dan aku mulai mengabaikan, tiba-tiba Dirga kembali menunjukkan wujudnya di hadapanku. Sebenarnya aku tidak kaget dengan perilakunya. Aku sudah menduga serta menganalisisnya dengan berbagai macam kemungkinan. Entah mau beralasan sibuk, tidak sempat, atau apa pun, pria memang biasa sengaja menghilangkan diri saat tengah dekat dengan wanita. Kemudian muncul lagi lantas kembali tenggelam tidak menampakkan diri.

"Nggak. Biasalah mamaku bikin acara terus. Diajak arisan, kondangan, meeting, nonton konser juga. Ngenalin aku sama anak gadis teman-temannya, masa ada yang masih SMA dikenalin pula. Ternyata teman-teman Mama banyak banget nggak ada habisnya. Nggak nyangka koneksi Mama luas juga," ujar Dirga sambil menyandarkan kepala di punggung sofa.

"Sibuk banget sampai nggak sempat balas chat," sindirku.

"Maaf, ya. Aku yang salah. Saat itu situasi memang hectic banget," aku Dirga.

"Terus ada perkembangan apa? Kamu dijodohin?"

"Aku nggak pernah setuju dengan perjodohan."

"Kenapa? Kalau demi kebaikan kamu kenapa nggak?"

Dirga mengangkat bahu lalu mengerling ke arahku. "Aku bisa cari sendiri."

"Mama kamu sudah susah payah mencarikan calon istri terbaik. Sudah pasti berkualitas, bibit unggul kalau sumber informasinya dari orangtua sendiri. Kenapa kamu nggak ambil saran Mamamu saja, sih?"

"Nggak ada yang klik, Sha. Sekali dua kali aku pernah kencan sama mereka, tapi nggak berlanjut. Memang nggak ada percikan."

"Itu artinya kamu belum move on. Gebetan kamu itu sudah menikah. Nggak usah diingat-ingat. Penyakit manusia di mana-mana sama saja. Alasannya nggak ada yang cocok, nggak cinta, nggak sayang, padahal mah susah move on."

"Sebenarnya aku ingin kenalin kamu ke Mama biar dia berhenti mencari kriteria wanita buat dikenalin ke aku, tapi kamu pasti nggak mau. Ibu aku saja kamu tolak apalagi sama Mama."

Keputusanku sudah tepat, kan? Berbohong dengan alasan apa pun sama saja. Nanti tetap memunculkan kebohongan lainnya. Ibu Dirga meninggal dengan tenang tanpa membawa beban akibat kebohongan yang direncanakan anak kesayangannya. Daripada merasa bersalah dan menyesal seumur hidup lebih baik berkata jujur meskipun mengecewakan.

"Aku nggak ada sangkut pautnya dengan urusan pribadimu. Jangan aneh-aneh, deh. Entar bikin orang berburuk sangka. Terus, ada perlu apa kamu ke sini? Mau culik aku buat dibawa ke Mama kamu?" tanyaku membuat Dirga menegakkan bahu. Aku tidak bermaksud berkata sinis, tapi refleks meluncur begitu saja.

"Akhir pekan biasanya kita jalan, kan? Ya, aku ke sini jemput kamu. Bukannya kita mau jalan-jalan?" Dirga tersenyum.

Biasanya, ya.

"Tapi, nanti malam aku sudah punya janji sama Gibran. Sebentar lagi dia resign, jadi malam ini dia ajak aku makan bareng."

Pada hari itu juga setelah Gibran selesai interview, dia langsung menerima kabar bahwa dirinya diterima bekerja di perusahaan tersebut. Gibran memberitahuku keesokan harinya sekalian dia mengajukan permohonan resign ke HRD. Sejak hari itu, terhitung satu bulan ke depan Gibran menjalani hari-hari terakhir di kantor. Tidak ada salahnya kali ini aku mengiyakan ajakannya, kan?

"Gibran?" Dirga tampak mengingat-ingat sesuatu. Lalu, dia tertawa tanpa suara. Menatapku. "Oh, teman kantor yang ngefans sama kamu itu? Yang katanya bukan tipe kamu karena umurnya kemudaan?"

Entah apakah telingaku saat ini sedang tidak berfungsi dengan baik atau yang kudengar memang sebuah kalimat sindiran halus meskipun bernada datar. Bukan tipeku bukan berarti aku membatasi pertemanan dengan siapa pun, kan? Bukan tipeku dalam artian bukan tipe untuk menjalin hubungan perasaan antara pria dan wanita.

"Iya."

"Oh, rupanya kamu sudah berdamai sama Gibran. Oke, deh. Aku kurang beruntung hari ini. Mungkin kita jalan-jalannya lain waktu saja. Aku balik dulu, ya," pamit Dirga seraya bangkit.

"Langsung balik?"

"Penginnya, tapi kayaknya nggak. Aku pinjam akun adikku lagi daripada bengong di rumah. Lumayan siapa tahu entar ketemu customer yang asyik buat kenalan baru. Lagian yang biasanya diajak jalan lagi sibuk sama yang lain." Dirga tersenyum tipis.

"Oh, ya sudah. Hati-hati-hati, ya."

Aku mengantar Dirga hingga depan pintu. Pria itu berhenti di teras, memandang sekeliling halaman rumahku. Aku tidak tahu apa yang dia cari. Barangkali memantau situasi apakah terdapat kerumunan tetangga pengangguran yang hobi membicarakan kehidupan orang lain.

"Gersang banget pekarangan rumahmu, Sha. Nggak pengin dikasih tanaman apa gitu biar sejuk?" komentar Dirga.

"Kalau ada tanaman yang bisa berbuah uang, sudah aku tanam dari dulu. Lagi pula keluargaku orang-orang sibuk mana sempat mengurus tanaman. Nanti tanamannya malah mati kan kasihan," ucapku sambil berdiri di sebelahnya.

Dirga terkekeh. Aku turut mengamati sekeliling. Benar juga, sangat gersang. Walaupun terlihat gersang, yang penting bersih tidak ada sampah berserakan. Hanya ada sebuah pohon belimbing tidak terawat dan rumput-rumput tidak jelas memenuhi halaman rumah. Rumput itu hanya dipangkas kadang-kadang kalau papa punya waktu luang di rumah.

"Aku balik, ya," pamit Dirga sekali lagi.

Di sini aku bukannya lebih memilih Gibran, cenderung memprioritaskan siapa pun, atau membenci Dirga karena selama dua minggu tidak membalas pesanku. Ini hanya tentang etika saja. Aku akan mendahulukan siapa pun orang yang pertama kali membuat janji denganku. Tidak peduli seberapa berharga dan berpengaruhnya dia di kehidupanku yang penting kalau dia orang yang pertama kali membuat janji mengajak pergi, aku akan bersamanya.

Merasa hari-hari terakhir di kantor semakin dekat, Gibran mulai berani mengajakku bersosialisasi dengannya di luar kantor. Sebenarnya aku ingin menolak, tapi melihat tekad yang selalu menyala membuatku mengiyakan ajakannya. Kalau cuma pergi sekali menurutku tidak masalah. Toh, mau bagaimanapun keputusanku tidak akan berubah.

"Lo nggak makan pakai nasi? Segitu doang mana kenyang. Mau tambah satenya lagi nggak?" tawar Gibran ketika pesanan kami mendarat.

Untung saja tempat ini menyediakan menu selain berbahan dasar kambing. Aku tidak suka aromanya. Baunya membautku mual. Mau dimasak oleh chef profesional seperti apa pun tetap saja membuatku geli. Sepuluh tusuk sate ayam cukup untuk mengisi perutku malam ini. Sedangkan Gibran memesan sate dan gulai kambing dengan nasi sepiring penuh.

"Nggak usah. Gue lagi nggak pengin makan nasi," sahutku.

"Kenapa cewek kalau malam nggak mau makan nasi, ya? Lo harus menikmati hidup, Sha. Nggak usah diet. Lo kayak gitu sudah cakep. Kalau lapar makan saja nggak usah gengsi. Daripada lo sakit entar makin repot."

Aku tidak mengacuhkan ucapan Gibran. Di sela menikmati makanan, dia berceloteh panjang. Aku hanya mendengarkan dan menanggapi satu dua kata jika diperlukan. Ternyata Gibran doyan wisata kuliner, tapi sasarannya lebih kepada makanan kaki lima. Baginya sensasi makan di pinggir jalan lebih nikmat ketimbang berada di dalam restoran mewah. Bisa berinteraksi dengan berbagai macam orang dan mengamati tingkah laku orang lain. Ye, bilang saja kalau harga kaki lima lebih murah. Tetapi lama-lama di pinggiran jalan juga tidak baik buat kesehatan. Bisa masuk angin.

Sepuluh tusuk sate saja tidak mampu kuhabiskan. Tersisa tiga tusuk dan Gibran yang menyapu bersih sisa makananku. Padahal biasanya porsi segini pakai lantong langsung tandas tak tersisa. Sebelum pergi dengan Gibran, aku sudah makan nasi goreng, sih. Mungkin itu yang bikin perutku penuh tak sanggup menampung makanan lagi. Berbanding terbalik dengan Gibran, pria itu sangat lahap menyantap. Tidak sisa makanan sedikitpun di piringnya. Apakah dia sengaja menahan lapar sejak tadi siang supaya bisa makan sebanyak itu atau pada dasarnya dia memang doyan?

Gibran bersendawa lantas dia menatapku sambil tertawa. "Sorry, Sha. Kebiasaan. Lo nggak ilfil gara-gara sendawa gue, kan?"

Aku diam.

"Habis ini kita mau ke mana lagi? Lo masih pengin makan cemilan atau gimana? Gue punya rekomendasi makanan ringan yang enak banget. Lo pasti suka. Mumpung, nih. Gue pengin puas-puasin pergi sama lo. Jarang-jarang lo mau pergi sama gue. Iya, kan?" Gibran menyengir.

Meskipun aku tidak merespons, Gibran terus berusaha bicara. Apa pun bisa menjadi bahan topik pembicaraan. Dia memang berusaha sekeras itu. Aku tidak menyebutkan tempat spesifik yang ingin kudatangi karena memang tidak punya gambaran sama sekali.

Setelah menyelesaikan transaksi pembayaran, aku ikut saja Gibran mau mengajakku jalan-jalan ke mana. Kalau makan lagi tidak mungkin, perutku hampir meledak. Saat dia mengusulkan destinasi ke Kota Tua, aku iyakan saja.

"Gue tahu lo pasti sudah ilfil, tapi nggak ada salahnya gue tanya sekali lagi. Siapa tahu sekarang lo berubah pikiran," ucap Gibran sembari menyerahkan helm kepadaku.

"Tanya apa?"

"Lo mau jadi pacar gue nggak?"

Mataku mengedip. Gibran menyatakan cinta kepadaku di depan warung tenda pinggiran jalan raya dengan nada santai tanpa canggung. Maksudku bukan dalam posisi yang strategis untuk mengungkapkan perasaan. Sesungguhnya aku cukup takjub dengan sikapnya barusan. Lebih tepatnya, ternganga.





Gibran mah nembaknya terlalu nyantai. Meskipun Prisha sudah tahu tetap saja dia syok.

Memang nunggu momen itu susah. Yang penting mumpung lagi berdua ye, cap cus. Si eneng lagi lengah juga kayaknya. 😁







10.11.2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro