Satu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku melempar puluhan telur busuk ke arah Ferdi dan teman wanitanya yang tengah asyik bergumul di atas ranjang. Kecurigaanku selama ini benar, naluri wanita memang tidak bisa diremehkan. Berhari-hari kalau diakumulasi bisa mencapai lebih dari satu bulan, aku mengintai Ferdi. Setelah puas mengumpulkan cukup bukti, kini saatnya eksekusi. Aku memergoki mereka menginap di kamar hotel. Tiada ampun, kulempari mereka dengan telur busuk yang sudah kusiapkan sebelumnya. Aku masih baik hati tidak membakar jasad mereka hidup-hidup.

Tidak puas hanya melempar telur busuk, aku menampar pipi wanita itu dan menjambak rambutnya. Teriakannya membuatku semakin bersemangat menarik rambut panjangnya. Ferdi hanya melongo melihatku, tidak mengambil tindakan sedikitpun. Setelah puas mengacak-acak, aku menampar pipi Ferdi dan wanita itu secara bersamaan. Kutinggalkan mereka berdua dengan gejolak jiwa membara yang bergemuruh.

Tiba di rumah, air mataku luruh. Bagaimana tidak, hubungan yang terjalin selama lima tahun harus berakhir karena perselingkuhan. Yang paling menyakitkan, aku memergoki Ferdi selingkuh dengan dua wanita sekaligus! Gila banget, kan? Yang paling gila lagi, mereka tidak punya harga diri sama sekali. Ferdi masih berkeliaran di sekitarku tanpa punya rasa malu.

"Hari ini beneran last day elo, Sha?" tanya Anggun saat aku mengemasi barang-barang di meja.

Aku menarik napas panjang. Sebenarnya cukup berat meninggalkan kantor ini. Selain lokasinya dekat dengan rumah, ini adalah kantor yang sangat berkesan untukku. Lima tahun aku berkarya di sini. Di sini pula aku mengenal Ferdi. Ferdi adalah manajerku di kantor. Sehari-hari berinteraksi membuat kami memutuskan berpacaran. Ah, tak kusangka akhirnya begitu menyakitkan.

"Iya. Gue sudah dapat kerjaan baru. Senin depan mulai masuk," jawabku.

"Lo putus dari Ferdi langsung resign begitu, Sha?" timpal Aldo yang duduk di depanku.

"Iya, gue mesti move on, kan. Kalau tetap di sini gue nggak yakin bisa mengontrol emosi. Lihat tempat duduk dia saja berasa pengin bakar dia hidup-hidup. Apa lagi ketemu orangnya. Barangkali sudah habis gue mutilasi," sahutku sambil meremas kertas bekas dengan emosional.

"Ganas bener elo, Sha. Yah, kalau gue jadi elo pasti bakal melakukan hal yang sama. Gimana nggak, pacaran lima tahun eh, doi malah ena-ena sama cewek lain. Gue salut lo bisa nahan emosi segitunya. Kalau gue di posisi lo, gue pasti nggak bisa sesabar itu," ucap Anggun seraya membantuku mengemasi barang.

Kabar penyebab aku mengundurkan diri segera tersebar. Walaupun aku hanya mengungkapkan kejujuran tentang alasan ini kepada HRD dan bos besar, semua orang di kantor seketika mengetahui. Begitulah, informasi sekecil apa pun yang terjadi di kantorku begitu cepat menyebar. Seakan menjadi konsumsi publik dan tidak ada lagi sekat menutupi. Apa lagi Ferdi termasuk publik figur yang sangat disorot.

Bahkan aku tidak pamit dengan Ferdi di momen last day. Aku sudah pulang terlebih dahulu sebelum jam kerja berakhir. Sengaja kulakukan untuk menghindari pertemuan dengan Ferdi karena kebetulan dia sedang meeting dengan klien di luar kantor. Puluhan notifikasi dari Ferdi menghiasi layar ponsel begitu aku tiba di rumah. Tak kunjung mendapat respon, aku tidak menyangka Ferdi datang ke rumah pada malam harinya. Punya nyali juga dia.

"Aku minta maaf, Sha," ucapnya lirih.

Beruntung orang tuaku sedang tidak ada di rumah saat Ferdi tiba. Aku sudah menceritakan semua kelakuan Ferdi pada mereka. Papa yang paling marah, sampai bersumpah bakal bertindak kasar kalau Ferdi berani menampakkan diri di hadapannya.

"Punya nyali juga kamu ke sini," cibirku.

"Jadi, kamu pindah kerja ke mana?"

"Bukan urusanmu. Mending kamu nggak usah muncul lagi, deh. Aku jadi menyesal nggak bakar kalian di hotel waktu itu. Dasar pria biadab!"

Tuh, kan. Emosiku tidak dapat dibendung. Melihat muka Ferdi sok merasa tidak berdosa begitu membuat tanganku tergerak menampar pipinya. Ferdi terdiam. Dia tidak protes saat aku menamparnya berulang kali. Sepertinya dia menyadari kesalahannya. Sebelum membabi buta, aku berteriak mengusir Ferdi. Melemparnya dengan sapu. Setelah kejadian itu, aku demam selama tiga hari.

***

Dua tahun sesudah putus dari Ferdi, aku merasa lebih baik. Menikmati hidup dan tidak terlalu memikirkan pendamping hidup. Aku sungguh berhati-hati memilih pasangan setelah insiden menyakitkan hati tersebut. Hingga usiaku menginjak tiga puluh dua tahun, aku merasa lebih nyaman tanpa pasangan meskipun harus mengabaikan omongan sekitar yang tak henti menyebutku sebagai perawan tua. Mereka bisa berpendapat demikian karena tidak paham apa yang terjadi di balik sebuah peristiwa. Sedangkan Ferdi, kudengar sekarang dia sudah menikah dengan wanita yang saat itu bergumul dengannya di hotel. Baguslah, biar tidak berbuat maksiat terus.

"Sha, approval laporan KPI dari klien sudah dikirim belum?" tanya Mbak Teya saat aku baru saja memasukkan suapan pertama makan siang ke dalam mulut.

"Belum, Mbak. Sudah gue reminder by email, WhatsApp, tapi mereka nggak respon," jawabku sambil mengunyah.

"Gimana, sih? Katanya pengin cepat rilis. Lo follow up terus ya, Sha. Harusnya mereka yang bikin laporan, tuh. Tugas kita cuma review, tapi ini malah kita yang bikin mereka yang review. Eh, lo makan apa, Sha?"

"Ayam goreng, Mbak. Beli di depan."

"Lo jangan kebanyakan makan goreng-goreng deh, Sha. Kondisikan itu muka, jerawat lo sudah pengin dipanen."

Mbak Teya menunjuk jerawat di dahiku lantas berlalu. Jarang-jarang mukaku berjerawat lho, karena aku rajin merawat wajah setiap hari. Mungkin akibat dari padatnya kerjaan peak season membuat pikiranku terkontaminasi hingga mempengaruhi perubahan hormon di dalam diri. Aku melanjutkan makan siang tanpa peduli dengan ucapan Mbak Teya. Manajerku itu memang terlalu frontal. Dia sangat profesional dalam pekerjaan, tapi berkaitan dengan kehidupan sehari-hari di luar pekerjaan baiknya sangat kebangetan.

"Eh, Sha. Habis makan lo ikut gue, ya." Mbak Teya kembali ke kubikelku.

"Ke mana, Mbak?"

"Ketemu klien. Cuma ngobrol doang, kok. Lo nggak ada kerjaan, kan?"

"Ada, tapi bisa dikondisikan, kok."

"Bagus." Mbak Teya mengangkat jempolnya.

Pukul dua siang kami bertolak dari kantor menuju lokasi pertemuan di salah satu restoran tertinggi ibukota. Mbak Teya menginfokan kepada petugas penerima tamu kalau sudah reservasi dengan menyebutkan nama kemudian kami diarahkan menuju tempat yang ditentukan. Bukan di bagian outdoor seperti yang kuharapkan, padahal kalau di sana aku bisa melihat pemandangan Jakarta dari ketinggian. Suasana yang menyenangkan lumayan untuk refreshing.

Aku melihat seorang pria sudah duduk dengan arah pandang fokus tertuju kepada layar laptop di hadapannya. Dia menoleh begitu menyadari kedatangan kami. Senyumannya yang pertama kali berhasil membuatku terpaku. Aku baru tahu ada klien kami yang senyumnya simpatik begini. Berikutnya aku hanya termangu menyaksikan diskusi antara Mbak Teya dengan pria bernama Mada yang kuketahui merupakan seorang CFO (Chief Financial Officer) sebuah platform teknologi dan perdagangan industri mode dalam negeri.

"Semua sudah beres, Bapak tinggal menunggu personil yang akan kami turunkan ke sana," ucap Mbak Teya sembari melirik ke arahku. Aku mencium bau-bau penugasan baru, nih.

"Siap, Mbak. Saya tunggu kabar baiknya." Mada menutup laptop. "Oh ya, kalau Mbak Prisha sudah berkeluarga belum?"

Aku terhenyak mendengar pertanyaan tiba-tiba semacam ini. "Belum, Pak."

"Wah, kita bertiga samaan, dong. Masih single padahal sudah pada berumur. Memang risiko jadi eksekutif muda itu begini, ya. Masa depan perusahaan melulu yang dipikirin, tapi masa depan sendiri terabaikan," cetus Mada disambut tawa Mbak Teya. Aku cuma tersenyum simpul.

Nah, bisa ditebak topik pembicaraan selanjutnya, kan? Ya, kami membahas tentang pernikahan, jodoh, dan pasangan hidup. Kali ini, aku tidak merasa terintimidasi berada di antara mereka. Ketika berada di lingkungan dengan orang-orang yang memiliki nasib sama, aku merasa memiliki teman seperjuangan. Hanya saja aku tidak menyangka sosok pria seperti Mada yang notabene mapan, tampan, dan berpendidikan saja belum menikah. Kukira dia tipe-tipe hot daddy begitu. Ternyata masih single. Eh, tapi kalau single daddy tidak tahu juga, sih.

"Dibikin santai saja. Semua akan menikah pada waktunya," ucap Mada seraya meneguk air mineral.

"Abaikan omongan orang toh, mereka nggak tahu apa yang kita rasakan, apa yang terjadi sama kita. Bisanya nyinyir doang," sahutku membuat Mbak Teya tertawa dan Mada tersenyum kepadaku.

Pertemuan segera diakhiri dan kami kembali ke kantor masing-masing.

"Pak Mada umur berapa sih, Mbak? Kayak masih muda, tapi kok kayak tua," tanyaku ketika kami dalam perjalanan.

"Sudah tua dia, Sha. Empat puluh enam. Gue kenal dia waktu seminar pelatihan PPL. Sudah lama banget. Gue terhubung lagi sama dia sekitar setahun lalu lewat linkedin. Pak Mada itu mantan auditor, Sha. Oh ya, entar lo yang masuk ke kantor Pak Mada makanya gue bawa lo meeting sama dia hari ini."

"Mbak, yang ini saja belum kelar lo sudah kasih gue kerjaan baru?"

"Nggak usah alasan. Bentar lagi kelar, tuh. Cuma tinggal approval doang, kan. Sudahlah, siapa tahu lo dapat jodoh di sana. Syukur-syukur lo malah berjodoh sama Pak Mada. Dia beneran masih single, Sha." Mbak Teya mengedipkan sebelah mata.

"Kenapa nggak sama elo saja, Mbak? Lo juga single, kan?"

"Ganteng, sih. Tapi dia bukan tipe gue, Sha."

"Lo milih-milih sih, Mbak. Makanya nggak dapat-dapat, deh."

"Ye, lo juga milih-milih. Ngatain gue segala."

Aku tertawa. Sebenarnya aku tidak ingin milih-milih, tapi aku hanya berhati-hati supaya kejadian yang kualami tidak terjadi lagi suatu saat nanti.






03.09.2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro