Lima

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Mbak, Pak Dirga itu aneh banget, ya? Orangnya nggak jelas begitu," cetusku.

Mbak Teya mengerutkan kening sambil menuang air panas ke dalam cangkir biru kesayangannya. Sementara aku duduk di kursi sembari menunggu croissant menghangat di dalam microwave. Dalam benakku masih terbayang sikap Pak Dirga semalam membuat kenangan pertemuanku dengan Ferdi teralihkan.

"Kenapa tiba-tiba lo tanya Pak Dirga?" Mbak Teya menghampiriku. Cangkir di tangan ia letakkan di atas meja. "Lo naksir Pak Dirga?"

"Dih, jangan sembarangan nuduh, Mbak."

"Lagian lo tanya tentang Pak Dirga. Kerjaan sudah beres pula sama dia. Kenapa, lo kangen?"

Aku menceritakan kronologis pertemuan tidak terduga dengan Pak Dirga tadi malam. Tetapi aku tidak menyinggung tentang Ferdi. Sejarah masa laluku tidak akan kuungkapkan begitu mudahnya dengan siapa pun. Mbak Teya mendengarkan kisahku dengan saksama. Kedengarannya menggelikan, tapi berbagai macam kebetulan yang berseliweran tidak bisa kusimpan sendirian. Barangkali Mbak Teya punya sesuatu informasi.

"Gue nggak paham karakter Pak Dirga, sih. Dia kan CFO baru, ini tahun pertamanya di Maximum. Dia pindahan dari perusahaan lain, tapi gue nggak tahu perusahaan apa. Lo yang fieldwork di sana sampai dinner bareng gitu masa nggak pernah ngobrol-ngobrol tentang kerjaan dia sebelumnya?" komentar Mbak Teya.

"Mana ada pikiran ke situ, Mbak. Gue makan, ya makan saja. Malah dia sering nyinggung soal pernikahan. Dia nyindir gue umur segini belum menikah, lha dia sendiri juga belum. Nyinyiran orang, tapi nggak lihat diri sendiri," sungutku sambil mengeluarkan croissant dari dalam microwave.

Mbak Teya tertawa nyaris tersedak kopi. "Pak Dirga pengin pedekate sama lo kali, Sha. Makanya lo harus beraksi, jangan menunggu dia gerak. Lo masih ada jadwal ke kantor Maximum lagi nggak? Kali saja ada data asli yang kebawa ke sini. Kalau ada, antar saja ke sana sekalian modus sama Pak Dirga. Lumayan tuh, biar lo nggak penasaran. Eh, tapi lo punya nomor HP-nya, kan? Sikat saja sudah."

"Ah, ngapain. Nggak segitunya juga. Gue cuma heran kenapa bisa kebetulan banget gitu ketemu dia di mana-mana. Kan gue ngeri kalau ternyata dia menguntit gue beneran." Aku bergidik.

"Kebanyakan nonton sinetron lo. Ya, memang lagi momen saja kalian ketemu. Gue rasa Pak Dirga nggak sereceh itu sampai menguntit elo ke mana-mana. Sudah, ah. Gue mau kerja. Lo nggak ada kerjaan ya, Sha? Gue kasih kerjaan sini biar lo nggak galau."

Bukan tentang Pak Dirga yang membuat pikiranku kalut, melainkan kehadiran Ferdi sore itu ke kantorku. Memang di luar jam kerja dan kebetulan aku mesti tinggal lebih lama di kantor seperti biasa untuk menyelesaikan tugas dari Mbak Teya. Dia memang tidak kira-kira kalau kasih kerjaan. Giliran sudah beres tetap saja diisi ulang. Kalau caranya begini tentu saja tidak bakal selesai.

Lebih baik fokus bagaimana caranya biar cepat beres daripada mendengarkan obrolan tak berfaedah dari seberang kubikelku. Ferdi sangat percaya diri berkunjung ke kantorku mentang-mentang dia punya kenalan orang dalam—Bang Rendi. Aku merasakan beberapa kali Ferdi mencuri pandang ke arahku. Dia tidak tahu saja kalau aku sedang menahan diri untuk berlari ke pantri mencari sebilah pisau. Astaga, mendadak aku jadi psikopat gara-gara benalu ini.

"Sha, lo semalam kabur ke mana?" Bang Rendi mendekat lantas duduk di pinggir mejaku, "Akhirnya makanan lo gue makan daripada mubazir."

"Pulang," cetusku.

"Malam Minggu besok ikut nongkrong nggak? Gue mau perform, nih. Lo belum pernah lihat gue main gitar kan, Sha? Baru-baru ini gue bikin band sama Ferdi. Dia vokalisnya. Lo pasti kenal Ferdi, kan? Sepuluh besar Indonesian Idol masa lo nggak kenal, Sha?"

Aku mengehla napas. Tumben banget Bang Rendi ngotot ingin aku mendatangi acaranya.

"Nggak bisa, Bang. Gue mau malam mingguan. Mau kencan," dengusku seraya memasukkan laptop ke dalam tas. Dari tadi aku menahan diri supaya tidak menonjok muka Ferdi.

"Kencan? Emang lo punya pacar?" seloroh Bang Rendi diikuti kekehan panjang Ferdi. Terdengar sangat puas. Jangan sampai dia merasa bangga, dikira aku tidak bisa move on darinya. Najis.

Aku bergegas meninggalkan kantor. Soal kerjaan yang diamanatkan Mbak Teya kepadaku akan kulanjutkan di rumah. Suasana kantor saat ini membuatku tak berselera. Kemunculan Ferdi yang mendadak, sikap Bang Rendi yang sok akrab, semuanya membuatku muak. Mencapai lantai dasar, ponselku berdenting.

Ardan : Kak, ternyata rekening koran Maximum yang asli kebawa. Ada di tas gue, nih. Besok gue balikin, ya?

Mataku membulat membaca pesan Ardan, seolah ada harapan. Tidak boleh melewatkan kesempatan. Ada alasan yang mendukung perjumpaan sekaligus ada hal yang ingin dituntaskan dengan Pak Dirga. Sigap aku membalas pesan Ardan, menawarkan diri supaya aku saja yang mengembalikan data. Untuk menuntaskan rasa penasaran yang perlahan bersemayam.

Dan keesokan harinya, aku menyambangi kantor Maximum pagi-pagi bahkan saat suasana masih sepi. Pak Dirga belum datang, aku diminta menunggu. Kemarin Ardan kuminta membuat janji supaya Pak Dirga tidak pergi.

"Pagi banget, Sha. Ayo ke ruangan saya," sapa Pak Dirga dan aku mengekor di belakangnya. Padahal hanya bermaksud mengembalikan berkas data saja harus masuk ke ruangannya.

"Saya mau mengembalikan data asli perusahaan yang terselip, Pak. Mohon maaf," ucapku seraya mengangsurkan map plastik.

"Makanya saya cari nggak ketemu ternyata kalian bawa. Saya belum sempat tanya eh, kemarin Ardan telepon kasih kabar tentang data yang terbawa."

"Maklum, saking banyaknya dokumen. Padahal sudah kita cek juga sebelum pull out dari sini."

"Sebetulnya kamu nggak usah repot ke sini. Kirim pakai Gosend saja beres, kan?"

Aku tercenung mendengarnya. Pak Dirga tidak berharap bertemu denganku. Berarti selama ini aku salah sangka. Beginilah efek dua tahun tidak kena belaian pria sejak aku memutuskan menjaga jarak dengan mereka. Kupikir karena nasib Pak Dirga denganku hampir sama, setidaknya bisa saling menyuarakan kegundahan masing-masing. Namun kali ini, sepertinya aku terlalu baper.

"Saya bercanda, Sha. Tentu saja saya senang bertemu sama kamu," lanjut Pak Dirga tersenyum hangat, seakan tahu apa yang ada di pikiranku.

Melihat senyum tulusnya, aku terpaku. Saat kami bertatapan, ada sebuah koneksi menjalari. Rupanya tidak hanya kesamaan nasib mengapa aku dan Pak Dirga bisa mengobrol tanpa merasa canggung sama sekali. Seperti ada energi dari lain yang uraiannya nanti kuketahui pada suatu hari.






17.09.2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro