Menginginkan Mama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Seminggu lalu Mita sedang mengantar sang ayah untuk check up ke dokter, ia tanpa sengaja bertemu dengan sahabat sang ibu yaitu Nia. Kala itu Mita melihat Nia sedang kesusahan membujuk seorang bocah kecil untuk masuk ke dalam rumah sakit. Ia pun menghampri Nia memberi salam dan bertanya apa yang terjadi.

“Tante Nia,” sapa Mita santun.

Mita mencium tangan Nia dengan takjim lalu mengusap lembut pucuk kepala Dafin. “Kenapa dia menangis tante?” tanya Mita menunjuk Dafin.

“Biasalah, Sayang. Dia gak mau diajak masuk ke dalam. Padahal Cuma mau periksa gigi saja tapi dia takut sekali.”

“Kamu sendiri sedang apa disini, Ta?”

“Mita lagi antar Papa check up, Tan.” Mita tersenyum tipis menunjuk ke arah ayah dan ibunya yang lebih dulu berjalan di depannya.

Nia mengangguk-anggukkan kepalanya paham. Ia kembali membujuk Dafin, tetapi Dafin malah semakin kencang menangis. Mita yang iba pun berjongkok di depan Dafin, ia mengusap pipi Dafin lembut dan mencoba menenangkan Dafin.

“Hai, anak ganteng siapa namamu?” tanya Mita lembut.

Dafin menghentikan tangisannya sejenak melihat dengan seksama siapa yang sedang mengajaknya bicara. Ia menatap wajah Mita lekat lalu tersenyum tipis. “Mama,” panggilnya dengan suara polos.

Mita mendelik mendengar Dafin memanggilnya dengan sebutan Mama, tetapi ia membiarkan bocah laki-laki itu memeluknya secara tiba-tiba. Awalnya, Mita mematung dengan wajah kebingungan. Namun, Nia memberikan kode untuk tenang dan memintanya membalas pelukan sang cucu.

Dari pertemuan itulah, Nia akhirnya menjelaskan kepada Mita jika ibu dari Dafin sebenarnya telah tiada yang membuat sesuatu di dalam hati Mita terasa perih. Entah mengapa cerita itu membuat Mita simpati kepada Dafin dan berusaha untuk membuat Dafin tersenyum.

Mengingat kejadian seminggu lalu membuat hati Mita luluh. Mita memejamkan matanya sejenak, ia menghirup udara dalam-dalam sebelum memberikan jawaban atas permintaan sang ibu. Detik selanjutnya Mita dengan mantap menganggukkan kepalanya sebagai pertanda menyetujui permintaan sang ibu. Ia pasrah. Ia tidak tahu lagi harus berbuat apa dalam pikirannya saat ini hanya ingin melihat kesembuhan sang ayah. Toh tujuannya juga baik, ia ingin mengabulkan permintaan Dafin kala itu dan membuatnya sedikit menghilangkan rasa sedih akan kehilangan sang ibu. Jadi apa salahnya? Perihal bagaimana tanggapan ayah dari Dafin atau siapa yang akan menjadi calon suaminya nanti itu akan ia kesampingkan dulu.

"Ka-kamu setuju, Sayang?" tanya Marta memastikan.

"Iya, Ma Mita setuju. Demi Papa Mita akan lakukan apapun.”

"Terima kasih, Sayang. Maafkan Mama jika sudah egois padamu," ucap Marta sembari memeluk putrinya dengan sayang.

Mita meltakkan jari telunjuknya di depan bibir sang ibu. "Tidak, Ma Mita akan melakukan apapun untuk Papa supaya Papa bisa sembuh. Mama jangan menyalahkan diri Mama sendiri, dan lagi gak ada salahnya juga Mita mencoba karena Dafin adalah anak yang baik kok, Ma. Mita rasa menjadi ibu sambung bagi Dafin tidak akan terlalu sulit.”

"Terima kasih, Sayang. Mama bangga padamu.” Marta mengendurkan pelukannya lantas mengecup kedua pipi Mita dengan sayang dan menyatukan dahi mereka dengan air mata bercucuran.

“Hari-harimu di awal pernikahan mungkin akan suit, Nak. Namun percayalah jika kamu sabar, ikhlas dan tulus kamu akan memenangkan semuanya.” Marta mengusap dengan lembut pipi Mita.

Mita hanya mengangguk sebagai jawaban. Dilain tempat, seorang pria sedang dibuat pusing kepala dengan ulang sang putra yang sering membuat onar di sekolah. Ia memijat-mijat kepalanya yang terasa sangatlah pening saat ini.

“Dafin! Apa yang kamu lakukan? Mengapa kamu selalu memancing keributan di kelas, Nak?” tanya Sena dengan nada suara yang sengaja ia lembutkan.

Tak ada jawaban yang keluar dari bibir mungil Dafin. Ia hanya menangis sesenggukan sembari memanggil-manggil “Mama” yang membuat Sena semakin frustasi dibuatnya.

“Oke, Dafin stop dulu! Dafin jangan nangis begini ya?” bujuk Sena sembari melancarkan rayuannya yang lain mulai dari membeli mainan hingga membeli makanan kesukaan Dafin, tetapi tidak satupun yang bisa membuat Dafin berhenti menangis.

Sudah lebih dari satu jam Dafin menangis di ruangan kantornya, mau tak mau ia menelepon sang ibu-Nia untuk membantunya menenangkan sang putra.

“Kamu apain lagi sih dia? Kamu marahin lagi apa gimana?” cecar Nia dari seberang sana.

“Nanti Sena jelasin ke Mami. Sekarang Mami kesani saja dulu, oke?”

Terdengar helaan nafas kasar dari Nia dari seberang sana yang diiringi bunyi suara sambungan telepon terputus. Nia menutup pekerjaannya, ia bangkit dari tempat duduknya menyambar tas dan kunci mobil lalu segera keluar dari ruangan kantornya.

“El, nanti kalau ada klien cariin aku bilang aja lagi jemput Dafin sebentar ya?” pesan Nia kepada sekretarisnya.

Ia berjalan setengah berlari keluar butik dan segera masuk ke dalam mobil miliknya, melajukan mobilnya menuju ke kantor sang putra. Dalam perjalanan Nia merutuki perbuatan sang putra yang selalu saja merepotkannya jika masalah Dafin.

“Bapak macam apa dia! Nenangin dan bujuk anak sendiri saja tidak bisa!” omelnya kesal.

Sekitar lima belas menit perjalanan, mobil yang ia kendarai kini sudah memasuki area parkir gedung perusahaan sang putra. Ia segera memarkirkan mobil dan dengan tidak sabaran ia berjalan masuk ke dalam gedung di depannya.

“Siang, Mbak. Saya mau bertemu dengan Pak Sena ada kan  ya?” tutur Nia melapor kepada seorang resepsionis.Bagaimana pun juga ia tetap harus mengikuti peraturan yang telah ditetapkan pada kantor sang putra.

Si resepsionis tersebut tersenyum ramah, ia lantas mempersilakan ibu dari bosnya itu segera  masuk ke dalam. “Ada, Bu. Silakan langsung ke ruangan beliau.”

“Terima kasih, Mbak.”

Sepanjang perjalanan menuju lift,di dalam lift dan berjalan menuju ruangan sang putra Nia terus saja di dekati beberapa karyawan wanita yang terlihat sekedar menyapa atau mengakrapkan diri kepadanya entah untuk mencari muka atau dengan maksud tujuan lain. Sebenarnya, ini adalah hal yang paling dibenci oleh Nia sedari dulu ketika berkunjung di kantor Sena. Meski demikian Nia menanggapinya dengan santai dan sedikit cuek untuk menjaga jarak.

Nia menerobos masuk ke dalam ruangan kerja Sena, ia membelalakkan mata sempurna melihat sang cucu menangis dan mengamuk memberantaki ruangan sang ayah, tetapi Sena terlihat duduk santai dengan tab di tangannya.

Seketika Nia memukulkan tas miliknya ke tubuh sang putra seraya menggerutu kesal. “Arsena!” serunya penuh emosi.

“Kau ini apa-apaan, hah! Bisa-bisanya kau duduk dengan santai sementara anakmu menangis meraung-raung seperti ini!”

“Dasar keterlaluan kamu!” omel Nia geregetan dengan sikap sang putra.

Sena memutar bola matanya jengah. Ia dengan wajah tanpa dosa berdiri dan menjelaskan apa yang membuat sang putra menangis dan uring-uringan seperti saat ini.

“Apa katamu? Mama?” ucap Nia terkejut.

Mira kini berjongkok di depan sang cucu. “Apakah benar, Sayang? Kamu menginginkan Mama?” tanyanya dengan lembut.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro