Will You?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dari sekian juta jiwa di bumi, takdir membiarkan aku dan kamu, berjumpa.

.

.

.

.

"Nah, sudah selesai."

Sang penata rias akhirnya menyelesaikan sentuhan terakhirnya dengan tersematnya mahkota mutiara kecil di kepala kliennya itu.

"Wah, cantiknya anak Bunda. Sudah siap dong jadi pengantin,"puji Helen seraya mencium pipi anak semata wayangnya yang kini akan menikah, Salsha.

Salsha tersenyum, membuat kecantikannya semakin tak terkira, "Semoga siap, Bunda."

Helen balas tersenyum dan menekuk lututnya, menyamakan tingginya dengan Salsha yang duduk di kursi rias, "Ingat, anak Bunda yang cantik. Apapun yang terjadi kedepannya, mau kamu sudah jadi istri orang, pintu rumah dan pelukan Bunda selamanya terbuka untuk kamu."

Air mata Salsha sudah hampir menetes ketika mendengar ucapan Bundanya. Butiran bening itu sudah mengumpul di pelupuk matanya, bersiap meluncur.

Sebelum air mata itu meluncur, pintu ruangan pengantin diketuk. Tak lama berselang dari suara ketukan, terdengar suara bass dari luar sana.

"Er...,gue...boleh ngomong bentar nggak sama lo?"

Tahu siapa yang dibalik pintu, Salsha buru buru mengambil tisu dan menghapus air matanya. "Masuk aja, Di."

Ceklek

"Wah, udah cantik aja lo,"puji Aldi seraya tersenyum.

"Iya dong, gue kan selalu syantik,"balas Salsha dengan penuh percaya diri.

Aldi tertawa, "Iya deh, cans. Selamat ya, akhirnya hari yang lo sama Karel tunggu tunggu dateng juga."

"Iya. Oh ya, lo mau ngomong apa sama gue?"tanya Salsha teringat kembali dengan ucapan Aldi tadi.

"Nggak penting penting amat juga sih....,"Aldi menggaruk tengkuknya dengan gugup.

"Apaan sih lo, kayak cewek aja deh,"ledek Salsha seraya menautkan kedua alisnya.

"Ya nggak jadi deh, nggak penting kok,"putus Aldi akhirnya.

Salsha hanya berdecak sebal dengan tingkah Aldi. Gadis itu bangkit dari kursi riasnya, membiarkan gaun putih panjangnya menyapu lantai berkarpet beludru.

"Rombongan pengantin pria udah dateng belom sih?"gumam Salsha sambil melirik jam.

"Tenang, Sal. Bentar lagi dateng kok,"hibur Aldi.

"Iy-"

Tring Tring Tring

Bibir Salsha langsung mengulas senyum indah ketika melihat nama yang tertera di layar ponselnya. "Baru aja diomongin."

"Halo, sayang. Kamu udah dimana?"

"Maaf, Sal. Aku nggak bisa."

"Hah? Maksud kamu apa, Karel?"

"Pokoknya...,maafin aku. Aku nggak bisa ngucapin janji suci itu sama kamu."

Salsha berubah kalut dan nada bicaranya meninggi, "Maksud kamu apaan, Karel Susanteo?"

"Aku...cinta sama Caitlin.Maafin aku, Salsha. Kita putus."

Tuuuuut

Salsha merasakan darahnya berhenti berdesir saat itu juga. Jemarinya tak lagi kuat mengenggam ponsel itu, dibiarkannya benda metal pipih itu mencium karpet dengan keras.

"Sal? Kenapa?"tanya Aldi yang merasakan perubahan nada bicara Salsha.

Salsha memutar badannya dengan gemetar dan kaku. Wajahnya pucat pasi, dengan deraian air mata dari matanya.

"Kenapa, Sal? Itu Karel kan?"Aldi mulai panik ketika deraian air mata Salsha semakin deras.

"Di....,"panggil Salsha serak. "Gue baru aja diputusin lewat telpon, Di..."

Aldi terkejut hingga tak mampu berkata kata, mulutnya terasa kelu padahal harusnya ia menenangkan Salsha sekarang. Belum selesai rasa terkejutnya, Salsha pingsan tak sadarkan diri.

*****

"Karel!!"jerit Salsha seraya terduduk di atas bangkarnya. Napasnya terengah engah, wajahnya dihiasi butiran keringat dingin.

"Pelan pelan, Salsha...,"ucap Helen ketika melihat putrinya telah sadar.

Salsha menatap ibundanya, terlihat jejak air mata diwajahnya. Ia mengedarkan pandangannya, tak terlihat sosok Karel di ruangan itu.

"Bund, Kok aku disini, Bund?"tanya Salsha dengan suara bergetar.

"Kamu kecapekan, sayang. Makanya disini dulu,"jawab Helen berusaha menyembunyikan rasa pilunya.

"Bund, Karel dimana? Aku kan harusnya nikah hari ini, Bund. Dia kemana?"tanya Salsha bertubi tubi.

"Karel dia..."Helen tak sanggup menjawab, ia hanya bisa menatap putrinya dengan tatapan pilu.

Kita putus...

Kita...pu...tus. . .

Pu...tus. .

Aku cinta sama Caitlin. . . .

Salsha bertambah kalut, emosinya tersulut begitu saja. Kalimat demi kalimat itu terus terngiang di kepalanya begitu saja.

"Bund, jawab!! Karel kemana? DIA ADA DIMANA, BUNDAA?"teriaknya histeris.

"Sal, kamu tenang dulu sayang. Jangan panik gini."Helen berusaha menenangkan putrinya yang kalut. Jarinya buru buru menekan bel di pinggir bangkar, memanggil bantuan medis.

"NGGAK! KAREL DIMANA BUND? DIA NGGAK NINGGALIN AKU KAN? DIA-akh!"Jeritan Salsha terhenti begitu cairan kimia itu disuntikkan ke tubuhnya.

Tubuh gadis itu secara perlahan lahan berubah lunglai sebelum akhirnya terbaring lemah di bangkarnya. Kedua mata indah itu kembali tertutup rapat.

"Begini Bu, anak ibu mengalami shock yang cukup berat. Peristiwa ini terlalu berat baginya, mengakibatkan emosinya kini tidak stabil. Pasien akan butuh perhatian yang banyak selama beberapa waktu kedepan,"jelas dokter yang menyuntik Salsha tadi.

"Dan Bu, kondisi kejiwaan pasien sekarang perlu dijaga dengan baik, karena bisa saja mempengaruhi janinnya,"tambah dokter itu membuat Helen terkejut.

"A-anak saya...hamil?"

Dokter itu mengangguk, "Usianya masih kecil, 2 minggu. Sangat rawan untuk keguguran, Bu. Karena itu pasien akan butuh penjagaan intensif."

Helen mengangguk, "Ma-makasih, Dok."

"Sama sama, Bu. Mari,"pamit dokter itu sebelum menghilang dari balik pintu bersama perawat.

Klek

Pintu ruang rawat terbuka, disusul dengan sosok Hasdi yang menatap bingung ke arah istrinya yang tengah terisak. Ia baru kembali setelah mengatasi situasi kacau di tempat resepsi dimana pernikahan putrinya harusnya dilaksanakan.

"Bund, gimana keadaan Salsha?"tanya Hasdi sambil menyentuh pundak istrinya pelan.

"Dokter bilang dia shock berat, Yah. Dan...dia hamil anak pria itu, Yah....,"isak Helen.

"Ya Tuhan...."

Hasdi menahan geramnnya dan menarik istrinya agar bersandar padanya. Ia sungguh menyayangkan putri semata wayangnya ini harus bertemu biadab seperti Karel dihidupnya.

"Oh iya, semuanya udah beres, Yah?"tanya Helen begitu sudah lebih tenang.

Hasdi mengangguk, "Semua sanak saudara sudah pulang. Semuanya sudah hampir beres kok. Sedangkan Karel...Aldi sedang mencarinya."

Helen mendelik , raut wajahnya berubah murka, "Awas saja kalau sampai ketemu, Bunda habisi dia. Bisa bisanya...oh, anakku yang malang..."

Hasdi hanya bisa memeluk istrinya yang kembali menangis. Jujur, hatinya juga terbakar amarah yang teramat sangat. Namun kini yang menjadi fokusnya adalah Salsha, dan bagaimana anaknya itu akan menghadapi hari esoknya.

Klek

"Om, Tante."

Pasangan suami istri itu menoleh ketika suara Aldi terdengar. Keduanya refleks berdiri dan mendekat pemuda itu.

"Ketemu, Di?"tanya Hasdi menahan geramnya.

"Sepertinya dia udah merencanakan jauh hari, dia udah ninggalin Indonesia 2 jam yang lalu,"jawab Aldi.

"Brengsek!"umpat Hasdi geram. Tangannya menggebrak meja didekatnya dengan kencang.

Aldi mulai mengubah arah pandangnya ke arah bangkar. Ke arah dimana tubuh sahabatnya itu kini terbaring lemas disana.

"Om, Salsha gimana keadaannya?"tanya Aldi tanpa melepas tatapannya.

Hasdi menghela napas, "Dia shock. Dan ternyata...dia hamil anak Karel."

Aldi membulatkan matanya tak percaya. Ia tak pernah menyangka hubungan Karel dan Salsha sudah sejauh itu. Kini rasa bencinya pada Karel semakin membara.

Lo bener bener lebih buruk dari binatang, Karel...,Batin Aldi geram.

"Apa Salsha tahu soal kondisinya?"tanya Aldi lagi.

Hasdi menghela napasnya, "Sepertinya belum. Usianya baru 2 minggu."

Mata cokelat Aldi kembali berlabuh ke atas bangkar itu. Hatinya teriris melihat sahabat tersayangnya terbaring disana. Apalagi setelah setahun terakhir, sosok lemah itu menduduki hatinya.

"Om, Tante. Ijinkan aku merawat Salsha."

Hasdi menggeleng, "Kami berterima kasih, tapi itu terlalu berat untuk kamu, Aldi."

Aldi menatap mata kedua orang didepannya, "Di saat aku jatuh sampai titik terendah aku sebagai seorang manusia, Salsha ada di hidup aku. Dia menolong aku yang saat itu bukan siapa siapanya. Aku janji, akan merawat dan menjaga Salsha selamanya. Om, Tante, Aldi mohon."

Hasdi dan Helen sama sama menumpahkan air matanya. Keduanya terharu dengan kesungguhan Aldi yang jelas terpancar dari mata anak itu.

******

"Sal, ayo turun,"ucap Aldi lembut ketika mobilnya sudah sampai di basement apartemen miliknya.

Salsha mengernyitkan dahinya, "Kenapa gue nggak balik ke rumah gue?"

"Mulai hari ini, lo tinggal sama gue. Gue yakin bisa ngembaliin keceriaan lo yang dulu,"jawab Aldi yakin.

Salsha tak menjawab, gadis itu kembali diam tak berkutik. Ia membiarkan Aldi menggandengnya turun dari mobil. Ia bagai orang tak bernyawa yang tak memiliki perasaan apapun.

Dari lobi hingga lantai penthouse Aldi berada, gadis itu tetap diam tak bersuara. Kulit wajahnya juga terlihat dingin dan pucat, sepucat mayat.

Gue nggak tahu harus gimana ngembaliin lo yang dulu...,Batin Aldi sedih.

Dari mereka turun dari mobil, Aldi tak henti hentinya membuka pembicaraan, namun gadis itu tak merespon apapun.

Sungguh, Aldi rindu dengan kebawelan Salsha yang selalu menjadi penyemangatnya.

******

Aldi tersenyum puas melihat hasil kerjanya. Setelah menghancurkan hampir dari setengah isi kulkasnya dan memporak porandakan dapurnya, ia berhasil membuat makanan kesukaan Salsha, chicken stew.

"Semoga dengan ini bisa nyenengin dia dikit,"harap Aldi seraya mengangkat nampan di meja. Kini di tangannya terdapat nampan berisi makanan, segelas air serta obat yang harus dikonsumsi Salsha.

Seraya membuka gagang pintu kamar Salsha, Aldi berusaha memasang senyum terbaiknya, "Sal ayo makan dul-"

Drakk

Secepat kilat Aldi menaruh nampan di tangannya ke atas meja dan menampik tangan Salsha yang memegang kaca. Rupanya gadis itu memecahkan vas bunga di nakas dan hendak menggunakan pecahan dari vas itu untuk melukai dirinya sendiri.

"Lo udah gila?!"sentak Aldi seraya mecekal tangan Salsha.

Salsha tak menjawab, ia hanya menarik tangannya yang dicekal Aldi dan memeluk tangannya sendiri. Bahunya bergetar, gadis itu mulai mengeluarkan butiran air matanya lagi.

Aldi menghela napasnya lirih melihat kondisi Salsha sekarang. Matanya menangkap punggung tangan Salsha yang memerah karena ditampiknya tadi. Aldi perlahan meraih tangan itu dengan lembut dan mulai meniupnya.

"Sakit ya? Maaf...,"ucap Aldi di sela sela aktifitasnya meniupi tangan Salsha.

Sama sekali tak ada jawaban dari Salsha, gadis itu hanya terus menangis tanpa suara. Setelah beberapa menit meniup tangan Salsha, Aldi melepas tangan gadis itu.

"Jangan pernah ngelukain diri lo sendiri lagi,"ucap Aldi tegas. Pria itu menghela napasnya lagi dan meraih nampan di atas meja yang ditaruhnya tadi.

"Sekarang, lo makan terus minum obat lo,"pinta Aldi sambil mengangkat sendok berisi chicken stew dan menyodorkannya ke Salsha.

Gadis itu menggeleng, menolak untuk makan. Ditepisnya tangan Aldi seraya beringsut menjauh. Namun Aldi tak menyerah, pria itu terus menyodorkan sendok hingga akhirnya gadis itu kesal.

Plakk

Sendok itu berhasil melayang ditampik Salsha. Kini karpet kamar Salsha ternoda oleh makanan di sendok tadi. Aldi menarik napasnya, berusaha meredam emosinya.

"Bentar ya, gue ambil sendok baru bentar,"ucap Aldi berusaha sabar. Diangkatnya lagi nampan dan beranjak keluar. Kemudian ia teringat, kamar ini masih penuh dengan pecahan kaca vas.

Ia menghela napasnya untuk yang kesekian kalinya dan berbalik. Diletakkannya nampan tadi di atas meja dan kembali mendekat ke Salsha.

Aldi tampak berpikir sebentar, kemudian langsung menggendong Salsha tanpa persetujuan Salsha, membuat gadis itu berteriak.

"Lepasiiin!! Ngapain sih!!"Gadis itu terus meronta dan memukul Aldi tanpa henti.

Begitu keduanya tiba diruang tamu, Aldi langsung mendudukkan Salsha di atas sofa. Jujur, pukulan dan cakaran Salsha itu menyakitkan. Kini punggnungnya terasa panas.

"Jangan kemana mana,"ucap Aldi tegas. Dikuncinya semua jendela dan pintu balkon. Bahkan ia mengganti passlock pintu apartemennya, mencegah Salsha kabur ketika ia akan berberes.

Salsha hanya diam dan menatap jendela dengan tatapan kosong sementara Aldi melangkah kembali ke kamar. Beberapa saat kemudian ia kembali dengan selimut tebal di tangannya.

"Lo disini bentar. Ini selimut jangan dilepas, ntar lo sakit kalau kedinginan,"ucapnya sembari membungkus tubuh Salsha yang semakin ringkih saja.

Salsha tetap diam, tak memberi respon apapun atas perhatian lembut Aldi. Sikap dingin Salsha sedikit membuat hati Aldi teriris, namun pemuda itu mengerti.

Gue pernah di posisi lo dan gue tahu rasanya,Batin Aldi berusaha menyabarkan dirinya sendiri.

Ia melangkah menuju kamar Salsha, bersiap membereskan semua kekacauan tadi sekaligus membasmi semua perabotan kaca disana.

Aldi kembali mendekati Salsha dengan nampan di tangannya,berisi chicken stew yang sudah dihangatkan kembali olehnya tadi.

"Sal, makan ya? Setidaknya buat..."Aldi terdiam ketika mata Salsha menatapnya tajam. Aldi tahu, ini bukan saat yang tepat membicarakan mahkluk yang tengah hidup di tubuh Salsha sekarang. "Buat Om Hasdi sama Tante Helen. Lo tega liat mereka sakit hati kalau tahu lo nggak mau makan?"

Salsha menatap Aldi dengan tatapan tajam kemudian menggerakkan bibirnya, "Kenapa lo peduli sama gue?"

"Ya karena-"

"Karena lo kasihan? Lo kasihan sama gue, cewek yang gagal nikah, diputusin dalam keadaan badan dua? Lo kasihan kan sama gue? Kalo gitu kenapa lo nggak biarin gue mati? Lo pasti sekarang jijik kan sama gue? Lo muak kan sama gue?"potong Salsha dengan histeris. Wajahnya sudah semakin kacau.

Aldi menghela napasnya, kemudian meletakkan nampan itu disebelahnya. Mata cokelatnya ia arahkan ke Salsha, menembus jiwa gadis itu.

"Tiga tahun lalu ada satu cowok, baru aja patah hati. Dia baru aja diputusin sama tunangannya yang ternyata cuman ngince uangnya selama ini, terus malem itu juga, dia dirampok sama preman jalanan."Aldi mulai bercerita tanpa memedulikan tatapan Salsha yang mulai berubah.

"Malem itu, cowok itu udah siap siap mau bunuh diri. Tapi, ada satu cewek entah dari mana, mereka nggak saling kenal, nyelametin dia,"Aldi tertawa sebentar sebelum kembali melanjutkan, "Pas itu, cewek itu ngomong gini; 'jangan bunuh diri, semuanya pasti baik baik saja.' Padahal, cewek itu nggak kenal si cowok."

"Malem itu juga, cewek itu bawa si cowok ke rumahnya. Lukanya diobatin, cowok itu juga dikasih kamar. Padahal, cewek itu nggak tahu kalau orang yang ditolongnya saat itu orang kaya. Tanpa minta imbalan dan apapun, 3 bulan penuh cewek itu nemenin si cowok. Kasih dia perhatian, ngehibur dia, bantu dia bangkit dari keterpurukannya."

Salsha merasakan air matanya mulai semakin deras. Ia jelas tahu siapa cewek dan cowok dalam kisah Aldi.

Aldi menggeser tubuhnya, menghadap ke arah Salsha. Tangannya terulur perlahan menyentuh pipi Salsha yang berurai air mata, "Sekarang...,cewek itu lagi sakit. Dan si cowok bersumpah dalam hatinya, akan bantu cewek itu apapun resikonya, gimanapun sulitnya."

Tanpa bisa berkata apapun lagi, Salsha menghambur ke pelukan Aldi dengan erat. Tangisannya pecah di dalam benaman tubuh Aldi.

******

Sejak malam itu, kondisi kejiwaan Salsha mulai membaik perlahan lahan. Gadis itu mulai mendapatkan kembali keceriannya. Ia mulai bisa menerima keadaannya, dibantu dengan Aldi disisinya.

"Lo akan tetep tinggal disini, dibawah pengawasan gue sampe lo bener bener sehat."

Itulah yang diucapkan Aldi ketika Salsha meminta pulang ke apartemennya sendiri. Setelah berdebat, bertengkar, dan bernegoisasi, akhirnya mereka mendapat jalan tengah.

Salsha akan tetap di penthouse Aldi, dengan Aldi tetap bekerja seperti biasa dan tidak harus menemani Salsha setiap saat.

Kehidupan seperti itulah yang dijalankan oleh keduanya saat ini. Terkadang Salsha berusaha menebak apa yang ada dipikiran sahabatnya itu hingga mau merawat wanita sepertinya.

Benarkah hanya sekadar balas budi?batin Salsha bertanya.

Sampai saat ini, ia tak menemukan jawabannya.

*****

"Baiklah, rapat sampai disini saja. Tingkatkan kinerja kalian, dan perusahaan pasti akan memberi profit yang sepantasnya,"ucap Aldi menutup rapat bulanan kali itu.

Semua karyawan ramai membereskan barang barangnya dan melangkah keluar dari ruangan. Hingga tersisalah Aldi dengan sekretaris pribadinya, Cassie.

"Erm, pak Aldi. Bapak malam in-"

Tring

"Sebentar ya, Cass. Saya ada pesan,"ucap Aldi memotong ucapan Cassie dan merogoh saku jasnya.

From : Salsha

Aldi, lo hari ini bisa pulang lebih cepet nggak? Ada yang mau gue omongin.

Membaca pesan singkat dari Salsha, Aldi merasakan jantungnya berdebar lebih cepat. Debaran senang, tentunya. Ditatapnya Cassie yang masih hendak mengatakan sesuatu.

"Cass, saya ada urusan. Kalau ada yang penting, cukup beritahu Bastian saja,"ucap Aldi tergesa gesa.

Ia tak sabar untuk sekedar pulang saat ini juga.

******

Piiip

Begitu bunyi tanda passlock cocok berbunyi, Aldi segera membuka pintu. Saking semangatnya, pintu itu terlepas dari genggamannya dan menabrak dinding dengan keras.

"Astaga, Di. Biasa aja kali buka pintunya,"protes Salsha karena kaget.

Aldi meringis, "Hehe, sori."

"Lo pengen banget ngegaji tukang pintu atau gimana sih,"gurau Salsha sambil tangannya tetap sibuk bekerja. Tampak diatas meja makan itu sudah terhidang makanan kesukaannya, steak.

"Lo masak ini sendiri?"tanya Aldi sambil menahan air liurnya yang hendak menetes.

"Ya iyalah. Gue nggak kebanyakan duit kayak lo,"jawabnya seraya bercanda.

Aldi terkekeh, "Lo mau ngomong apa sama gue?"

Salsha menghentikan aktivitasnya dan berbalik menatap Aldi. Gadis itu tersenyum tipis tampak yakin dengan apa yang hendak diucapkannya.

"Besok, gue balik ya?"

Aldi terkejut, "Kenapa? Gue kan udah bila-"

"Di, lo nggak liat apa? Perut gue udah tambah gede. Udah hampir 4 bulan. Lo mau digosipin yang enggak enggak sama tetangga lo?"potong Salsha sambil menatap Aldi.

Alih alih menjawab, Aldi malah menatap ke arah perut Salsha. Benar, tanpa terasa kandungan Salsha sudah menginjak hampir 4 bulan.

"Iya ya, perut lo udah tambah gede,"ucap Aldi datar.

Salsha tersenyum, "Iya, makan-"

"Salsha, kita nikah yuk."

Salsha terdiam begitu Aldi melontarkan pertanyaannya begitu saja. Pria itu masih berdiri dengan tegap, menatap salsha dengan tatapan teduhnya.

"Ald, lo gila? Gue ini hamil anak cowok lain, Aldi,"tekan Salsha seraya menatap Aldi tajam, seolah cowok itu baru saja melontarkan lelucon besar.

"Salsha, will you marry me?"Aldi mengulang pertanyaannya tanpa ragu.

"Aldi! Buka mata lo baik baik! Kalau lo nikah sama gue, lo bakal digunjingin orang! Gue ini udah bukan cewek murni! Gue udah disentuh sama Ka-"

"Gue tahu, Salsha. I know and I don't freakin care. Yang gue peduliin cuman jawaban lo. Salsha, will you marry me?"

Perkataaan Aldi membuat Salsha sungguh tak kuasa menahan haru. Ia sama sekali tak bisa menebak pikiran pria yang dikenalnya selama hampir 4 tahun terakhir ini.

"Aldi...,gue nggak sepantes itu buat lo. Gu-"

"Salsha, lo boleh nolak gue kalau karena kekurangan gue.Tapi kalau nggak, lo nggak boleh nolak. Salsha, lihat gue. Percaya sama gue, kalau gue bakalan bisa nerima lo, dan anak di kandungan lo. Will you trust me, Salshabilla Adriani?"

Salsha menatap Aldi dengan mata berkaca kaca, "Why me, Aldi?"

"Lo pernah nanya, kenapa gue sepeduli ini sama lo. Jawabannya, sejak lo adalah satu satunya orang yang ada disisi gue pas gue lagi ancur ancurnya, hati ini udah milik lo, sepenuhnya. So, trust me. Will you?"

Salsha mengangguk. Tak ada lagi keraguan tersisa di hatinya. Sudah cukup Aldi menunjukkan cintanya selama ini. Semua perhatian, cinta dan kasih sayang pria itu sudah menegaskannya.

Takdir, memang sengaja membawa mereka ke jurang luka.

Dan karena jurang luka itulah, mereka bisa bertemu.

Will you? -End-

.

.

.

.

Yaps! Cuman satu part emang gaes! Jadi panjang dan selesai.

Oke, ganyambung.

Bhai,

See yah!

Unique Relationship/Mind Blowing guys? Yang mana yang mau gue next malem ini? Koment yaps.

P.s: tenang aja, dua duanya bakal gue next. Tapi untuk malam ini, salah satu dulu yak.

Salam cumi,

Arvi (viannaz)

#OneShoot

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro