Mau Lagi?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"M-mas," ucap Mita dengan suara lirih yang hampir tidak terdengar oleh Sena.

Sena menghentikan aksinya, ia mendongakkan kepalanya, menatap intens ke arah sumber suara.

"Kamu sudah bangun rupanya," ucap Sena menegakkan tubuhnya.

Mita mengangguk-anggukkan kepalanya, tangannya dengan cekatan menarik selimut untuk menutupi dadanya yang entah sejak kapan sudah terekspos semua.

"Maafkan aku telah mengusik tidur indahmu, a-aku hanya …." Sena merasa bersalah karena telah mengusik tidur sang istri.

"Ini jam berapa, Mas?" tanya Mita polos.

"Jam tiga lebih," jawab Sena santai.

"Hah! Iya? Kenapa tidak membangunkanku sih, Mas?" protes Mita panik, ia lupa jika dirinya sedang di rumah hanya bersama sang suami dan mengira jika Dafin ada di rumah.

Akibat pergerakan panik Mita, selimut yang Mita gunakan sedikit melorot menampakkan belahan dada Mita. Sena yang sudah syarat akan gairah pun langsung mengarahkan tangannya pada gundukan indah dengan pucuk yang menjulang menantang itu. Ia memijatnya dengan lembut, meremas serta memberikan pilinan-pilinan kecil di sana yang membuat Mita berjingkat sekaligus terpancing.

"Mas," bisik Mita lirih.

Sena semakin berkabut gairah, tubuhnya secepat kilat merangkak di atas tubuh Mita. Mencium Mita dalam dan menuntut. Ciuman Sena kini turun ke arah rahang dan leher memberikan tanda kepemilikan disana. Dan berakhir pada gundukan sintal milik Mita. Bibir tebal Sena mengarah ke atas pucuk, menyecapnya seperti permen lolipop dan memainkannya dengan gemas yang membuat sang empunya melenguh penuh kenikmatan.

"Ahh!" Satu desahan lolos dari bibir Mita. Sungguh Mita menggila dibuatnya. Ia tak tahan lagi untuk merasakan lebih.

"Emmh!" Suara merdu yang keluar dari bibir Mita membuat Sena semakin liar.

Damn! Sena menginginkannya lagi! Sena tidak tahan lagi! Secepat kilat tangan Sena menyibak selimut yang menutupi sebagian tubuh sang istri, menanggalkan satu persatu pakaian yang Mita kenakan dan membuangnya ke sembarang arah. Kini ia bisa melihat dengan leluasa tubuh indah Mita.

Sena segera mengarahkan miliknya yang sudah berurat menerobos masuk begitu saja ke dalam lembah yang saat ini terpampang tanpa penghalang.

"Sayang, aku sangat ingin," rajuk Sena memanja.

Mita hanya diam, ia tak bisa berbohong. Tubuhnya juga tidak bisa menolak keinginan sang suami karena ia pun sangat berhasrat saat ini. Ia membiarkan Sena memasukkan pusakanya masuk ke dalam pusaranya.

Merasa mendapat lampu hijau dari sang istri membuat Sena mulai menggerakkan pinggulnya. Semula Sena menggerakkannya dengan irama sedang. Tapi, baru saja beberapa menit Sena bergerak, Mita mengatakan menyerah karena sudah tidak kuat lagi. "Mas, stop!"

Sena yang sudah kepalang ingin pun tak langsung menghentikan gerakannya, ia hanya memperlambat saja. "Sebentar lagi, Sayang," bujuk Sena.

Mita mencoba menahan rasa sakitnya, ia memejamkan matanya dan meremas dengan kuat sprei. Merasa Mita kembali tenang, Sena kembali memompa tubuh Mita, kali ini  lebih cepat dari sebelumnya.

"Aaa, sakit!" aduh Mita.

"Sakit, Mas," keluhnya dengan suara pilu.

Melihat air mata yang mengalir dari mata sang istri membuat Sena berhenti, Sena menatap lekat wajah kesakitan sang istri. Ia mencabut pusakanya, lalu membaringkan tubuhnya sejajar dengan Mita. Detik selanjutnya ia merasa bersalah karena telah membuat Mita menangis.

"Mita, maaf … maafkan aku," tutur Sena yang merasa sangat bersalah.

Ia menyeka air mata Mita dengan ibu jarinya, mengecup singkat kedua mata Mita lalu membawa tubuh Mita ke dalam pelukannya.

"Maafkan aku, Sayang."

Entah sudah berapa kali Mita mendengar kata "Sayang" dari bibir Sena hari ini. Suaranya terdengar lembut, mengalun menghangatkan hati Mita. Seolah menghapus semua benci yang pernah Mita rasakan karenanya.

Mita hanya mengangguk lemah sebagai jawaban, dalam hati kecilnya sebenarnya dirinya juga merasa bersalah kepada Sena karena tak bisa menuntaskan hasrat sang suami sore ini. Tapi apa daya, dirinya pun merasakan sakit yang amat sangat dan tak bisa menahannya lagi. Sisa percintaannya dengan Sena kemarin malam belum lah sembuh sempurna.

"Kamu sudah lapar belum?" tanya Sena tiba-tiba.

Belum sempat Mita menjawab perut Mita sudah berbunyi sehingga membuat keduanya terkekeh. "Nah itu dia bunyi."

Sena meminta Mita untuk segera mandi, ia menyiapkan air hangat untuk sang istri lalu menggendong sang istri masuk ke dalam bak mandi secara perlahan.

"Sayang, mandilah dulu." Sena mengecup singkat pucuk kepala sang istri sebelum ia meninggalkan sang istri keluar dari kamar mandi.

Sena mengenakan kembali pakaian dan merapikan penampilannya. Kemudian ia menelepon salah seorang asisten rumah tangganya untuk membawakan makanan ke kamarnya karena ia tahu istrinya tak cukup kuat untuk berjalan menuruni anak tangga ke bawah.

"Bi, tolong bawakan untuk saya dan Mita ke kamar ya? Masuk dan letakkan saja makananya di meja," ucap Sena kepada si asisten dari sambungan telepon.

"Baik, Tuan. Saya akan segera kesana."

"Hem, terima kasih." Sena mematikan sambungan teleponnya. Meletakkan kembali gagang telepon ke tempat semula.

Setelahnya ia duduk di pinggiran ranjang menunggu sang istri selesai mandi. Baru sekitar lima belas menit, ia sudah bangkit dari tempat duduknya memeriksa apakah sang istri sudah selesai ataukah belum.

"Sayang, sudah selesai belum?" tanya Sena yang sudah tidak sabar menunggu Mita.

"Sebentar, Mas!" seru Mita dari dalam kamar mandi.

Mita keluar mengenakan bath robe dan terlihat sudah segar. "Lho? Sudah tidak sakit?" tanya Sena heran.

"Masih, tetapi tidak sesakit sebelumnya, Mas." Mita tersenyum tipis berjalan pelan menghampiri sang suami.

Sena tersenyum, mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti, kemudian menuntun sang istri perlahan ke arah ruang ganti untuk mengganti pakaiannya.

"Mau aku bantu?" tawar Sena.

Mita buru-buru menggelengkan kepalanya. Pipinya memerah mendengar tawaran dari sang suami. Bayangannya tentang kegiatan panas bersama Sena kembali berputar.

"A-aku bisa sendiri kok, Mas." Mita tersenyum lembut, ia melangkahkan kakinya pelan menuju lemari mengambil pakaian untuk ia kenakan.

Ketika ia berbalik hendak mengenakan pakaiannya ia kaget melihat sosok sang suami masih duduk disana menungguinya. Ia pun bergerak mendekati sang suami dan bertanya mengapa Sena masih duduk disana.

"Mas, aku bisa kok ganti baju sendiri," tuturnya lembut.

"Mas, tunggu aja diluar gih!"

Sena menggelengkan kepalanya, ia menarik lengan Mita dan menuntunnya kepangkuan. "Aku ingin disini, Sayang. Aku masih ingin melihat keindahan tubuhmu," bisik Sena lembut yang membuat bulu kuduk Mita berdiri.

Mita menundukkan kepalanya, menggigit kecil bibir bawahnya. "Tapi aku malu, Mas," cicitnya yang masih terdengar oleh Sena.

Sena mencium pipi Mita, melilitkan lengan kekarnya pada perut sang istri dengan dagu yang ia letakkan pada bahu Mita. "Kenapa masih malu, hem?"

"Aku bahkan sudah melihatnya beberapa kali," ucap Sena secara frontal yang membuat area sekitar pipi Mita memerah.

Sena membalikkan badan Mita sehingga wajah mereka bertemu, ia memandang intens wajah perempuan yang ada di pangkuannya itu lalu memagut bibirnya dalam. Bibir pink muda semanis coklat yang selalu menjadi candunya. Ciuman itu tak berlangsung lama, hanya beberapa detik saja. Namun efeknya sangat luar biasa.

Sena menarik ujung tali bath robe yang melingkar pada perut Mita. Kemudian mulai menurunkan bath robe yang Mita kenakan secara perlahan hingga tubuh putih mulus itu terlihat sempurna. Sena membimbing Mita agar berdiri, mereka saling berdiri dengan tubuh Mita yang polos. Sena tersenyum, kemudian mendaratkan sebuah kecupan di dahi Mita. Setelahnya, entah mengapa rasa malu yang tadi menghinggapi hati Mita perlahan memudar.

"Jangan malu, kau harus terbiasa dengan semua ini mulai sekarang," bisik Sena yang diangguki oleh Mita.

Mita segera berganti pakaian, ia mengenakan pakaiannya satu persatu di depan Sena yang saat itu sedang duduk menunggunya.

"Sudah?" tanya Sena memastikan.

"Sudah, Mas." Mita bergerak mendekat.

"Baiklah, ayo kita makan. Bibi mungkin sudah menyiapkan makanan untuk kita." Sena berjalan keluar dari ruang ganti dengan menggandeng Mita.

Benar saja! Ia melihat meja di ruang kamarnya sudah terisi dengan makanan dan minuman yang entah sejak kapan di letakkan disana. Sena membawanya ke arah meja tersebut, memintanya untuk duduk dan makan.

"Bagaimana? Kamu suka makanannya?" tanya Sena menatap lembut sang istri.

"Suka, Mas."

"Syukurlah, kalau begitu segera habiskan makananmu ya?"

Mita hanya mengangguk sebagai jawaban. Seperti perintah sang suami ia memakan makanannya dengan lahap hingga tandas. Setelah kenyang Sena meminta Mita untuk istirahat. Tentu saja! Ia ingin istrinya itu segera pulih agar bisa melayaninya dan memuaskan hasratnya lagi.

Mita berbaring di ranjang bersandar di bahu Sena. Suatu hal yang tak pernah Mita bayangkan sebelumnya. Ia bahkan tak mengira jika Sena akan sebegini cepatnya berubah. Tiba-tiba teringat dengan perkataan sang ibu mertua yang mengatakan jika Sena sebenarnya penyayang, ia bersikap cuek dan dingin hanya karena belum bisa melupakan mendiang istrinya.

Jadi, apakah sekarang Sena sudah bisa melupakan istrinya? Apa benar ini adalah sifat asli Sena yang sang mertua ceritakan? Apa itu artinya Sena sudah bisa menerimanya? Banyak pertanyaan berkecamuk dalam hati Mita. Ia masih belum yakin jika ini adalah Senanya, seseorang yang beberapa hari lalu bahkan bersikap kasar dan dingin padanya.

"Apa iya, Sena begitu cepat berubah hanya karena …." Mita menjeda pertanyaan dalam hatinya.

Pipinya memerah, bayangan tentang malam panas mereka dan juga sikap manis Sena mulai melayang-layang menghinggapi pikirannya. Namun, bayangan indah itu segera lenyap dengan pikiran tentang magangnya. Ia pun memberanikan diri memulai obrolan dengan Sena.

"Mas," panggil Mita lembut.

Sena mengecilkan suara volume televisi di depannya. Ia lantas menoleh memperhatikan mimik wajah istrinya. "Ya?" tanyanya, ia menunggu respon Mita selanjutnya.

"Boleh bicara sesuatu," ucap Mita kemudian.

Sena menganggukkan kepalanya dan tersenyum tipis. "Kenapa? Bicara saja!"

"Ini tentang magangku," cicit Mita sembari menggigit bibir bawahnya.

Sena menegakkan badannya dan badan Mita, membalikkan badan Mita agar mereka saling berhadapan. "Katakan saja, Mita."

"Um, boleh ya kalau besok aku mulai magang lagi? A-aku harus menyelesaikan magangku, itu penting untukku, Mas. Aku janji, aku akan membagi waktu sebaik mungkin."

Sena menganggukkan kepalanya lagi. "Boleh," jawabnya singkat.

Mita memicingkan matanya, ia menatap lekat wajah lelaki yang ada di depannya ini. "Sungguh?" tanyanya yang masih tidak percaya jika sang suami mengiyakannya begitu saja.

"Kamu tidak percaya?" balas Sena.

"B-bukan, aku hanya memastikannya saja," ucap Mita sedikit menundukkan pandangannya.

"Lanjutkan saja, tak apa, Sayang." Sena berkata dengan suara yang lembut.

Mita senang bukan main mendengar jawaban dari Sena. Ia langsung memeluk tubuh lelaki yang ada di depannya ini.

"Terima kasih, Mas. Terima kasih." Mita menelusupkan wajahnya pada dada bidang Sena.

"Tapi gak geratis ya?" ucap Sena tiba-tiba yang membuat wajah bahagia Mita kembali meredup dan melepaskan pelukannya.

"Jadi ada syaratnya ya?" ucap Mita menghembuskan nafas kasar.

"Iyalah, pasti!" Sena sengaja memasang wajah datarnya sedari tadi untuk membuat Mita kesal kepadanya. Meski hasilnya Mita sama sekali tidak menunjukkan kekesalan kepadanya.

"Apa?" tanya Mita penasaran.

"Jaga jarak dengan semua lelaki disana. Jangan membuat suami kamu cemburu, dan ingat selalu kalau kamu itu adalah seorang istri," tutur Sena dengan cepat yang langsung membuat Mita terkekeh.

"Astaga! Aku kira apa syaratnya. Kalau itu sih tanpa kamu minta aku bakal lakuin, Mas. Aku gak pernah dekat-dekat dengan lelaki manapun kecuali sama kamu selama ini, palingan hanya sebatas teman saja."

"Bagus! Kamu memang harus begitu! Jangan ganggu-ganggu bos kamu juga," goda Sena.

Mita dengan cepat menggelengkan kepalanya. "Dih! Enggaklah! Gak akan! Aku aja serem kalau denger orang kantor ceritain bos mereka."

Sena hanya tersenyum saja, dalam hatinya tertawa mendengar aduan sang istri. "Oh ya? Kenapa?" tanyanya memancing respon selanjutnya dari Mita.

"Bos, katanya galak dan super dingin gitu, Mas," adu Mita dengan wajah polosnya.

"Astaga, begitukah aku selama ini?" batin Sena. Saat itulah Sena perlahan sadar dengan sifatnya selama ini.

Sena sengaja mencecar Mita dengan pertanyaan-pertanyaan karena ia ingin tahu semuanya dari Mita. "Benarkah? Karyawan kantor yang bilang gitu sama kamu?"

"Bukan hanya karyawan kantor, Mas. Semua yang aku temui juga bilangnya gitu. Meski para karyawan wanita banyak yang bilang si bos ganteng dan idola kaum hawa." Mita bercerita dengan mimik wajah serius dan nada suara yang menggebu-gebu.

Sena menjadi tidak sabar ingin segera melihat ekspresi Mita besok ketika mengetahui jika dirinya adalah bos yang sedang diceritakan oleh sang istri.

"O ya? Kamu memang sudah pernah ketemu bosnya?"

"Ya belum lah, Mas. Baru juga beberapa hari magang disana, mungkin besok aku bakal ketemu dan menilai sendiri bagaimana si bos."

"Kamu mau ketemu bos besok?" tanya Sena yang pura-pura ingin tahu.

"Iya pastinya, Mas. Kan aku udah gak masuk tanpa keterangan. Pastilah aku besok dipanggil dan kena marah." Mita menerka-nerka apa yang kira-kira terjadi esok hari jika dia masuk magang.

Sena tersenyum menanggapi ucapan sang istri. Ia lantas mengecup dahi Mita dengan lembut lalu mendekap erat tubuh sang istri, mengajaknya untuk segera tidur.

"Tidurlah, Sayang. Kamu butuh banyak istirahat supaya lekas pulih," bisik Sena yang diangguki oleh Mita.

Mita perlahan memejamkan matanya, menghirup wangi musk yang menenangkan dari tubuh sang suami. Dan dekapan hangat yang terasa begitu aman dan nyaman baginya. Detik selanjutnya ia mulai terlelap.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro