20. Dua Puluh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Am I hurting you?"

Kalimat pereda rasa sakit dari Will, yang disertainya dengan sebuah kecupan sayang dan dalam di keningku pada malam peraduan semalam masih berputar-putar terus di kepalaku. Mengalahkan rasa sakit pada selangkanganku.

Aku sudah kalah total.

Malam semalam seharusnya menjadi malam yang paling indah, manis dan memabukkan kalau saja sentuhan-sentuhan Will tidak disertai dengan suaranya yang sontak menyadarkanku dengan siapa aku sedang bercinta.

Semua terasa benar sejak awal. Sentuhan hangat dan hati-hati. Ciuman panas dan bergelora. Aku bahkan suka cara Will melucuti pakaianku yang jauh dari kesan tergesa-gesa. Dia seperti sedang melakukannya karena benar-benar menginginkanku, sama sekali bukan karena nafsu yang menggebu.

Aku masih merasa semuanya benar ketika ciuman Will merambat ke area-area sensitifku.

Semuanya mendadak terasa salah saat inti tubuh kami bersatu, disusul suara Will yang memberi efek serupa godam yang menghantam kepalaku kuat saat rintihanku disambut dengan pertanyaan prihatinnya, "Am I hurting you?"

Pertanyaan yang seharusnya terdengar manis, karena dia masih lebih mementingkan kenyamananku daripada kepuasannya sendiri. Tapi yang terjadi selanjutnya justru aku menangis. Aku mendadak sadar kalau aku sudah kalah total. Semua sentuhan Will berhasil menon-aktifkan kerja otakku sehingga perasaan mendominasi permainan. Aku begitu terlena dengan permainan yang disebut Will dengan "bahasa tubuh" hingga lupa kalau aku seharusnya menolak persetubuhan ini. Ini tidak benar.

Suara William-lah yang berhasil menghidupkan kembali kinerja otakku.

Aku mendadak sadar kalau William baru saja benar-benar berhasil menerobos satu-satunya pertahanan terakhirku. Bersamaan dengan darah segar menetes dari selangkanganku, air mataku semakin membanjir.

Sakit akibat selaput daraku yang koyak menjadi dua kali berlipat ganda karena perlakuan manis Will. Dia memilih untuk menurunkan egonya saat kudorong tubuhnya menjauh. Alih-alih membujuk, dia malah mendaratkan ciuman sekali lagi pada kelopak mataku yang sudah basah kuyup, "Sshhh ... kamu kenapa? Belum siap?"

Aku mengangguk, "...Jangan sekarang...."

Bukan belum siap. Aku sudah basah. Basah kuyup. Hanya saja ... aku masih tidak percaya aku akan melakukannya dengan Will. Astaga, Will?!

"It's okay, Lena. Aku nggak bakal maksa kalau kamu belum siap. Jangan nangis lagi ya ...."

Bahkan setelah pencampuran gagal itu, aku masih bisa merasakan sisa-sisa kemanisan sikap Will saat dia menggendong tubuhku yang hanya dilapisi selimut tipis ke ruang depan, membaringkanku pada sofa empuk di depan televisi, lantas kembali ke kamar untuk membereskan seprai yang sudah meninggalkan bercak darah segar. Setelahnya, Will menghilang di kamar mandi. Cukup lama –mungkin dia harus menurunkan tegangan tinggi pada tubuhnya lebih dulu—sampai akhirnya dia kembali menghampiriku lagi dengan menenteng sebuah bathrobe dan segelas coklat panas.

Coklat panas diletakkannya di atas meja, sementara bathrobe dipakaikannya pada tubuh telanjangku setelah menyibak selimut tipis yang sedari tadi berjasa menutupi tubuhku yang polos.

"Pakai ini dulu aja ya, biar nggak ribet," ujarnya saat mengikat tali bathrobe pada pinggangku. Setelah merasa kain berbahan flax itu melekat sempurna pada tubuhku, dia lantas meraih gelas coklat yang sebelumnya diletakkannya di atas meja, menyodorkan padaku, sambil berkata lembut, "Diminum dulu, selagi hangat."

Aku menurut begitu saja. Helloooow? Ke mana perginya Lena selalu merepet dan membantah?

"Masih sakit?" tanyanya sambil menerima gelas coklat yang baru kusesap sedikit, untuk kemudian diletakkannya kembali ke atas meja.

Aku mengangguk. Sama sekali tidak bisa bersuara.

Sakit pada selangkanganku sebenarnya sama sekali tidak ada apa-apanya dibanding dengan sakit pada hatiku. Perlakuan manis Will ... apa juga dilakukannya pada mantan-mantannya dulu?

Aku benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi denganku.

Semuanya serba salah.

Will mengusap rambutku pelan, "Istirahat di kamar aja ya, seprainya udah aku ganti baru."

Tanpa menunggu persetujuanku, sekali lagi Will menggendong tubuhku dalam pelukannya, membawaku kembali ke dalam kamar. Dalam pelukan Will ... nyaman. Bahkan tanpa parfum beraroma kayu dan citrusnya pun, bau tubuhnya sangat menenangkan. Aku menyerukkan kepalaku tenggelam dalam lekuk lehernya, mendapati deru napasnya tenang dan dalam.

Dia tidak berdebar-debar seperti aku.

Apakah dia benar-benar mencintaiku?

Pertanyaan itu menjadi sangat penting sekarang.

Bahkan sampai hari ini, saat mendapati helaan napas Will yang teratur dalam tidurnya di samping kananku, ada perasaan terhimpit di dalam dadaku. Aku takut. Takut kalau Will ternyata tidak benar-benar mencintaiku, sementara aku sepertinya sudah terlanjur memberi semuanya, termasuk hatiku ....

**

"JADI MAKSUDNYA LO NGGAK JADI ENA-ENA???" histeris Naya.

"Astaga, kasian banget Will ... nafsunya pasti udah di ubun-ubun banget tuh. Kenapa nggak dibiarin aja sih dia tuntasin dulu? Toh, udah jebol ini?" kontras dengan Naya yang seperti baru saja membuktikan diri kalau dia cocok menjadi orator dalam sebuah demonstrasi massal, Siva justru lebih menunjukkan wajah prihatin.

Seperti yang sudah diberitahu Mama tempo hari, Will langsung kembali ke Batam sepulang honeymoon dari Bali. Dia sempat singgah di Jakarta hanya untuk mengantarkanku ke apartemen tempat tinggalnya, yang akan menjadi tempat tinggal kami bersama mulai hari ini.

Baru saja Will pamit untuk kembali ke bandara, melanjutkan perjalanannya ke Batam, aku buru-buru menghubungi dua sahabatku untuk menginap di tempat baruku. Bukan karena takut tinggal sendirian. Tapi aku ingin membagikan sedikit beban yang rasanya begitu berat di pundakku. Aku tidak sanggup memikulnya sendiri.

"Masalahnya apa sih, Len?" desak Siva. Seperti tidak habis pikir dengan keputusanku yang menolak berhubungan dengan suami sendiri.

"Masalahnya dia William, guys ...." Setelah daritadi aku sanggup menceritakan semua kronologis honeymoon di Bali dengan suara tenang, kali ini aku tidak bisa lagi menahan getaran dalam suaraku. Tidak bisa menahan airmataku yang mendesak turun dari pelupuk mata. Tidak bisa mengendalikan sakit di hati, yang seperti ditusuk hingga menembus badan.

"EMANGNYA KENAPA DENGAN WILLIAM, LEN!?" Naya masih saja belum bisa mengembalikan tone suaranya kembali normal.

"Kalau Gery aja yang udah sepuluh tahun gue percaya bisa mengkhianati gue dengan menghamili perempuan lain, gimana ceritanya dengan William yang masih kenal gue dalam hitungan bulan? Terlebih ... gue udah punya pengalaman dikhianati William sewaktu kecil, kalau lo pada lupa. Gimana bisa gue nyerahin diri untuk disakiti sekali lagi? Gue juga punya hati! Hati gue masih rapuh. Gue nggak siap patah hati untuk kedua kalinya. Lo ngerti nggak sih?"

Naya dan Siva termangu mendengar penjelasanku. Mereka sepertinya mulai paham di mana letak kesalahan semua ini.

"Lena ...," Naya akhirnya berhasil menurunkan tone suaranya, satu tone lebih rendah daripada suara normalnya. Ditariknya aku ke dalam pelukannya dan berkata, "Dia nggak akan nikahin lo kalau cuma untuk mengkhianati Lena. Dia punya cukup banyak pilihan korban yang secara sukarela dikhianati asal bisa tidur sama Will, kalau memang itu niatnya. Nggak harus repot-repot milih lo dengan mengikat lo dalam pernikahan segala. Paham nggak lo?"

"Gimana kalau nanti dia tiba-tiba bilang kalau dia menyesali pernikahan ini?" isakku dari dalam dekapan Naya. Membalas pelukan Naya pun rasanya berat. Bisa-bisanya dia lebih memilih membela William daripada aku, sahabatnya sendiri? Jadi segera kuurai pelukan Naya, "Gimana kalau ternyata dia punya perempuan lain di Batam sana ... Perempuan yang bikin dia tega ninggalin gue tanpa pamit!"

"Astaga, lo terlalu parno, Len. Keparnoan lo justru bikin lo kehilangan moment lo sendiri. Bukan cuma William, tapi lo juga bakal menderita kalau lo begini terus ...."

"Gue ... gue cuma mau melindungi diri, Nay. Salah? Lo bisa bayangin nggak sih, gimana jadinya kalau gue terlanjur punya anak dari Will, sementara dia ternyata nggak bener-bener cinta sama gue. Dia ternyata pengkhianat yang sama seperti dia versi kecil. Gimana gue bisa menanggung beban seberat itu, Nay?"

"Gue ngerti sekarang ... Lo tahu apa masalahnya, Lena?" Siva yang daritadi memilih untuk diam, ternyata mempelajari situasi.

"Apa?" tanyaku lemah.

"Lo terlalu keras kepala untuk mengakui kalau lo juga cinta sama William. Dan lo tahu kenapa? Lo terlalu takut kehilangan dia."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro