Hadiah Ibu Mertua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sesampainya di kampus Mita segera menuju ke ruang dosen pembimbingnya, beruntungnya si dosen belum datang. Mita berjalan ke arah

bangku kayu panjang yang terletak di depan

ruangan, ia mendaratkan pantatnya, menunggu sang empunya datang disana.

Drrrt drrt drrrt

Sebuah getaran panjang dari ponselnya membuat Mita mengorek isi tasnya. Mita mengambil ponselnya. la melihat siapa gerangan yang meneleponnya. Ia tersenyum tipis ketika nama ibu mertuanya tertera di sana.

"Mami," gumam Mita sembari menggeser tombol gulir warna hijau dan menempelkannya pada daun telinga.

"Ya, Mi?" sapa Mita kepada seseorang yang baru saja resmi menjadi mertuanya.

"Sayang, kamu dimana? Bisa ke rumah Mami gak?"

"Mita masih di kampus, Mi. Mungkin setelah dari kampus Mita baru bisa ke rumah Mami," jawab Mita lembut.

"Oh ya sudah, nanti kalau sudah selesai cepetan kesini yah, Sayang?"

"Iya, Mi. Tunggu ya, Mi."

"Ya sudah, Mami tutup dulu teleponnya. Bye, Sayang."

Tut tut tut

Suara sambungan telepon terputus. Mita memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. "Mana sih Pak Nendra?" gumamnya sembari menoleh ke segala sisi.

Mita bangkit dari tempat duduknya kembali untuk memeriksa ruangan dosen pembimbingnya. Namun hasilnya nihil, ruangan itu masih saja kosong.

"Dih! Kok masih sepi amat sih! Anak-anak yang lain kemana lagi? Apa hanya aku yang mau konsul," desisnya seraya duduk kembali di bangku kayu.

Tak lama kemudian si dosen datang dan mempersilakan Mita untuk masuk ke dalam ruangannya.

"Kamu sudah menunggu saya lama?" tanya Dosen pembimbingnya.

"Eum lumayan, Pak." Mita tersenyum ramah, lalu mengulurkan tangannya menjabat tangan si dosen pembimbing untuk berkenalan.

"Perkenalkan saya Mita, Pak. Mahasiswi yang beberapa lalu mengirim pesan kepada Bapak."

"Oh iya, saya ingat. Jadi mana proposalnya? Kamu sudah membuat rancangannya kan?"

Mita menganggukkan kepalanya. la mengambil sebuah proposal dari dalam tasnya lalu menyerahkannya kepada Nendra. "Ini, Pak."

Nendra meraih proposal tersebut dari tangan Mita, membuka bab demi bab dan membacanya dengan seksama, ia mengangguk-anggukkan kepalanya menatap tulisan yang sedang ia baca, memang harus ia akui bagus dan teliti. la hampir tidak menemukan cela di dalamnya.

"Oke, saya setuju Mita dengan judul kamu, cukup menarik. Kamu boleh memulainya. Segera konsultasikan sama saya jika Bab pertamanya sudah siap."

"Baik, Pak. Terima kasih, saya permisi." Mita segera meninggalkan ruangan dosen pembimbingnya dengan hati yang senang karena telah mendapat persetujuan dari dosen pembimbing.

"Alhamdulillah, aku harus lebih semangat ini," gumamnya.

Mita melirik ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangannya. la mempercepat langkahnya menuju area parkir di kampusnya, ia harus segera menjemput Dafin di sekolah sebelum terlambat.

"Mau kemana, Mit?" tegur Dini yang melihat Mita berjalan terburu-buru.

"Biasalah, Din. Aku duluan ya? Salam buat yang lain," jawab Mita santai sembari terus berjalan.

Mita segera mengenakan helm serta jaket miliknya, ia mengendarai motor maticnya menuju ke arah sebuah sekolahan. la menghentikan motornya tepat di depan gerbang sekolahan Dafin, bisa dilihat dari kejauhan sosok yang sedang ia khawatirkan sedang berdiri di lobi sekolah sendirian dengan tenang. Mita mempercepat langkah dan segera menghampirinya.

"Sayang, kamu sudah lama nunggunya ya? Maafin Mama ya?" ucap Mita merasa bersalah.

Dafin menggelengkan kepalanya. "Gak apa-apa kok, Ma. Ayo kita pulang."

Dafin bangkit dari tempat duduknya, menggandeng tangan Mita sembari tersenyum manis. Mita mengusap lembut pucuk kepala Dafin, mengajak Dafin berjalan ke arah motornya dan meminta bocah laki-laki itu untuk naik.

"Kita naik motor lagi, gak apa-apa kan, Sayang?" tanya Mita.

Bocah kecil itu terlihat menganggukkan kepalanya antusias. Ia langsung naik ke bagian depan, berdiri disana dan meminta Mita untuk segera melajukan motornya. Dari kaca spion motornya Mita bisa melihat Dafin begitu bahagia.

"Mama, kita mau kemana?" tanya Dafin sedikit menoleh ke arah Mita yang duduk tepat di belakangnya.

"Kita mau ke rumah Oma, Sayang. Gak apa-apa kan?”

"Gak apa-apa kok, Ma." Tentu saja Dafin senang.

Mita memarkirkan motornya tepat di depan rumah, ia lantas berjalan pelan menggandeng Dafin masuk ke dalam rumah yang disambut dengan ramah oleh sang m

"Siang, Mi. Maaf ya, Mi Mita baru kesini soalnya tadi Mita ke kampus dulu terus sekalian jemput Dafin," jelas Mita tak enak hati.

"Its ok, gak apa kok, Sayang. Ayo masuk," tutur Nia menggandeng Mita menuju ke ruang tengah.

"Ayo duduk, Sayang." Nia membimbing Mita untuk duduk di sampingnya

Setelah Mita dan Dafin duduk disana, Nia memanggil seorang maid di rumahnya. "Bi, tolong bikinin minum untuk cucu dan menantu saya ya," pinta Nia santun.

"Baik, Nyonya."

Nia meraih sebuah paper bag, lalu memberikannya kepada Mita. "Sebenarnya, Mami menyuruhmu kesini untuk beberapa hal.

Ini adalah salah satunya, kamu terima ya," ucap Nia tersenyum lembut.

"Apa ini, Mi?" tanyanya penasaran.

"Buka saja, Sayang."

Seperti instruksi Nia, Mita segera membuka paper bag di tangannya perlahan, ia mengeluarkan sebuah box yang berada di dalamnya. Perlahan tangannya menarik pita yang menghiasi box tersebut lalu mulai membuka box dengan hati-hati. Mita membelalakkan mata sempurna kala melihat isi dari box yang ia pegang.

Dengan cekatan Mita menutup kembali box tersebut lalu memasukkan kembali ke dalam

paper bag dan menyodorkannya kepada Nia.

"Maaf, Mi. Ini terlalu mahal untuk Mita. Mita gak pantas terima semua ini dari Mami," tolak Mita santun.

Nia terkekeh mendengar perkataan Mita, ia

dengan lembut meraih tangan Mita dan memohon agar Mita mau menerima hadiah

darinya. "Tolong terima ini, Sayang. Ini Mami

beli khusus untuk kamu sebagai hadiah pernikahan dari Mami untuk kamu."

"Ta-pi, Mi …." Belum sempat Mita melanjutkan ucapannya Nia lebih dulu memotongnya.

"Dan ini hadiah selanjutnya untuk kamu." Nia

menyodorkan sebuah amplop berwarna coklat berukuran sedang.

"Mi, kenapa Mami memberikan Mita banyak sekali hadiah? Ini terlalu berlebihan, Mi." Mita merasa tak enak hati karena menerima beberapa hadiah dari Nia.

Nia menggelengkan kepalanya lantas tersenyum lembut. "Tolong diterima ya, ini tak seberapa dengan ketulusanmu, Sayang."

Mita tersentuh mendengar perkataan Nia, ia tak enak hati jika harus kembali menolak pemberian dari sang mertua. Mita membuka amplop tersebut. Ia terkejut melihat sebuah buku tabungan atas namanya.

"Mi, ini banyak sekali? Mita benar-benar tidak bisa menerimanya, Mi. Mita sudah cukup berterima kasih karena Mami sudah membiayai seluruh pengobatan Papa. Itu sudah lebih dari cukup untuk Mita, Mi."

Nia semakin yakin jika menantunya ini benar-benar gadis yang baik dan tidak gila akan harta, ia merasa aman sekarang.

"Mita, Mami menyiapkan ini semua khusus untukmu. Mami tau seperti apa sifat anak Mami jadi tolong terima itu sebagai ganti atas semua kelakuan buruk Sena kepadamu, bersabarlah menghadapinya, Sayang. Dia baru saja kehilangan orang yang dia cintai jadi jiwanya sangat terguncang. Emosinya terkadang naik dan turun secara cepat jika dia mengingat mendiang istrinya," jelas Nia.

"Iya, Mi. Mita mengerti itu kok. Mita paham benar bagaimana perasaan, Mas Sena."

"Syukurlah jika kamu mau memahaminya." Nia tersenyum bangga kepada Mita.

Sejenak Nia teringat akan sesuatu hal dan penasaran sekali ingin bertanya dan menggoda menantunya. "Sayang, gimana? Lancarkan?"

Mita menaikkan sebelah alisnya, menatap Nia dengan tatapan penuh tanya."Gimana apa, Mi?"

“Itu ... Sudah belum?" tanya Nia menaik turunkan alisnya.

Seketika Mita teringat akan kejadian kemarin sore. Wajah Mita pun memerah memperoleh pertanyaan sang mertua yang terlalu menjurus itu, ia hanya menunduk dan mengulum senyum tanpa menanggapinya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro