Dua Puluh Satu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

 Aku menunggu Gibran di sebuah kafe yang berada di lobi gedung tempatnya bekerja. Tadinya Gibran akan menjemputku, tapi meeting mendadak bersama divisi internal menggagalkan rencananya. Padahal kami punya kendaraan masing-masing, lho. Tidak apa-apa sekarang aku yang menyambanginya. Lagipula aku belum pernah mengunjungi tempat kerja baru Gibran.

Minumanku hampir habis, tapi Gibran belum memberi kabar. Sudah satu jam di sini dan aku mulai bosan. Bisa tidak sih kalau besok-besok meeting-nya jangan after office hours? Aku rasa orang-orang yang terlibat dalam perkumpulan itu juga tidak sepakat bahwa meeting dilaksanakan setelah jam kerja usai. Terkesan mengambil waktu privasi orang lain untuk beristirahat. Ah, tapi aku sering mengalami hal semacam itu. Jangankan meeting, kerja lembur sampai pagi saja sering aku alami.

"Prisha?"

Aku terhenyak. Suara itu terdengar akrab di telinga. Aku mendongak dan menemukan sebuah senyum yang lama tidak kulihat. Dia menarik kursi lantas duduk di hadapanku.

"Hai," sapaku canggung.

"Kamu nggak ada kabar. Lagi ngapain? Kayaknya kamu suntuk banget." Dirga menunjuk dua gelas matcha latte yang kupesan.

"Biasa kalau kelamaan nunggu ya begini. Kudapan ini buat mengusir rasa bosan. Katanya sih sebentar lagi dia selesai," sahutku sambil melirik arloji di pergelangan tangan kiri.

"Sama aku juga lagi nunggu orang, tapi nggak datang. Rencananya aku mau buka kafe lagi dan temanku ini punya rekomendasi lokasi yang bagus. Sayangnya dia nggak datang, dapat kabar tiba-tiba istrinya kontraksi. Eh, malah ketemu kamu di sini," jelas Dirga seraya bersendang dagu menatapku.

Aku tertawa kecil kemudian melengos. Aku hanya ingin menghindari bertatapan dengannya karena seketika teringat insiden foto Instagram yang berujung saling follow. Ketahuan banget kalau aku mencari tahu kondisi Dirga melalui akun media sosialnya.

"Kamu sehat, kan?" tanyanya.

"Iya." Aku mengangguk. Kenapa suasana ini menjadi absurd banget, sih?

Dirga melangkah ke kasir untuk memesan sesuatu. Dia kembali dengan dua gelas minuman di tangan. Segelas matcha latte diangsurkan padaku sementara Dirga memilih Americano. Ya ampun, aku minum tiga gelas matcha latte di kafe ini. Sungguh banyak sekali kandungan konsumsi gula yang kukonsumsi hari ini.

"Daripada kamu suntuk sendirian aku temani, ya? Jalanan masih macet juga. Aku malas pulang."

Lagi-lagi aku mengangguk sambil menyeruput minuman yang dibelikan Dirga. Pria itu sibuk berurusan dengan MacBook sedangkan aku juga sibuk dengan ponsel. Pada saat itu Gibran memberi kabar bahwa dirinya sudah masuk lift. Sebentar lagi dia akan menghampiriku ke sini. Aku juga bilang kalau ada Dirga ikut duduk bersamaku.

"Ayo, Sha," ajak Gibran yang rupanya sudah berdiri di sampingku.

"Eh, bentar. Gue habisin minumnya dulu," sahutku seraya menandaskan matcha latte. Aku menatap horor tiga gelas kosong di hadapanku. Namun, minum seperti ini dalam porsi besar tidak terjadi setiap hari dan aku mulai memaafkan diri sendiri.

Baik Dirga dan Gibran saling tersenyum satu sama lain. Mereka bahkan bersalaman dan bertanya kabar masing-masing. Sembari aku menghabiskan minuman, sempat-sempatnya mereka mengobrol seputar pekerjaan. Dari sesi wawancara singkat tersebut, Dirga menjadi tahu kalau Gibran sudah tidak bekerja di kantor yang sama denganku. Meskipun obrolan mereka terlihat hangat dan menyenangkan, aku justru menangkap sebuah situasi yang menegangkan.

"Duluan ya, Bang. Makasih sudah nemenin Prisha," pamit Gibran sambil menarik tanganku padahal aku masih duduk, lho.

"Oke, nggak masalah. Oh iya, nanti malam aku telepon ya, Sha," tukas Dirga tersenyum simpul.

Aku tersenyum tipis lantas melambaikan tangan padanya. Gibran terkekeh saat kami melangkah meninggalkan kafe. Jadi dia hanya bereaksi seperti ini saja ketika mendengar ada pria lain yang akan meneleponku malam itu. Padahal Gibran tahu bagaimana sejarahku bersama Dirga.

"Lo sudah punya pacar, tapi tetap menikmati digodain cowok lain, ya," cetus Gibran begitu kami sampai di parkiran.

"Dirga nggak godain. Dia juga punya janji sama orang lain. Berhubung ketemu gue di situ nggak ada salahnya mampir, kan? Lo lihat sendiri gue sama Dirga selama duduk di situ juga diem-dieman. Malah lo yang ngobrol sama dia," sambarku.

Bukannya membalas ucapanku, Gibran memilih diam. Namun, dia menatapku dalam-dalam. Matanya berkilat kelihatan kesal, tapi dia tidak mengungkapkannya. Setelahnya, Gibran memilih diam dan berjalan mencari motornya. Aku mendengus. Memang mobilitas kami ketika pergi bersama cukup merepotkan. Sama-sama membawa kendaraan sendiri kemudian menuju tempat tujuan yang sama.

"Kita mau ke mana?" tanyaku. Tidak mungkin aku sudah menghampirinya ke sini, menunggunya meeting lebih dari satu jam, tapi tidak mendapat apa-apa. Jangan bilang dia menyuruhku pulang. Sadis banget.

"Makan," jawabnya sembari memasang helm di kepala.

Bola mataku berputar. Ternyata begini rasanya pacaran sama orang yang usianya lebih muda. Tidak mau speak up dan memilih memendam masalah sendiri. Aku bisa darah tinggi dan kena kolesterol kalau terus-terusan seperti ini. Tidak kusangka kelakuan Gibran seperti wanita. Aku yang wanita saja kalau kesal memilih meluapkan daripada memendam emosi. Ke mana larinya Gibran yang biasanya ceriwis itu?

Sebelum Gibran naik ke motornya, aku melepaskan helm dari kepalanya. Mencegahnya melenggang pergi meninggalkanku tanpa keputusan yang jelas. Kayaknya kami sedang bertukar peran, deh. Dia jadi wanita sedangkan aku berperan sebagai pria. Oh, Tuhan.

"Makan di mana? Lo mau ninggalin gue begitu saja setelah gue tungguin lo meeting lebih dari satu jam? Lo pikir yang lapar lo doang? Gue juga lapar, Bran. Lo kenapa, sih? Cemburu sama Dirga?" cecarku kesal.

Aku lebih kesal karena Gibran hanya bengong memandangku. Mukanya sama sekali tidak berekspresi. Sambil berdecak kesal, aku berbalik. Kalau caranya seperti ini mana bisa bertahan. Tingkah lakuknya kayak anak kecil begitu. Belum genap sebulan saja sudah bikin ulah. Tak berapa kemudian aku mendengar Gibran tertawa. Terpingkal-pingkal.

"Kenapa lo yang marah? Harusnya gue yang marah, Sha," tawa Gibran sambil merangkul pundakku. "Meskipun gue tahu perjalanan lo sama Dirga, gue nggak secemburu itu. Yah, sedikit kesal, sih. Tapi apa salahnya mengobrol dengan teman lama, kan? Kok jadi lo yang sewot. Senyum, dong. Lo jelek banget kalau ngambek, sumpah."

"Gue yang kesal sama lo," sungutku membuatnya semakin tertawa.

Gibran membebaskanku memilih lokasi makan malam kali ini. Supaya tidak menghabiskan waktu, aku mengajaknya singgah di pedagang kaki lima yang mangkal di sekitar gedung. Biar praktis, lagipula sama-sama lapar mau makan apa pun tetap enak. Seperti biasa, dia mengantarku pulang sampai depan rumah. Dia terlalu bersikeras, aku tidak bisa mencegahnya lagi.

"Lo nggak mau mampir?"

"Nggak sekarang. Sudah malam entar lo makin dighibahin tetangga. Weekend mungkin?"

Aku mengangguk mengiyakan.

"Gue balik, ya."

"Hati-hati." Aku melambaikan tangan.

Sesudah Gibran menghilang dari pandangan, aku memasukkan motor ke garasi. Pada saat itu pula ponselku berdenting. Bisa pas banget momennya, sih. Dia bisa tahu banget aku sudah tiba di rumah.

Dirga : Kamu sudah pulang? Aku bisa telepon sebentar?

Prisha : Baru nyampe banget, nih. Tunggu, ya. Sepuluh menit lagi.

Sepuluh menit kemudian Dirga benar-benar menelepon. Aku menerima percakapannya sambil rebahan. Tidak kusangka keperluan Dirga menelepon hanya untuk meminta klarifikasi hubungan antara aku dengan Gibran. Dia tidak percaya bahwa kami memang pacaran sungguhan. Yang tidak habis pikir hanyalah, kenapa Dirga bersedia meluangkan waktu hanya untuk bertanya relasi seperti apa yang sedang aku jalani bersama Gibran saat ini.

"Kamu yakin? Jangan karena buat status lantas kamu terima Gibran. Kasihan nanti dia patah hati."

"Yakin. Sekarang aku memang belum merasakan apa-apa, tapi cinta bisa datang karena terbiasa, kan? Mana mungkin aku pacaran kalau tujuannya untuk matahin hati orang."

"Kamu yakin?" Dirga bertanya sekali lagi. Mendengar suaranya bernada tegas seperti itu membuatku terdistraksi sesaat. Sialan, aku jadi memikirkan ucapannya, kan.

"Kenapa diam? Kamu nggak yakin, kan? Sebenarnya kamu hanya mempermainkan Gibran. Aku tahu sampai kapan pun kamu nggak akan bisa menerima dia. Aku juga tahu kamu nggak akan melanggar prinsip yang sudah kamu buat sendiri."

Dirga menelepon untuk membicarakan prinsipku? Jalan hidupku semenarik apa sih, sampai menyita perhatian orang sebanyak ini. Mulai dari tetangga, teman kantor, sekarang Dirga. Mereka berlomba-lomba ingin ikut camput urusan pribadi orang lain. Seharusnya manusia paham batasan masing-masing agar tidak memasuki ranah privasi.

"Ya karena Gibran menawarkan diri pertama kali. Di umurku yang sekarang, mau menunggu yang kayak gimana lagi?"

"Tetapi kamu tergesa-gesa, siapa tahu ada orang lain yang sedang mempersiapkan diri. Kamu terlalu memaksakan diri ujung-ujungnya sakit hati lagi. Kamu harus bisa berpikir jangka panjang, nggak cuma asal terima iya-iya saja."

Keningku mengerut. Kedengarannya Dirga sangat kesal. Aku merasa tidak memiliki salah padanya. "Orang lain siapa? Kamu?"

Tidak terdengar sahutan. Hening. Aku memilih mengakhiri percakapan karena topik pembicaraan semakin tidak terarah sekaligus tidak ada solusi yang disepakati kedua belah pihak. Hanya ambisi penghakiman yang membuncah. Dirga mencari waktu diskusi yang salah. Sekarang saatnya istirahat. Bukankah dia tahu tadi aku sudah menunggu Gibran lebih dari satu jam? Menunggu itu capek, lho.





Nah lo, menunggu itu capek tapi tetap sabar ya karena buah kesabaran itu indah. Jangan tergesa-gesa entar salah langkah.

Tapi tergesa-gesa untuk disegerakan nggak masalah, kan?
Hihiii


24.11.2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro