Dua Puluh Tujuh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dirga mengikuti arah pandang mataku yang terpaku kepada sebuah objek di belakangnya. Ketika Langkah Gibran semakin mendekat, aku buru-buru menghabiskan minuman. Aku tidak mengira Gibran menyusulku kemari. Kupikir dia sangat sibuk sampai tidak menghiraukanku seharian ini. Pada saat seruputan terakhir, aku nyaris tersedak. Dirga memperingatkanku supaya pelan-pelan, tapi aku tidak bisa tenang.

"Hai, Bang. Sorry, ganggu. Gue mau jemput cewek gue. Dia sudah punya janji sama gue mau beli mainan buat keponakannya hari ini," ujar Gibran yang menghentikan langkahnya di samping Dirga.

"Oh, silakan. Gue nggak tahu kalau Prisha punya acara sama lo." Dirga melirikku sekilas kemudian menatap Gibran sambil tersenyum, "Lo nggak mau duduk dulu?"

"Nggak, Bang. Makasih. Sudah diwakili sama Prisha yang duduk sama lo dari tadi," sahut Gibran lantas beralih pandang ke arahku.

Walaupun Gibran hanya menatapku tanpa berucap, aku paham dia ingin aku segera pergi dari situ. Sesudah berpamitan dengan Dirga, aku mengikuti Gibran melangkah. Dia berjalan cukup cepat membuatku harus berlari kecil untuk menyamakan langkah. Begitu aku berhasil menjejeri langkahnya, Gibran segera menyambar tanganku. Menautkan jemari kami dan memandang lurus ke depan.

Aku mengamati wajahnya yang tidak banyak ekspresi, tapi aku tahu dia marah. Rahangnya mengetat dan genggaman tangannya sangat kuat. Ngomong-ngomong, kenapa dia bisa tahu aku berada di kafe itu bersama Dirga?

"Jangan kayak gitu lagi. Gue sedih tahu," ucap Gibran lirih.

"Lo sepi banget hari ini. Kayak ngilang," balasku.

"Astaga, baru berapa jam sih, Sha. Gue hari ini lagi banyak kerjaan nggak sempat balas chat elo. Tadi pagi gue juga sudah sampai rumah lo, tapi lo sudah berangkat. Gue nggak ngilang, lo saja yang emang nggak kasih gue kabar."

"Lo juga nggak tanya."

Gibran melongo lantas mengembuskan napas kasar. Kami berbelok ke arah gedung kantor Maximum berada kemudian menuju parkiran motor. Tidak sedikitpun Gibran mengendurkan genggaman. Sepanjang perjalanan aku mendapati pandangan orang-orang ke arah tangan kami yang bertaut. Bagaimana tidak, dalam suasana perkantoran pemandangan seperti itu tentu cukup tabu meskipun tak sedikit orang mengalami situasi yang sama. Aku menundukkan wajah untuk menyembunyikan rasa malu.

"Kalau lo kesal, bilang sama gue. Jangan cari pelampiasan sama pria lain. Kan gue sedih," ucap Gibran saat kami tiba di parkiran.

"Iya, iya. Lo tahu dari mana gue pergi sama Dirga?"

"Gue lihat lo jalan sama dia, makanya gue langsung susul lo ke sana. Gue itu mau ajak lo makan di tempat yang enak. Yah, lo malah asyik tebar pesona sama Dirga. Sekarang lo balik sama gue saja. Mana kunci motor lo."

"Ya udah, ayo makan."

"Nggak jadi, deh. Gue males. Cepat, mana kunci motor lo."

Aku menyerahkan kunci motor kepada Gibran sambil memberengut. "Motor lo gimana?"

Tanpa sadar rupanya motor Gibran terparkir tidak jauh dari motorku.

"Gampang, gue numpang parkirin di sini dulu. Entar gue balik sini lagi kalau lo sudah sampai rumah. Yang penting lo bareng gue biar nggak ilang-ilangan ujungnya malah nyangkut di tempat orang. Gue yang bingung tahu. Kalau lo ilang yang ditanya pertama kali sama bokap nyokap lo itu bukan Dirga, tapi gue."

Seketika aku tercenung. Aku sadar selama ini dia sudah banyak berkorban untukku. Tetapi Gibran belum mengetahui sebuah fakta tentang hari kemarin saat pulang diantar Dirga. Aku belum mengungkapkan padanya. Mau sekalian bilang sekarang nanti dia tambah kecewa sedangkan aku tidak tega. Makanya, rahasia itu masih kusimpan.

Namun, sepanjang perjalanan pikiran itu terus mengganggu. Baru kali ini aku merasa sesuatu yang salah. Tidak seharusnya Gibran menerima imbalan seperti ini atas perlakuan baiknya kepadaku selama ini. Dia berhak mendapatkan yang lebih baik, yang sama-sama mencintai, saling memahami satu sama lain. Tetapi aku juga tidak siap ketika suatu hari Gibran jatuh cinta kepada wanita lain. Aku tidak mau dia bepindah hati sedangkan aku sering membuat Gibran sakit hati.

Membayangkannya membuat kepalaku pusing. Secara perlahan aku melingkarkan tangan di pinggang Gibran. Gibran terlonjak sampai hampir kehilangan keseimbangan membuatku semakin mengeratkan pegangan. Tidak heran dia bereaksi demikian karena baru pertama kali aku bersikap begini. Dia melirikku dari kaca spion.

"Tumben, lo kenapa? Lo kayak begini bukan karena ada maunya, kan?" tanya Gibran.

"Emangnya nggak boleh? Ya udah kalau lo nggak suka," gerutuku seraya melepaskan tangan.

"Eh, malah lo lepas. Sudah benar kayak gitu."

Gibran menarik tanganku, membuatnya kembali seperti posisi semula. Tangan kanannya tetap memegang kemudi sedangkan tangan kirinya memegangi tanganku. Aku tertawa kecil saat dia mengusap punggung tanganku. Sekalian saja kulingkarkan kedua tanganku di pinggangnya. Gibran tertawa.

"Nah, gini dong, Sha. Biar kayak orang-orang pacaran beneran."

"Selama ini lo anggap setting-an?"

"Bukan begitu. Sebenarnya gue pengin, tapi nggak berani. Cuma gandengan tangan saja kadang lo masih melototin gue, tapi kalau nggak gue gandeng lo lari ke mana-mana."

Setengah perjalanan, hujan kembali mengguyur. Menjelang pergantian tahun, hujan memang semakin menunjukkan eksistensinya. Kali ini tidak deras, tapi lumayan membuat basah kuyup. Aku menolak menepi, meminta Gibran tetap melanjutkan. Tidak peduli air hujan merembes membasahi. Dingin, mungkin ini yang dirasakan Gibran ketika kehujanan saat menjemputku tempo hari. Kusembunyikan wajah di punggungnya, menghindari tetesan air berjatuhan.

"Ganti baju dulu, ya? Basah banget," tawarku sambil menunjuk kemeja Gibran.

"Baju lo yang dulu saja belum gue balikin. Nggak usahlah, entar kering sendiri kena angin. Lagian sudah nggak hujan juga," elak Gibran.

"Itu basah banget, Bran. Lo bisa sakit. Nggak usah ngeyel, deh. Gue punya stok baju banyak sesuai ukuran lo. Gue borong waktu flash sale. Sengaja gue siapin buat jaga-jaga untuk momen seperti sekarang," omelku.

Gibran menatapku sambil mengerutkan kening. Dia terus memandangku seolah-olah aku ini adalah salah satu objek keajaiban dunia versi modern yang baru muncul. Seperti tidak percaya, mustahil, tidak memungkinkan. Musim hujan mulai menyambut dan aku sadar di rumah ini tidak ada stok pakaian berukuran besar yang pas untuk tubuh Gibran. Aku tidak yakin Gibran sengaja membawa pakaian ganti untuk berjaga-jaga. Makanya aku berinisiatif sendiri menyediakan beberapa potong pakaian yang siapa tahu suatu saat bisa membantu. Masa mau pinjam papa, tidak mungkin.

Aku mundur satu langkah saking kagetnya ketika Gibran menyentuh wajahku. Dia tersenyum lebar, ibu jarinya menyeka air hujan yang tersisa di sekitar wajahku.

"Maaf, ya. Gara-gara aku, kamu kehujanan, kepanasan. Makasih kamu sudah perhatian. Aku janji bakal bikin kamu bahagia, Sha. Aku nggak akan biarin kamu nangis gara-gara aku karena aku nggak mau dikutuk malaikat," ucap Gibran dengan nada lembut.

Aku terpaku. Mendadak bengong tidak tahu mau bereaksi bagaimana. Mulai dari cara Gibran berbicara dengan intonasi yang belum pernah kudengar selama ini. Sorot matanya yang tenang, aku baru menyadari bahwa Gibran adalah pria—yang pernah berpacaran denganku—paling sabar yang pernah kukenal.

Saat aku melakukan kesalahan, dia tidak pernah marah tetapi justru mengarahkan. Di depan orang lain, dia tidak menunjukkan kekesalan. Tetapi begitu tersisa kami berdua, mulailah dia berceramah. Apakah ini termasuk kategori imam rumah tangga yang ideal? Sungguh aku mengakui Gibran sangat baik dan sopan memperlakukan wanita.

"Apaan, sih? Malah jadi mellow begini. Cepat lo ... em, kamu mau ganti baju nggak?" cetusku canggung gara-gara menyesuaikan perubahan cara bicara Gibran.

"Mau, dong. Sekalian aku mau menyapa keponakan kesayangan. Tuh bocah sudah bisa jalan belum, ya?"

"Ya belumlah, umurnya baru jalan tiga bulan. Kalau Farraz sudah bisa jalan, emangnya mau kamu ajak ke mana?"

"Jalan-jalan."

"Ke mana? Oh ya, tadi waktu di kafe katanya kamu mau beli mainan buat Farraz itu beneran?"

"Hah? Itu cuma modus doang biar kamu ninggalin Dirga," tawa Gibran.

"Yah, kirain beneran. Berarti ajak Farraz jalan-jalan juga modus, nih?"

"Beneran kalau itu. Aku mau ajak Farraz ke Palembang. Buat nemenin tantenya ketemuan sama orangtua omnya. Omnya kan sudah sering ketemu Papa sama mamanya si tante, nih. Giliran tante yang ketemu orangtuanya om, dong," celetuk Gibran seraya merangkum pundakku. Kami melangkah beriringan menuju rumah.

Aku menggigit bibir. Membayangkan bagaimana rasanya bertemu dengan orangtua Gibran. Memang benar hanya bertujuan silaturahmi, tapi tetap saja yang namanya bertemu orangtua pacar itu selalu membuat jantung berdetak di atas normal. Lagipula aku belum memutuskan bagaimana seharusnya untuk jangkap panjang ke depan. Aku terlalu terlena dengan keadaan sekarang hingga tidak menyadari bahwa ada situasi di luar ekspektasi yang menanti.











01.01.2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro