Lima Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mimpiku semalam menjadi kenyataan. Bedanya, kali ini aku akan menghadiri pesta pernikahan teman kuliahku. Bukan teman dekat, tapi saat kuliah aku sering membantunya mengerjakan tugas. Lebih tepatnya aku yang mengerjakan, dia asyik pacaran. Sering ganti-ganti pacar pula. Pacarnya cantik-cantik, anak orang kaya, pokoknya semua kembang kampus menjadi incarannya.

Sejujurnya aku terharu dalam rentang waktu lama tidak ada komunikasi, dia masih ingat padaku. Barangkali atas jasa-jasa yang kuberikan, dia jadi ingat kepadaku. Aku menemukan undangan tersebut di atas meja pagi-pagi. Kata Mas Agung undangan itu diantar security. Tumben banget security bela-belain mengantar undangan.

Acaranya akhir pekan ini di Bogor. Aku mengontak beberapa teman kuliah yang masih keep contact denganku. Mereka tidak diundang, dong. Ya ampun, aku jadi merasa bersalah menghubungi mereka. Sekarang aku memutar otak bagaimana caranya ke sana dan bersama siapa. Teman-temanku tidak diundang, kalau kuajak salah satu dari mereka untuk menemani nanti yang lain pada iri. Mau pergi sendiri terlihat mengenaskan sekali. Bagaimana, ya?

Mengajak Dirga? Hm, mungkin dia mau, tapi lama-lama aku merasa bergantung sama dia kalau terus-terusan minta tolong. Perkara cium pipi di mobil waktu itu saja bisa berbuntut panjang sampai sekarang apalagi mengajaknya ke acara pernikahan. Bisa-bisa dia mengajakku menikah karena terinspirasi acaranya. Tetapi, selain dia mau ajak siapa lagi? Gibran? Lebih baik aku jalan sendiri daripada mengajaknya.

"Acaranya hari Sabtu ini. Gimana, kamu bisa nggak?" Aku memberanikan diri menelepon Dirga saat itu juga.

"Bisa. Jam berapa?"

"Jam sepuluh."

"Oke, aku jemput jam tujuh, ya."

"Siap."

Kutarik napas panjang, syukurlah Dirga bisa meluangkan waktu untuk membantuku. Apa jadinya kalau dia tidak ada. Mungkin aku tidak akan datang. Mending kirim kado saja.

"Pagi, Sha," sapa Gibran saat melewati kubikelku.

"Pagi."

Ekor mataku bergerak mengikuti tubuh Gibran melangkah. Tidak biasanya Gibran menyapaku. Barangkali dia ingin mengubah kebiasaan. Aku tidak akan ikut campur. Sebaiknya aku menyelesaikan bagian pekerjaanku karena Bang Rendi akan review nanti siang.

Rapat mendadak membuat Dirga tidak bisa menjemputku hari ini. Lalu, aku memutuskan mulai besok sebaiknya semua berjalan normal. Rasanya aneh hampir setiap hari Dirga mengantar jemput ke kantor. Orang-orang tidak bisa berhenti komentar saat memergokiku pulang bersama Dirga. Sejak Mbak Teya tahu aku dan Dirga dekat, seluruh kantor langsung menyerbu. Bahkan pak bos yang biasanya tidak peduli, tadi pagi langsung menginterogasi. Katanya, independensiku dipertanyakan karena menjalin hubungan dengan klien.

"Nunggu pacar, Sha?" tanya Bang Rendi saat aku berdiri di depan lobi.

"Iya, pacar gue abang ojol," jawabku ketus.

"Tumben nggak dijemput. Ke mana pacar lo? Eh, lo beneran pacaran sama klien, ya? Wah, parah juga lo, Sha. Kelakuan lo bisa mengancam kelangsungan hidup perusahaan gara-gara menjalin hubungan istimewa. Tapi, lo keren banget asli. Bisa gaet laki-laki bertalenta macam Dirgantara. Saingan Gibran terlalu keras ini, coy."

Justru kelangsungan hidup perusahaan bukannya semakin menjanjikan, ya? Jaringan semakin luas, koneksi banyak.

"Kenapa lo nggak balik, Bang?"

"Ini gue mau balik," sahut Bang Rendi, kemudian dia berbisik, "Bagi tips, dong. Biar gue bisa gaet klien juga. Anak buahnya Dirgantara gue dengar bening-bening. Lo nggak pengin kenalin salah satu gitu sama gue?"

"Nggak. Lo terlalu fakboi, Bang."

Bang Rendi tertawa sambil melambaikan tangan. Anak buah Dirga memang bening-bening. Aku sering menggoda Dirga agar mengencani salah satu anak buahnya, tapi katanya tidak tertarik. Padahal selama fieldwork di kantor Maximum, aku memerhatikan para wanita itu berusaha menarik perhatian Dirga. Sayang sekali Dirga tidak pernah memedulikan. Kelihatan sekali dia berusaha menjaga jarak. Namun, Dirga terlihat santai saja ketika berinteraksi denganku. Jangan-jangan ada larangan dari perusahaan yang tidak memperbolehkan sesama karyawan pacaran.

Turun dari ojol, mataku langsung disajikan dengan adegan drama di depan rumah. Mbak Intan dan Darian terlibat adu mulut, sementara mama di tengah-tengah mereka. Aku menghela napas. Ini bakal menjadi trending topic perghibahan para tetangga. Astaga, kenapa mereka harus menggelar pertunjukan untuk mempertontonkan aib sendiri, sih? Kan bisa dibicarakan baik-baik di dalam rumah. Aku tidak habis pikir apa yang ada di benak Darian, masih berani saja dia mengganggu Mbak Intan.

"Dia juga anak aku, Tan. Apa kamu nggak kasihan bayi itu akan lahir tanpa seorang bapak?" seru Darian sambil menarik tangan Mbak Intan.

"Lebih baik dia lahir tanpa bapak daripada punya bapak bejat seperti kamu," balas Mbak Intan.

Aku melongo, tidak menyangka adegan sinetron yang biasanya kulihat di televisi kini benar-benar terpampang nyata di depan mata. Ah, maksudnya bukan aku yang hobi nonton sinetron, tapi mama. Kulihat Mama tampak tak berdaya, tampaknya dia kelelahan memisahkan dua insan yang tampak kesetanan. Aku bergerak cepat agar tidak semakin memancing keributan.

"Hei," teriakku.

Aku menyelamatkan Mbak Intan dan mama dari serangan Darian. Darian menginginkan bayi yang berada di dalam perut Mbak Intan. Pasti dia menuntut hak asuh untuk bayi itu atau lebih buruknya dia ingin rujuk? Tidak akan kubiarkan kakakku jatuh ke dalam jurang pria buaya untuk kedua kali.

"Ngapain lo ke sini? Mau cari mati? Sampai kapan pun kakak gue nggak bakal balik sama lo. Lo pergi sekarang atau gue panggil polisi!" ancamku.

"Gue cuma menawarkan iktikad baik dan begini balasan kalian? Lihat saja sampai kapan pun nggak akan ada pria yang mau jadi suami kakak lo. Lo juga, Sha. Gue sumpahin lo jadi perawan tua. Kalian semua yang tinggal di rumah ini bakal sengsara, sial terus sampai kiamat." Darian melayangkan telunjuk ke arah kami satu per satu. Tak terkecuali mama. Memang tidak sopan sekali manusia satu ini.

"Belum kiamat juga gue sudah mati. Gue juga bisa sumpahin balik dari sini lo mati terlindas truk," teriakku tak mau kalah.

"Prisha!" Mama menghardikku.

Aku mengerucutkan bibir. Sadar kata-kataku sangat tidak pantas didengar bahkan diucapkan. Darian terlalu kurang ajar. Kalau dia tidak memulai terlebih dahulu, aku tidak akan meneriakkan sumpah serapah sekasar itu. Aku mengacungkan jari tengah ke arah Darian saat pria itu melangkah menjauh.

Aku mengawasi sekeliling. Situasi cukup sepi. Entah apakah orang sengaja menonton drama keluarga kami dari balik kaca jendela rumah masing-masing atau memang tidak ada satu pun yang menyaksikan adegan ini.

"Ngapain dia ke sini Mbak? Harusnya lo usir dia nggak usah diladenin begitu. Entar tambah ngelunjak," omelku begitu kami berkumpul di ruang tamu. Mama duduk di sofa sambil mengelus dada.

"Darian minta rujuk. Ya gue ogah, terus dia bikin drama sampai Mama turun tangan pula."

Aku melihat arloji di pergelangan tangan. "Untung nggak ketemu Papa. Bisa habis Darian. Gue nggak yakin balik dari sini dia masih punya nyawa. Lo nggak usah nanggepin Darian lagi, Mbak. Laki-laki buaya kayak dia nggak layak dapat kesempatan kedua."

"Gue nggak akan pernah kasih dia kesempatan. Gue sanggup membesarkan anak ini sendiri. Lagian masih ada lo, Mama, Papa, kalian paling berharga di atas segalanya. Tetapi, gue ... gue khawatir sama ancaman Darian." Mbak Intan mengusap perut dengan mata berkaca-kaca.

"Lo diancam apa sama dia, Mbak? Paling cuma buat keren-kerenan doang. Mulutnya doang gede padahal nggak punya nyali. Nggak usah percaya. Jangan sampai lo balikan sama pengangguran busuk macam dia."

"Prisha, kamu jangan bicara kotor!" hardik mama.

Aku mencebik. Bertanya kepada Mbak Intan sekali lagi, "Lo diancam apa sama Darian?"

"Dia nggak akan berhenti ganggu gue dan keluarga kita. Gue khawatir dia bakal kirim santet buat kita, Sha."

Mama menghela napas dalam sedangkan Mbak Intan memejamkan mata sambil menyandarkan kepala di punggung sofa.

"Santet? Tenang, Mbak. Kalau dia beneran nyantet keluarga kita, gue bakal serang balik keluarga dia pakai ilmu santet yang lebih jahat. Sekalian gue kirim iblis biar Darian mati perlahan," geramku.

"Prisha, memangnya kamu tahu dukun yang bisa nyantet? Sok-sokan ngerti saja kamu, tuh," cetus mama sambil mencubit pipiku.

"Ya, nanti aku cari dukun yang bisa, Ma."

"Nggak usah aneh-aneh. Awas kalau kamu beneran cari dukun buat nyantet orang, ya!" Mama geleng-geleng kepala.

"Mbak, percaya sama gue Darian nggak akan berani ngerecokin lo. Di sini ada anaknya. Yah, bagaimanapun dia yang bikin lo hamil, Mbak. Gue nggak sudi menganggap dia walau sekadar mantan kakak ipar." Aku meletakkan telapak tangan di perut Mbak Intan. "Setidaknya sampai lo melahirkan. Seandainya Darian beneran bikin posisi lo terancam, gue ada buat lo. Nggak usah takut, Mbak. Gue selalu ada."

"Makasih, ya. Apa pun, Sha. Asal lo jangan main santet," ujar Mbak Intan seraya memelukku.

Aku tertawa.







Ternyata mimpinya Prisha jadi kenyataan. Dia bakal kondangan sama Dirga. Kira-kira apakah dia di sana cuma kondangan atau ada yang lain, ya? 😏



14.10.2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro