18. Delapan Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Hanya karena dia pernah mengatakan kalau dia adalah laki-laki yang bertanggung jawab, tidak pernah menebar benih sembarangan, kupikir dia laki-laki baik-baik yang tidak pernah menyentuh bagian terlarang wanita dengan bagian terlarangnya. Nyatanya apa?

Dia mengatakan kalau dia tidak pernah menebar benih sembarangan hanya karena dia tidak pernah lupa memakai kondom setiap kali berhubungan intim dengan pacarnya.

Lalu apa katanya untuk membela diri?

"Aku hanya melakukannya atas dasar mau sama mau, itu pun dengan orang-orang yang benar-benar mengikat komitmen denganku. Aku nggak pernah jajan sembarangan. Kamu sendiri sudah bertemu dengan mereka kan? Mereka sudah bilang nggak ada yang kebobolan."

Gilanya ... dia memasang tampang lempeng tanpa rasa berdosa sedikit pun saat mengatakan semua itu.

Bagaimana tidak semua darahku mengucur ke ubun-ubun saat mendengar penjelasannya itu?

Penjelasannya itu ibarat kata sandi untuk menutup kembali keyakinan yang susah payah kuberikan semalam. Aku menyesal telah membuang satu-satunya kesempatan yang kupunya untuk menghentikan pernikahan ini. Sialnya, aku sudah kepalang terjebak di sini.

Will bahkan lebih buruk daripada Gery. Kalau Gery yang brengsek itu saja tidak pernah mau jujur tentang kenakalan burungnya yang suka pindah-pindah sangkar, eh, William malah terang-terangan mengakui kalau burungnya pernah singgah di sangkar yang tidak semestinya? Apa ini artinya aku akan berakhir sakit hati lagi karena dikhianati?

"Ingat alasan Mama menikahkanmu kan, Len? Supaya kamu nggak sendiri lagi kalaupun Mama dan Papa nggak bisa nemenin kamu di dunia ini lagi. Jadi tolong jangan ditunda-tunda untuk punya anak ya, Len." Mama berkata lembut saat menyambangi Villa tempatku menginap dengan William. Mama mungkin merasa perlu mengatakan ini karena tanpa sengaja melihatku tertidur di depan televisi tadi.

Bli Wayan yang tinggal di pavilion depan yang membukakan pintu ketika Mama dan Papa datang. Tanpa aba-aba, Mama menerjang masuk ke dalam rumah. Mendapati aku tidur di sofa, sementara William masih tertidur pulas di dalam kamar.

Ayolah, siapa juga yang bisa tidur nyenyak setelah merasa dibodohi oleh seperti ini?

William Gentong itu malah bisa tidur dengan pulasnya setelah memberitahu tentang aktivitas seksualnya dengan mantan pacarnya, sementara aku yang sudah letih maksimal jadi tidak bisa tidur karena membayangkan William berada dalam pelukan wanita lain.

Sialan!!!

Aku tidak tahu perasaan mana yang lebih mendominasi. Apakah kecewa karena Will ternyata tidak sebaik yang kukira, atau takut karena Will bisa saja membanding-bandingkan aku dengan perempuan lain dan berakhir meninggalkanku karena tidak puas, atau justru ... cemburu karena Will ternyata pernah dimiliki wanita lain?

Entahlah, aku sendiri belum cukup paham. Yang aku paham betul sekarang adalah betapa aku ingin marah semarah-marahnya pada Will.

"Mama? Kapan datangnya?" kaget William begitu dia keluar dari kamar tidur utama. Sebelum Mama menjawab, mata William sempat memindai sekitar dan sepertinya baru sadar kalau aku tidak menemaninya sepanjang malam karena memilih untuk membawa bantal dan selimut ke ruang santai.

"Baru aja. Mama sama Papa bawain kalian sarapan," jawab Mama mengurangi kecanggungan William, "Ke taman belakang gih, sarapan bareng Papa. Papa ada di sana."

Tanpa disuruh dua kali, William langsung menyeret kakinya menuju taman belakang. Melewati tubuhku tanpa menoleh atau merasa bersalah sedikit pun.

Aku tidak mengerti mengapa darahku mendidih melihat reaksinya yang melempem itu. Bukankah William memang selalu begitu? Tidak pernah memberi perhatian lebih kepada siapapun selain dirinya sendiri. Apa yang sedang kuharapkan? Menunggu William menghampiri, mengecup kening, mengucapkan selamat pagi dan meminta maaf? Mimpi saja terus, Lena!

Sejak memutuskan untuk setuju dengan pernikahan ini, aku yang paling sadar kalau aku akan berhadapan dengan robot yang tidak berperasaan!

"Masih hari pertama jadi suami-istri kamu udah main ngambek-ngambek sampai ninggalin William segala, gimana sih?" sungut Mama. Mama pasti mengamati wajahku yang semakin ketat pasca dicuekin William. Ya, aku seharusnya tahu kalau Mama sudah hidup bertahun-tahun denganku. Dia pasti bisa membaca sikapku dengan cepat.

"Lena kayaknya salah pilih suami," gerutuku sebal.

"Hush! Ngomong apa sih? Kamu tuh udah jadi istri, Lena. Harusnya kamu tinggalin semua sifat manja-manja kamu itu. Belajar mengalah. Sekesal-kesalnya Mama sama Papamu, pernah nggak kamu liat Mama sampai ninggalin Papa tidur sendiri? Enggak kan? Lagian, masalah sebesar apa sih yang bikin kamu sampai tega begini? Masih juga hari pertama jadi suami-istri. Jangan suka ngambekan gitu ah," Mama memulai kuliahnya.

Kalau saja William bukan lelaki pilihan Mama, aku pasti dengan senang hati membeberkan segala keburukannya di depan Mama. Hanya saja, mengingat Mama pasti kecewa dan sedih, semua aduanku kualihkan dengan sebuah dengkusan panjang.

"Awal-awal nikah itu mestinya jadi momen yang paling hangat, Lena. Ini suaminya keluar kamar, bukannya disambut senyuman atau secangkir kopi. Kamunya malah cemberut nggak karuan. William pasti sabar banget jadi orang. Percaya deh, pilihan Mama nggak pernah salah. Sama seperti Mama milih kamu pertama kali, perasaan Mama juga sama mantapnya waktu memilih William."

Malas menanggapi, aku memilih untuk melipat selimut yang sedari tadi menjadi teman tidurku. Untung aku masih bisa mengandalkan kehangatan selimut di tanah Ubud yang dingin ini, walaupun tidak ada kehangatan pelukan suami. Astaga, Lena!!! Kenapa aku kedengaran seperti orang yang sangat haus kehangatan, sekarang?

"Yasudah, baikan sana sama William. Papa biar Mama bawa pergi. Ingat ya, di Bali kerjaan kamu cuma honeymoon. Karena kamu tahu sendiri kan, abis dari sini William bakal langsung balik kerja ke Batam."

Tanpa menunggu tanggapan dariku, Mama langsung melipir ke taman belakang. Dari tempatku duduk, aku bisa melihat Mama berbasa-basi pada William. Ruang santai dan taman belakang memang hanya disekat dengan dinding kaca transparan. Aku jadi bisa melihat dengan jelas interaksi mereka.

Mama menggunakan alasan 'mau honeymoon kedua' dengan tawa dibuat-buat setelah pamit pada William. Papa yang kebingungan melihat gelagat Mama lebih memilih untuk mengikuti segala skenario yang disiapkan Mama. Jelas Papa takut menjadi korban repetan Mama kalau bersikap tidak kooperatif.

Sepeninggal Papa dan Mama yang kulepas dengan memberi kecupan di pipi kiri dan kanan mereka, aku menghampiri William yang baru saja menghabiskan potongan sandwich terakhir dari tangannya. Aku masih saja diam saat membidiknya dengan tatapan kesal saat William sedang menyesap teh dari cangkirnya.

Bisa ya, dia sarapan dengan santainya tanpa memikirkan perut istrinya yang sudah keroncongan? Bisa ya, dia sarapan dengan enaknya tanpa mengingat istrinya sedang melakukan aksi mogok tidur bareng, alih-alih merasa bersalah? Ini masih hari pertama jadi suami-istri lho, gimana kalau hal seperti ini terus belanjut entah sampai kapan?

Tanpa bisa membendung pikiran-pikiran yang bercokol di kepalaku, aku mulai memuntahkannya, "Aku heran kenapa bisa mempercayakan sisa hidupku dengan orang seperti kamu? Kamu bahkan nggak peduli aku di mana semalaman, kamu juga nggak peduli tentang isi perutku malah asik sarapan sendiri. Kamu bahkan nggak tahu kan aku lebih suka sarapan ditemani kopi, teh atau susu?"

Cangkir yang sedari tadi masih bertengger di depan mulut William tidak kunjung diletakkannya karena terlena dengan omelanku. Aku pasti salah saat melihat dia mengulum senyum. Dia benar-benar gila! Bisa-bisanya dia malah tersenyum di atas segala kekecewaanku? Memang hanya senyum sesaat, kurang dari satu detik, tapi tetap saja judulnya sedang menertawakanku kan? Fixed, aku salah pilih suami!

"Asal kamu tahu. Aku tidur di luar semalaman! Karena apa? Karena aku nggak bisa berhenti ngebayangin kamu tidur sama mantan-mantanmu itu. Dan asal kamu tahu juga, aku kelaparan berat sekarang. Tapi kupastikan aku nggak akan makan bareng kamu pagi ini, karena aku kesal sama kamu. Aku benci sama kamu!!!" aku sampai ngos-ngosan menyelesaikan repetanku karena tumpukan emosi yang meluap-luap.

Sebelum menanggapiku, William menyesap teh lagi dari cangkirnya, meletakkan cangkir itu kembali di atas piring kecil, lantas berdiri tepat di depanku. Aku harus mendongak untuk menyorot tajam matanya, menuntaskan sisa-sisa emosi lewat pancaran mata.

Entah pada detik ke berapa aku tidak ingat, tapi William tiba-tiba sudah melabuhkan bibirnya di atas bibirku. Bukan untuk mengecup. Tapi untuk menyuapkan cairan manis beraroma chamomile ke dalam mulutku. Dengan mulutnya.

Mataku masih terbelalak lebar saat wajah William sudah menjauh. Cairan manis itu pun masih tergenang di dalam mulutku. Aku kehilangan akal sehat sampai tidak tahu apa yang harus kulakukan dengan semua cairan yang memenuhi mulutku. Ini pasti karena sentuhan lembut bibir William. Siapa juga yang menyangka orang sedingin William punya bibir yang lembut dan hangat?

"Pertama, aku nggak tahu kamu tidur di luar semalaman. Aku pasti kecapekan dan nggak sadar waktu kamu keluar dari kamar. Kalau tidur di luar adalah bentuk protes karena tingkah brengsekku di masa lalu, aku pastikan kamu aku nggak bakal ngelakuin itu lagi. Aku sudah berjanji di hadapan Tuhan untuk setia sama kamu, seumur hidup. Kedua, aku masih makan satu potong roti, karena enggak enak sama Papa. Itu pun rasanya jadi hambar karena kepikiran kamu. Ketiga, aku tahu kamu lebih suka teh. Terutama yang chamomile. Tadi aku sudah tanya sama Papa."

Aku masih punya banyak kosakata untuk mendebat William kalau saja mulutku tidak dipenuhi oleh cairan. Ya, ini pasti karena teh yang baru saja disuapkan William, hingga aku hanya bisa mematung di depannya.

Perlahan ... aku pun menenggak cairan itu. Terasa hangat dan manis. Aku bisa merasakan sendiri bagaimana cairan itu berpindah dari mulut hingga pencernaanku.

Masih sibuk merasa-rasakan perjalanan teh ke dalam pencernaan, tahu-tahu tangan Will yang besar tiba-tiba sudah mendarat di kedua pipiku. Memberi kehangatan baru yang tadinya hanya memenuhi bagian perut, menjadi memenuhi wajah dan seluruh tubuhku.

Apa aku pernah bilang kalau warna mata William hitam legam? Beradu tatapan intens dengan pemilik mata selegam itu sangat berbahaya. Tidak butuh tenaga ekstra untuk William membuatku hanyut dan tenggelam dalam tatapannya.

"Aku minta maaf, Lena," lirih William. Sekali lagi bibirnya berlabuh di bibirku. Tidak untuk menyuapi minuman, tapi untuk mengecup. Mulai dari kecupan ringan, mulai mendesak, menuntut, dan berakhir saling berbalas.

Aku pernah tahu kalau mata William bisa menghipnotis, tapi aku tidak pernah tahu kalau sentuhannya lebih berbahaya. Adiktif. Aku ketagihan sentuhannya. Inginku memeriksa rongga dada untuk memastikan tidak terjadi keretakan karena kuatnya gedoran jantung dari dalamnya, tapi yang kupegang justru dada William.

Saat William memindahkan telapak tangan yang sedari tadi merangkum wajahku menuju pinggangku untuk ditariknya lembut hingga menabrakkan tubuh kami –tanpa melepas tautan bibir—aku malah mengalungkan tanganku di lehernya.

Saat bibir William mulai berpindah ke balik telingaku, aku bisa mendengarnya mendesah, "I want you, Lena."

Aku paham betul maksudnya.

Tapi aku tidak akan mengabulkannya semudah itu.

Kutarik tubuhku kuat untuk menjauh dari William. Kuletakkan kedua telapak tanganku di depan dadanya untuk mencegah tubuhnya kembali mendekat. Sulit sebenarnya, karena kegiatan barusan sepertinya berhasil membuat tubuhku menjadi bagian magnet yang saling tarik menarik dengan tubuh William. Tapi syukurlah, akal sehatku masih berkerja dengan baik. Aku harus memberi William pelajaran setelah berhasil membodohiku.

William mengangkat kedua alisnya sebagai isyarat bertanya tentang sikap penolakanku.

"No, Will. Kamu pantas dihukum karena udah bohongin aku," kataku jual mahal.

"Justru karena nggak ingin kamu merasa dibohongi, makanya aku bicara jujur, Lena."

"Sayang sekali kejujuran kamu justru bikin aku sakit hati. Aku merasa tertipu. Ternyata kamu sama aja kayak Gery."

William seperti sudah siap untuk mendebatku lagi, tapi yang terdengar hanya sebuah dengkusan pasrah, "Jadi aku mesti gimana untuk bikin kamu percaya?"

"Kenapa tanya aku? Pikirin sendiri dong!"

Saat aku membalikkan tubuhku menjauhi William, aku melihat satu ekspresi yang belum pernah Will tunjukkan sebelumnya melalui pantulan di dinding kaca. Ekspresi desperate sambil mengusap kasar wajahnya.

Dan harus kuakui, ekspresi sebal Will ternyata menggemaskan juga!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro