Dua Puluh Tiga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sejak Mbak Intan cerai, papa menjadi lebih protektif terhadap pria-pria yang mencoba mendekati kakakku. Tidak hanya itu, bahkan papa juga mengawasiku sepenuh hati. Apalagi saat tahu aku dan Gibran menjalin hubungan, papa tidak tinggal diam. Dia memintaku mengundang Gibran ke rumah. Bukannya khawatir, Gibran justru bersemangat bertemu papa. Dia tidak gugup sedikitpun.

Pada hari yang ditentukan, Gibran datang ke rumahku satu jam lebih awal. Wajahnya terlihat bersinar. Aku tidak habis pikir kenapa dia bisa bersemangat seperti itu. Aku saja belum sempat mandi, tapi dia sudah berpenampilan rapi dan wangi. Tidak seperti mantan-mantanku sebelumnya kalau datang ke rumah membawa oleh-oleh yang berfungsi sebagai susuk pemikat, Gibran datang dengan tangan kosong.

Seolah tahu isi pikiranku, dia berbisik di dekat telingaku, "Sorry, gue nggak bawa apa-apa buat lo sekeluarga. Gue ke sini cuma modal niat dan keyakinan. Semalam gue sampai salat hajat, siapa tahu bisa sekalian ngelamar lo di depan bokap lo."

"Papa itu galak, emangnya lo berani?" tantangku.

"Galak? Gue nggak heran, sih. Biasanya cewek cantik itu bokapnya emang galak," sahut Gibran manggut-manggut.

"Lo mulai berani jajan cewek-cewek cantik yang lebih muda dari gue, ya? Bilang begitu sekalian di depan Papa sono," decakku sambil berbalik.

"Eh, eh, Sha. Astaga, lo salah paham. Nggak gitu juga konsepnya."

Kutinggalkan Gibran sendirian di ruang tamu. Tak berapa lama kemudian, papa datang menyusul. Cukup lama aku membiarkan Gibran dan papa bercakap-cakap di ruang tamu. Memang sengaja. Aku ingin melihat interaksi serta reaksi keduanya. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi sepertinya begitu menarik perhatian hingga kudengar papa tertawa. Kuakui Gibran memang pintar memeriahkan suasana dalam segala situasi.

"Kayaknya Gibran sukses membangun personal branding-nya di depan Papa. Gue rasa Gibran sudah lolos babak pertama buat jadi calon mantu," bisik Mbak Intan saat aku mengintip dari balik lemari yang menyekat ruang santai dengan ruang tamu.

"Emang dasarnya dia kayak gitu, Mbak. Bisa bikin Papa tertawa bukan berarti lolos babak kualifikasi," balasku seraya memutar tumit, kembali ke dapur.

"Ya bagus, dong. Itu namanya hilal, Sha. Gue lihat Gibran itu anaknya baik, bisa menyesuaikan diri, dan yang pasti dia sayang banget sama lo. Umur nggak jadi masalah, dong. Buktinya dia bisa mengimbangi lo. Lo kenapa, sih? Kayak nggak ikhlas begitu. Jangan-jangan lo masih ngarepin Dirga, ya?" celetuk Mbak Intan saat aku menuang air ke dalam gelas.

Sudah lama aku tidak mendengar kabar Dirga. Dia tidak pernah lagi menghubungiku dan aku juga tidak mencoba menghubunginya. Saat ini aku mencoba menjalani hidup yang ada di depan mata. Aku juga menjaga etika karena posisiku sekarang dalam status berpacaran. Yah, meskipun aku penasaran bagaimana keadaan Dirga sekarang.

"Ya ampun, Prisha. Lo masih nunggu orang yang nggak jelas keberadaannya? Jangan bilang lo jadiin Gibran pelampiasan. Kalau sejak awal niat lo nggak ikhlas harusnya jangan terima Gibran jadi pacar lo. Pikir baik-baik, itu sama saja kayak selingkuh. Lo pacaran sama Gibran, tapi hati lo bukan buat dia."

Mbak Intan mulai ceramah dan pada saat yang bersamaan telingaku berdengung. Panas.

"Dirga itu yang pernah nginap sama Prisha di Bogor itu, ya?" tanya mama yang sedang mengiris cabai.

"Iya, Ma. Kliennya Prisha yang naik pangkat jadi gebetan, tapi nggak jadian," sahut Mbak Intan membuatku mendengus.

"Oh, yang yang pernah ajak Prisha ke Sukabumi juga, ya? Iya, iya, mama ingat. Anaknya memang nggak banyak omong gitu atau mama yang belum pernah ngobrol sama Dirga, ya?"

Beginilah para wanita kalau sudah berkumpul. Apalagi di dapur memasak sambil bergosip. Membicarakan orang lain, laki-laki, fashion, apa saja yang bisa menajdi bahan pembicaraan akan dibicarakan. Walaupun kadang menyebalkan, tapi saran mama dan Mbak Intan memang ada benarnya.

"Ini memang dilema, tapi begitulah kodrat seorang wanita. Lo mau nunggu laki-laki yang lo cinta buat lamar lo atau menerima lamaran laki-laki yang cinta sama lo," lanjut Mbak Intan.

Mataku mengerjap.

"Gue yakin itu Gibran di depan Papa pasti nyinggung soal pernikahan, deh. Tipe-tipe kayak Gibran itu pejuang tangguh, Sha. Lo percaya nggak, tatapan Gibran ke elo itu sama persis kayak cara menatap Papa ke Mama." Mbak Intan tersenyum.

Aku menghela napas panjang. Berawal dari rasa penasaran papa terhadap Gibran malah berujung ceramah tak berkesudahan dari Mbak Intan.

"Sorot matanya beda saja, Sha. Masa lo nggak bisa ngerasain? Darian saja nggak pernah menatap gue kayak begitu. Gue nggak kecewa cerai, sih."

Gibran memang hebat. Kesan pertama yang dia tinggalkan sungguh melekat. Mantan-mantanku sebelumnya bahkan butuh lebih dari satu kali untuk membangun citra positif di depan papa. Dia memang sudah terlatih seperti itu. Papa sampai tidak berkomentar apa pun. Sesudah makan bersama, aku dan Gibran duduk di teras. Ketika kami berbincang, ibu-ibu yang biasa menggunjingku tiba-tiba lewat. Dia memicingkan mata. Sebenarnya ada masalah hidup apa melihatku sampai sebegitunya?

"Bokap lo asyik juga, Sha. Nggak galak, kok. Cuma agak tegas saja. Wajarlah, semua bapak-bapak begitu untuk melindungi anak perempuannya. Entar kalau gue punya anak perempuan juga bakal berlaku sama," ucap Gibran menyengir kepadaku.

"Apalagi sejak Mbak Intan cerai, kejadian gue sama Ferdi, Papa jadi lebih protektif. Menuju pernikahan nggak segampang itu. Orang-orang merasa benar dengan judge terhadap gue, padahal mereka nggak ngerti sebenarnya itu kayak gimana." Aku menjeda napas sejenak, "Seperti ibu-ibu yang barusan lewat tadi. Lo lihat? Dia itu nyinyir banget sama keluarga gue. Gue saja pernah dibilang perawan tua sama dia."

Seketika situasi berubah emosional. Aku tidak dapat membendung emosi yang kembali hadir. Gibran hanya menatapku, tidak menanggapi. Namun, dia menggenggam tanganku. Cukup membuatku tersentak karena ini adalah pertama kalinya dia bersikap begitu. Aku menundukkan wajah hingga terdengar suara ribut dari dalam rumah.

"Bawa Intan ke rumah sakit sekarang, Pa!"

Itu suara mama. Aku bergegas masuk ke dalam rumah dengan Gibran mengekor di belakangku. Rupanya ketuban Mbak Intan pecah. Ini di luar ekspektasi karena seharusnya jadwal melahirkan masih terhitung satu bulan lagi. Mama cukup panik melihat Mbak Intan jongkok memegangi perutnya.

"Kalau lo mau balik sekarang nggak apa-apa, Bran. Makasih sudah datang."

"Enak saja. Gue nggak mau kehilangan momen kelahiran keponakan pertama gue. Gue ikut kalian ke rumah sakit. Siapa tahu lo dan keluarga lo butuh bantuan gue. It's ok, tenang saja, Sha. Selama ada gue, aman."

Aku mengangguk.

Papa sudah mengeluarkan mobil ke luar garasi. Tanpa persiapan apa pun, kami segera meluncur ke rumah sakit terdekat. Yang penting kondisi kakakku dan bayinya baik-baik saja. Syukurlah, tiba di rumah sakit kakakku segera mendapat pertolongan. Aku bersyukur ketika mendapat kabar bahwa Mbak Intan dan bayinya selamat. Keponakanku terlahir laki-laki. Belum sempat menengok, papa memintaku pulang ke rumah untuk membawakan beberapa pakaian dan makanan karena malam ini papa dan mama akan menginap di rumah sakit.

"Gibran bisa nyetir, kan?" tanya papa saat menyerahkan kunci mobil padanya.

"Bisa, Om."

"Nggak usah ngebut."

Bolak-balik ke rumah sakit ternyata cukup menguras energi. Besok atau lusa kakakku diizinkan pulang kalau keadaannya membaik. Mengalami proses persalinan normal, aku membayangkan jahitan-jahitan di sekitar sana.... Sepertinya nyeri dan menyakitkan. Namun, tidak kudengar informasi bahwa Mbak Intan mengalami kesakitan. Papa dan mama saja tersenyum penuh kebahagiaan. Berarti segalanya aman.

"Lo mikir apa, Sha?" tanya Gibran sambil menepuk lenganku.

Sepanjang jalan aku mendengar sayup-sayup suaranya, tapi aku tidak memperhatikan apa yang dia bicarakan.

"Nggak ada. Gue cuma khawatir sama Mbak Intan."

"Khawatir kenapa? Lo sekarang punya keponakan. Kakak lo dan bayinya kondisinya juga sehat. Nggak usah berlagak mikir-mikir yang bukan menjadi urusan lo. Gue tahu lo kesal sama tetangga lo. Emak-emak emang kebanyakan kepo. Terima saja kalau lawan lo emak-emak. Cepat atau lambat entar dia juga kena karmanya sendiri."

Sebenarnya ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan tetanggaku yang suka bergosip itu. Tetapi mendengar Gibran menjelaskan analisanya membuatku tertawa. Lumayan untuk pengalih perhatian dan aku tidak kepikiran.

"Itulah kekuatan emak-emak. Meskipun lo yang benar, lo nggak akan bisa mengalahkan emak-emak," tawaku.

"Nah, gue demen kalau lo ketawa, Sha. Makin cakep," goda Gibran.

Aku berhenti tertawa dan membuang muka ke luar jendela. Giliran Gibran tertawa dan dia semakin menggodaku habis-habisan. Begitu memasuki jalan wilayah menuju rumah, aku mengamatinya dari samping. Aku menggelengkan kepala saat siluet Dirga muncul tiba-tiba. Ini sangat terlarang. Kuubah posisi duduk supaya tidak lagi menoleh ke arahnya. Tidak lama lagi sampai. Rumahku sudah kelihatan dari sini.

"Bran."

Tidak ada sahutan. Gibran malah asyik bersiul dan berdendang.

"Gibran," ulangku lebih keras.

"Apa, Sayang?"

"Nggak jadi, deh."

Kata-kata Mbak Intan kembali berputar di benakku. Aku langsung turun begitu mobil berhenti di depan rumah. Aku tidak bisa berandai lebih jauh untuk membayangkan imajinasiku yang mulai berkeliaran. 









21.12.2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro