16. Enam Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Aku memilih untuk menghindari Will, padahal jelas-jelas menghindarinya sekarang sama sekali tidak akan mengubah apapun. Aku tetap akan menikah dengannya.

Persetujuanku tempo hari hanya butuh waktu dua jam untuk sampai pada telinga Tante Yoana dan Mama. Dan hanya butuh waktu satu minggu untuk mereka melancarkan kolaborasi super apik dalam merancang agenda lamaran resmi.

Karena tidak punya rencana untuk mendebat, aku setuju saja dengan semua masukan duo Mama yang super heboh itu. Termasuk setuju untuk melangsungkan pernikahan dua bulan setelah lamaran resmi digelar.

Will sudah berkali-kali mengajakku bertemu untuk memilih cincin, tapi aku terus menghindarinya. Entahlah apa yang terjadi denganku, aku pun tidak mengerti. Masa ABG labil saja aku tidak seperti ini.

Yang aku tahu pasti, aku benci bertemu Will.

Sialnya kenyataan itu tidak cukup untuk membuatku bisa menghindar dari agenda pernikahan dengannya. Jadi selagi masih ada waktu sebelum aku benar-benar terpenjara seumur hidup dengannya, biarlah kunikmati dulu kesendirian ini.

Sesekali sempat terpikir untuk membuat skenario untuk membatalkan pernikahan ini, tapi semua skenario yang sudah kususun berakhir dengan kekecewaan Mama. Ya, aku tidak bisa memikirkan cara elegan untuk membatalkan pernikahan ini tanpa membuat Mama kecewa.

Ah, andai saja Will bisa membantu dengan menarik kembali lamarannya ....

"Sori. Aku nggak punya pilihan lain."

"William!!!" aku buru-buru mengubah posisi tidur terlentangku dengan bangkit menuju pintu kamar yang baru saja dikuaknya. "Kamu pernah belajar sopan-santun nggak sih? Paling enggak kamu mestinya ketuk pintu dulu!"

"Dan membuat kamu menghindar lagi? Dengan cara ngumpet di kamar mandi berjam-jam seperti kemarin? Atau lompat dari jendela seperti minggu lalu?"

Sial! Dia mulai bisa membaca pikiranku.

"Mau apa ke sini?"

Alih-alih menjawab, William justru mempersilakan dirinya sendiri masuk ke dalam kamarku dan duduk seenaknya di bibir ranjang yang masih kusut karena belum kurapikan sejak bangun pagi. Tahu mengusir William tidak akan mudah karena Mama sedang memasang antenanya tinggi untuk memperhatikan kami, aku lantas menutup pintu kamar dan menarik kursi meja rias untuk diletakkan dengan posisi berhadapan dengan William.

"Karena kamu nggak pernah punya waktu, dan sepertinya nggak akan pernah menyempatkan waktu, aku pilih sendiri. Semoga kamu suka." William menyodorkan sebuah kotak perhiasan mungil dilapisi kain beludru berwarna merah maroon.

Aku bisa menduga isi kotak itu dengan sekali lihat. Cincin kawin. Memangnya apa lagi? Itu kan, alasan William begitu gencar menghubungiku belakangan ini.

Aku meraih pemberiannya dan memeriksa isi di dalam kotak mewah itu. Sebuah cincin emas bertahtakan permata dengan ukuran yang cukup menggiurkan, memanggil-manggil hasratku untuk menyematkannya pada jari manisku.

Niatku direalisasikan oleh Will. Dia meraih cincin dari dalam kotak itu dan menyematkannya dengan satu kali dorongan ke dalam jari manisku. Ajaib, cincin pemberiannya pas! Seolah-olah memang diciptakan untukku.

Jemariku refleks melambai gemulai ke udara hingga posisinya sejajar dengan mata.

Sebagaimana pun tidak sukanya aku kepada Will, aku tetap saja wanita yang mudah tergiur dengan perhiasan. Apalagi sebentuk perhiasan yang kelewat memukau seperti pemberian Will ini. Selera William ternyata sangat bagus. Desain cincin pilihannya sederhana namun berkelas.

Aku bisa menduga kantong William pasti terkoyak cukup dalam untuk membayar cincin mewah ini. Dia seharusnya tidak perlu menghambur-hamburkan uangnya untuk hal se-sepele ini.

Sibuk mengamati cincin, aku sampai tidak sadar kalau tangan William sudah menggamit ujung jemariku untuk didaratkan pada telapak tangannya yang lain.

"Sudah kuduga cincin ini akan sempurna tersemat di jarimu."

"Bukan karena cincinnya, tapi jariku memang lentik dan panjang, cocok untuk perhiasan jenis apapun."

William tertawa kecil mendengar pembelaanku. Matanya berbinar memandangi jemariku. Entahlah dia sedang mengagumi cincin pilihannya atau sedang mengagumi keindahan jemariku.

"Kamu nggak akan tahu betapa aku menginginkan pernikahan ini, Lena ...." Will bersuara pelan setelah beberapa saat jeda.

Pandangan matanya yang sedari tadi tertumpu pada jemariku yang berada di dalam genggamannya dialihkannya ke wajahku sebelum melanjutkan, "Tapi aku nggak bakal maksa kalau kamu nggak bersedia. Kamu berhak untuk menolak."

Wajah tampan William seharusnya bukan jadi alasan napasku tertahan barang sesaat setelah mendengar pengakuannya itu. Kalau bukan karena tampangnya ... apa mungkin karena tatapan matanya? Dia seperti sedang tersiksa. Tapi kenapa? Jangan bilang dia mulai meragukan pinangannya hanya karena aku lebih banyak menghindarinya belakangan ini. Jangan bilang dia merasa bersalah karena terkesan membuatku terpaksa menikahinya.

"Masih belum terlambat kalau kamu mau mundur," tambah William. Dan aku bisa merasakan sakit pada jantungku yang belum dipasok oksigen pasca mogok kerjanya hidung menarik napas. Keningku sampai berkedut memikirkan sensasi aneh ini.

Kenapa menghadapi William saja aku harus megap-megap begini?

Sementara Will menunggu respons dariku, suara dalam pikiranku berteriak "Horey!!! Ini kesempatan emas yang kamu tunggu-tunggu, Lena! Ini adalah cara paling elegan untuk membatalkan pernikahan ini tanpa membuat Mama kecewa! Kalau William sendiri yang memberi kesempatan untuk mundur, dia sendiri yang akan bertanggungjawab untuk menghadapi Mama kan? Ayo, segera keluarkan cincin sialan itu dari jari manismu dan lemparkan ke wajahnya!"

Kontras dengan suara dari kepala, suara dalam hatiku berkata lembut, "Untuk lelaki se-gentleman ini, apa lagi yang kamu ragukan, Lena? Nod your head and say yes!!! Kesempatan seperti ini tidak akan datang dua kali, Lena. Bahkan Roy, Haris atau Mas Tyo pun tidak akan bisa menandingi banyaknya cinta yang Will punya."

"What would you say?" tanya William setelah beberapa saat jeda.

Tatapanku masih terkunci dalam tatapan intens William. Tatapannya persis seperti selalu, menghanyutkan. Dan demi bola matanya yang menghipnotis itu, aku membuang satu-satunya kesempatan untuk membatalkan pernikahan ini. Aku mengangguk.

"Janji aja kamu nggak bakal bikin aku menyesali pernikahan ini," desisku. Antara sadar dan tidak sadar.

Senyum William mengembang lebar. Bibirnya kemudian didaratkan pada punggung tanganku yang masih setia diam dalam genggamannya, menghujani dengan kecupan hangat yang memberi efek kejut pada jantungku.

"I promise you, Lena. I will never let you down."

**

"Yipiiee, akhirnya salah satu di antara kita bakal ada yang pecah telor!!!" seru Naya heboh. Seheboh teriakan malam tahun baru.

Sementara Naya kegirangan, Siva malah bergidik, "Bukannya lo bilangnya nggak suka? Kok tiba-tiba malah udah mau nikah aja?"

"Bukannya lo berdua turut berjasa ngebuat gue setuju dengan ide gila ini!" dengkusku sebal.

"Tunggu-tunggu! Len, ini nggak kedengaran kayak elu deh," Siva meluruskan kebingungannya, "Lo adalah sosok perempuan yang selalu vokal dan keras kepala. Semua yang menjadi keinginan lo pasti lo perjuangin mati-matian."

"Nah trus?" sela Naya.

"Coba deh lo pikirin, Nay," Siva mengarahkan wajahnya pada Naya, meminta dukungan, "Lena adalah orang yang bakal berkeras mempertahankan Gery meskipun semua orang mati-matian bilang udahan aja. Lena juga nekat milih karir di broadcasting, sementara orangtuanya penginnya dia jadi dokter. Lena ... nggak seharusnya setuju pernikahan ini kalau memang dari dasar hatinya yang terdalam sebenarnya menolak," Siva melanjutkan analisanya, "Apa ini artinya, Lena ternyata juga suka sama William?"

"GILA AJAA!!!" protesku berlebihan. Tanganku sampai heboh melakukan gerakan mengipas-ngipas wajah, karena –entah kenapa—tiba-tiba rasanya menghangat.

Untung saja pembicaraan ini kami lakukan di ruang makan kediamanku, setelah menghabiskan tauco kepah masakan Mama. Kalau saja piring bekas tauco masih menyisakan bumbu, pasti sudah kuolesi ke mulut Siva yang dengan sembrononya membeberkan analisa abal-abal.

Naya yang tadinya tidak berpikiran sama dengan Siva, ikut terprovokasi, "Ehm, denial­-nya juga berlebihan banget. Gue jadi ikut curiga."

"Heh, nggak usah macem-macem deh. Kalau pun di dunia ini cuma tersisa satu William sebagai penghuninya, gue tetap nggak bakal milih dia jadi pasangan hidup gue!" koarku, seperti sedang membacakan proklamasi. Kuharap usaha ini cukup untuk meyakinkan dua sahabatku ini.

"Sementara di dunia ini masih banyak penghuni laki-laki aja, lo udah milih setuju sama William, Lena."

"Udah deh, hentikan omong-kosong lo. Cinta memang suka bikin orang jadi bodoh. Nggak nyangka aja kalo lo bodohnya bakal kebangetan gini."

"Jadi ternyata Lena selama ini cuma minta pendapat kita buat menegaskan kalau pilihannya nggak salah."

"Tauk tuh, caranya munafik banget! Untung aja gue ngga keburu nikung si William."

Kedua sahabatku sahut-menyahut seakan lupa atau sengaja melupakan mulutku yang sudah siap memberikan penyangkalan lainnya, "Gue nggak-"

"Udah, jangan lama-lama denial-nya. Nanti capek sendiri lho," pungkas Naya dan Siva. Bersamaan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro