Calon Suami

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tanggal pernikahan telah ditetapkan, delapan hari lagi Mita dan Sena akan melangsungkan pernikahan. Seperti apa yang telah disepakati bersama pernikahan akan berlangsung secara sederhana di rumah sakit karena ayah Mita sedang dirawat di rumah sakit saat ini.

“Sena,” panggil Nia seraya memberi kode, tetapi Sena tak kunjung peka yang membuat Nia kesal.

“Sena, kamu gak peka banget sih!” desis Nia lirih tepat di samping sang putra.

Sena mendelik, ia menatap penuh tanya wajah sang ibu. “Apa sih, Mi?”

Nia akhirnya menyerah, sepertinya putranya ini memang sangatlah tidak peka jika hanya dengan acara kode-kodean. “Ehem, Sena sebaiknya kamu antar Mita pulang gih!”

Sena membola mendengar penuturan sang ibu, sementara Mita hanya menunduk malu sembari meremas-remas jemarinya karena gugup. Marta-ibu Mita mengusap lembut lengan sang putri dan meminta sang putri untuk mengikuti keinginan sang calon mertua.

“Gak apa, Sayang. Pulanglah bersama Sena saja, biar Mama diantar Om serta Tantemu langsung ke rumah sakit.” Marta meyakinkan hati Mita agar sang putri tidak khawatir kepadanya.

Mita menganggukkan kepalanya, ia menurut. Ia pun melangkahkan kaki mengikuti kemana Sena berjalan tanpa berani menatap atau mengeluarkan suara sedikit pun. Sena segera membuka pintu untuk Mita dan mempersilakan Mita masuk ke dalam mobilnya. Ia bersikap semanis mungkin karena dari kejauhan sang ibu terus mengawasinya.

“Masuklah,” ucap Sena.

“Terima kasih, Kak.” Hati Mita semakin berdetak tak karuan mendapatkan perlakuan manis dari Sena. Ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi samping kemudi. Pun dengan Sena yang juga segera masuk ke dalam mobil.

Sena segera menyalakan mesin, melajukan mobilnya menuju jalanan menuju rumah Mita yang ternyata merupakan tetangganya semasa ia masih remaja.

“Masih tinggal di rumah yang sama kan?” tanya Sena basa-basi.

“Masih, Mas.” Mita memberanikan diri menoleh ke arah sang calon suami.

“Oke.” Sena fokus dengan setir mobilnya.

Suasana mendadak hening, tak ada pembicaraan apapun sepanjang perjalanan membuat Sena merasa bosan. Sena mengulurkan tangannya, menyalakan pemutar musik di mobilnya untuk memecah keheningan diantara mereka.

“Ada ya cewek model dia? Pendiem banget,” batin Sena sembari melirik Mita dari ekor matanya.

Sena menepikan mobilnya tepat di depan sebuah rumah minimalis yang tidak mengalami banyakj perubahan sejak dua belas tahun lalu. Seketika ia teringat dengan masalalunya, dimana ia dulu bertempat tinggal tepat di depan rumah Mita. Ia tersenyum mengingat sosok gadis kecil yang selalu menemaninya bermain. Namun, ia segera memudarkan senyumannya itu.

“Mas, pintunya kenapa belum dibuka?” tanya Mita yang melihat pintu mobil masih terkunci.

Bukannya membuka pintu mobil, Sena malah menahan Mita dengan berbagai pertanyaan yang ingin sekali ia ketahui. “Papa kamu sakit apa?” tanya Sena penasaran.

“Papa sakit gagal ginjal, Mas,” jawab Mita dengan wajah sendu.

Sena mengangguk-anggukkan kepala mengerti, ia meminta maaf kepada Mita jika pertanyaannya membuat Mita menjadi sedih. Dan ia berinisiatif untuk menanyakan hal lain yang ingin ia ketahui dari Mita.

“Berapa usiamu, sekarang?” tanya Sena.

“Dua puluh dua, Mas.” Mita memberanikan diri mengangkat kepalanya dan menatap seseorang yang berada di depannya itu.

Mita mengulum senyum, ia berulang kali mengucap syukur dalam hatinya usai menatap wajah tampan calon suaminya itu. Setidaknya, Sena tidak terlalu buruk seperti pikirannya tentang konotasi seorang bapak-bapak yang sudah memiliki anak.

“Kesibukanmu?” tanya Sena lebih mendalam.

“Kuliah, Mas. Saya semester akhir.”

“Oh gitu, kau boleh masuk ke dalam rumah sekarang.” Sena membuka kunci pintu mobilnya secara otomatis.

Mita menganggukkan kepalanya, ia tersenyum tipis lalu segera berpamitan untuk masuk ke dalam rumah. Mita berjalan setengah berlari menuju kamarnya. Ia menjatuhkan tubuhnya di kasur lalu meraih guling dan memeluknya dengan gemas.

“Astaga dia tampan sekali,” gumamnya.

“Dia jauh lebih tampan dari apa yang kupikirkan tentang bapak-bapak anak satu, hihi.”

Drrrt Drrrrt

Terdengar sebuah getaran dari dalam hand bagnya, ia segera mengecek siapa gerangan yang mengirim pesan kepadanya malam-malam begini. Mita menyalakan layar ponselnya, ia membola membaca pesan yang baru saja masuk ke ponselnya. Ia mengatur nafasnya, sembari terus tersenyum kegirangan.

From : 0878888***

Aku akan menjemputmu jam tujuh pagi.

Bersiaplah dan jangan membuatku menunggu.

Arsena.

Mita segera membalasnya, lalu menyimpan nomor Sena dengan dibubuhi emotikon hati. Entah mengapa Mita merasa bahagia sekali malam ini. Apalagi setelah mengobrol singkat dengan Sena ketika di mobil tadi. Meski hanya sedikit tetapi ia senang setidaknya Sena mau mengajaknya bicara.

***

Keesokan harinya, Mita bangun pagi-pagi sekali dan segera bersiap karena tak ingin membuat Sena menunggunya terlalu lama. Dan seperti janjinya, tepat pukul tujuh pagi Sena sudah datang untuk menjemputnya.

Dengan wajah yang ceria Mita menyapa Sena, ia masuk ke dalam mobil Sena dan pergi menuju ke sebuah butik milik teman Nia-ibunya Sena.

“Ayo turun,” ajak Sena yang lebih dulu turun dari mobil dan masuk ke dalam butik.

Seperti biasa, Mita berjalan di belakang Sena mengikuti langkah kaki lebar Sena dengan cepat. Sesampainya di dalam butik Sena meminta seorang pegawai untuk membantunya memilih sebuah kebaya untuk akhad nikah dengan senang hati si pelayanmembantunya.

“Ikutlah dengannya,” tutur Sena kepada Mita menunjuk pelayan tadi ia mintai tolong.

“Pilihlah kebaya pengantin yang kamu suka,” lanjutnya sembari berjalan ke arah sofa panjang dan duduk disana.

“Yang saya suka?” ulang Mita.

“Iya, terserah kamu saja. Aku ikut apa saja pilihanmu.” Sena berkata tanpa melihat wajah Mita.

“B-baik, Mas.”

Meski sebenarnya sedikit kesal, tetapi ia mencoba memaklumi sifat Sena. “Sabar, mungkin saja Mas Sena sedang sibuk.”

Mita melangkahkan kakinya masuk ke dalam sebuah ruangan. Ia membelalakkan matanya sempurna melihat deretan kebaya yang dipajang secara rapi disana. Dari modelnya saja ia bisa menebak jika kebaya di hadapannya ini harganya pasti mahal.

Mita iseng bertanya kepada si pegawai toko mana kebaya yang paling mahal dan mana kebaya yang paling murah. Si pegawai toko dengan sabar menunjukkan deretan kebaya mahal dan deretan kebaya dengan harga termurah disana.

Meski Mita tau calon suaminya itu bisa membelikan kebaya mana pun yang ia minta disini , tetapi ia berpikir ulang. Ia memilih kebaya di deretan rak kebaya dengan harga murah di toko mewah tersebut. Ia memilih sebuah kebaya polos berwarna putih dengan aksen tiara dan payet yang sederhana lalu menunjukkannya kepada Sena.

“Yang ini bagaimana, Mas?” tanya Mita menunjukkan kebaya yang melekat di tubuhnya kepada sang calon suami.

Sena membelalakkan mata sempurna, ia tidak bisa berkata-kata selain menganggukkan kepalanya menyetujui pilihan Mita yang memanglah terlihat simpel tapi sangat cantik ketika dipakainya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro