22. Dua Puluh Dua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Sesuai saran Will, aku mulai menata ulang interior apartemen tempat tinggal kami. Tidak ada yang salah dengan desain yang dipilih Will selama ini, hanya saja terasa terlalu sederhana dan laki-laki. Masih perlu sentuhan tangan wanita yang membuat apartemen ini pantas disebut sebagai rumah tinggal sebuah keluarga baru.

Secara khusus, hari ini aku menempatkan perpustakaan mini pada salah satu sudut ruangan dengan memanfaatkan rak-rak unik hasil berburu dengan Naya di salah satu toko furniture yang sedang naik daun. Untuk menggantungnya di dinding, aku sudah meminta tolong pada Pak Hilman, supirnya Papa, tadi. Jadi sekarang tugasku tinggal menata ulang buku-bukuku dan juga milik Will ke dalam rak-rak cantik itu.

Sejak kepulangan William kembali ke Batam, dia benar-benar merealisasikan niatnya untuk menghubungiku setiap kali break. Setiap hari.

Suatu kali dia bahkan pernah melakukan video call yang tersambung dari malam hari sampai pagi subuh. Seingatku, aku tertidur di tengah-tengah obrolan saat itu, tapi Will tidak memutuskan sambungannya. Sikapnya yang sesederhana itu saja mampu membuat dadaku terasa penuh. Aku tidak bisa berhenti tersenyum sepanjang hari karena merasa Will menemani tidurku. Ya, pernikahan jarak jauh praktis membuatku lebih mudah tersentuh dengan perlakuan sederhananya. Melihat wajahnya saat pertama kali mataku melek saja rasanya begitu membahagiakan.

"Suka nggak sama desainnya?" Aku meletakkan tablet pada jarak yang mampu merangkum keseluruhan rak dalam satu frame.

Kulihat Will mengangguk-anggukkan kepalanya dari layar pipih itu, dia hanya mengenakan kaus polos berwarna putih, persis kaus dalaman yang sering digunakannya selama di Jakarta, "Suka-suka aja sih. Karena bahannya kayu, kesannya natural banget. Bagus."

"Syukur deh kalau kamu suka." Aku beralih ke tumpukan buku yang masih berserak di lantai, dengan tetap mempertahankan posisi tablet yang kuletakkan di atas sandaran sofa, sehingga Will masih bisa mengamati tingkahku. "Tadi aku baru jemput beberapa buku dari rumah Mama, dan kamu tahu nggak apa yang aku temuin?"

"Apa?"

"Tadaaa!!!" Aku menunjukkan sebuah novel dengan cover bergambar pesawat di depan layar tablet, "Ini buku critical eleven kamu yang aku bikin lecek di pesawat, Will. Inget nggak sih kamu?"

"Oh! Jadi double dong. Aku masih simpen yang punya kamu."

"Ini dia yang punya aku, postcard-nya juga masih ada." Aku mengeluarkan sebuah kartu dari lipatan buku critical eleven yang lain, yang kutemukan saat membongkar buku-buku Will. "Emang cowok baca buku begini juga ya?"

"Aku sebenarnya belum baca. Itu juga baru dikasih pas baru berangkat ke KL. Emang bukunya tentang apa sih?"

"Jadi istilah critical eleven itu sebenarnya istilah yang sering dipakai dalam penerbangan, gimana waktu sebelas menit sangat menentukan kesuksesan penerbangan. Nah, direlevansikan sama si penulis sama kehidupan nyata, gimana dalam suatu dalam suatu pertemuan kadang-kadang kesan selama sebelas menit, yaitu tujuh menit pertama dan tiga menit terakhir, itu penting banget. Jadi tokoh utamanya dipertemukan pertama kalinya juga di pesawat. Oh iya, tokoh utamanya juga tukang minyak, kayak kamu lho, Will."

"Oh." Will tampak acuh tak acuh.

"Emang novelnya dari siapa sih? Kok dia bisa sampai kepikiran buat ngasi kamu novel ini?"

"Dari Rahma, kenalan di pesawat. Kali aja dia ngasih buku itu karena ngerasa kisahnya mirip dengan pertemuan pertama kami." Sungguh aku hanya bertanya dalam konteks iseng, tapi aku sama sekali tidak menyangka jawabannya mampu membuat tubuhku kepanasan. Seperti terbakar.

"Tapi ini kisah suami-istri lho, Will!"

"Oh ya? Mungkin Rahma juga belum baca isi bukunya."

Tanpa sadar mataku mendelik, "Atau jangan-jangan dia ngasi kamu kode, kalau pertemuan di sebelas menit kalian di pesawat benar-benar berhasil memberi kesan buat dia?"

"Bisa jadi ...," Will masih sama cueknya dengan tadi, tapi kemudian dia berjengit, "Oh, bisa jadi! Dia nyebut aku Chris Evans KW waktu pertama kali ketemu!"

Tubuh kepanasanku seperti baru saja disiram bensin dengan perkataan William. "Rahma itu bukan perempuan yang bikin kamu patah hati sampai harus kabur ke Amrik kan, Will?"

**

Pembicaraan tentang Rahma menjadi topik utama setiap kali aku berhubungan dengan Will, akhir-akhir ini. Aku menanyakan banyak hal tentang perempuan itu, dan Will bisa menjawab semuanya. Membuatku tersadar betapa dia dekat dengan kenalan-nya itu. Will bilang perempuan itu sama sekali tidak pernah berjasa membuatnya patah hati, tapi kenapa Will sampai tahu seluk beluk kehidupan perempuan itu, coba?

Kenyataan tentang status perempuan itu yang ternyata seorang janda bahkan mampu membuat pikiranku membuat asumsi-asumsi sendiri. Seperti misalnya asumsi tentang usaha Will yang mencoba menutup-nutupi kenyataan kalau perempuan itu benar-benar perempuan yang membuat Will harus menyebrangi benua karena berhasil membuatnya patah hati dulu. Dan asumsi selanjutnya yang nyaris membuatku gila; bisa jadi sekarang Rahma yang sudah available itu mulai menggoda Will.

Demi suara seksi Tata Janeta yang membuatku makin kepanasan dengan lagu Sang Penggoda-nya, aku memutuskan untuk menjemput Will sendiri ke bandara hari ini. Dan tahu apa yang kutemukan?

William si Gentong yang biasanya cuek dan pelit bicara itu ... sedang tertawa-tawa di depan seorang perempuan cantik bernama Rahma. Ya, Rahma. Dia adalah orang yang menjadi topik hangat di antara aku dan Will sekarang.

Aku bisa membaca namanya dengan jelas dari badge yang dikalungkannya. Rahma Riama. Seorang pramugari cantik.

"Kenalin ini Lena, isteri saya," setelah sibuk tertawa, Will akhirnya ingat juga untuk memperkenalkan aku sebagai istrinya.

"Cantik. Seperti kata Mas."

MAS?! Kenapa pula Rahma-Rahma itu harus menyebut Will dengan panggilan Mas? Aku saja yang menyandang gelar sebagai istrinya hanya menyebut Will dengan nama depannya. Huh.

Berbeda dengan penampilanku dan dua orang mantan Will lainnya, Rahma sama sekali tidak punya lubang menawan di pipinya. Apa itu artinya lesung pipi ternyata bukan kriteria wanita idaman Will sesungguhnya?

Sibuk dengan pikiranku, aku sampai lupa membalas uluran tangan Rahma. Sikutan dari Williamlah yang berhasil membuatku sadar dan tidak lupa mengulas senyum paling manis saat menyebutkan namaku di depan wanita itu, "Marthalena."

"Senang ketemu sama Mbak."

Mbak? Apa aku terlihat setua itu hingga dia merasa perlu memanggilku dengan sebutan mbak?

"Oke deh, kalau gitu sampai ketemu lagi ya, Mas." Rahma menempelkan pipinya pada kedua belah pipi William sebelum bersiap-siap melakukan hal yang sama terhadapku. Namun sebelum dia benar-benar melakukannya, aku sudah berpaling dan melangkah menjauh.

Demi apa mereka sampai harus cipika-cipiki segala di depanku???

**

Sepanjang perjalanan dari bandara menuju apartemen, sengaja aku mengabaikan Will. Kalau dia cukup peka, dia seharusnya tahu kalau aku sedang marah. Kalau dia cukup bertanggung jawab, dia seharusnya membujukku supaya marahku reda.

"Kalau aku nggak inisiatif untuk jemput kamu hari ini, apa kamu bakal pulang bareng Rahma-Rahma itu?" tanpa bisa kutahan lagi, aku memulai investigasi setibanya kami di apartemen.

Will yang sudah berjalan dua langkah di depanku lantas memutar tubuhnya menghadapku, berpikir sejenak, lalu mengangguk, "Mungkin. Lagian searah."

Mendengkus, aku masuk ke pertanyaan selanjutnya, "Emang tiap kali ketemu kalian bakal cipika-cipiki begitu ya? Ketemu di mana, kok bisa tiba-tiba udah barengan aja?"

"Ketemu di bandara, sepuluh menit sebelum kamu tiba."

Aku tidak benar-benar tahu jawaban apa yang kuharapkan dari Will hingga semua jawaban pendeknya pun terdengar salah. Nyaris membuatku berteriak marah. Berusaha cuek, aku beralih ke dapur untuk menghangatkan sup yang sudah kumasak untuk makan malam Will, sambil bertanya lagi, "Ngobrolin apa sampai bisa bikin kamu cengengesan begitu?" Aku sebenarnya ingin terdengar santai. Semoga Will tidak merasakan nada ketusku.

"Kamu." Kudengar Will menjawab dari jarak dekat. Dia ternyata mengikuti langkahku dan sekarang memilih duduk di meja pantry.

Aku mendelik ke arahnya, "Aku? Kalian gosipin aku?"

"Bukan gosipin, cuma ngomongin apa adanya."

Sup yang kuhangatkan mulai menunjukkan tanda-tanda mendidih, namun aku terlalu sibuk untuk marah pada Will sampai lupa mematikan kompor. "Dengar ya Will, kamu ini sekarang seorang suami. Nggak pantas banget kamu pecicilan di depan perempuan lain begitu. Apalagi di saat aku nggak ada. Apa kata orang nanti? Dikira kamu selingkuh lagi. Apa jangan-jangan kamu emang-"

Cup!

Sebuah kecupan mendarat mendadak di pipi kananku berhasil membuat repetanku terputus.

"Terimakasih untuk sambutan selamat datangnya. Aku suka. Repetan kamu bikin aku ngerasa ini bukan mimpi. Aku beneran pulang. Kamu beneran rumahku...."

Deretan kalimat panjang yang sudah kususun di dalam kepala untuk dilontarkan dengan suara tinggi di depan Will mendadak terbang. Menengadahkan kepala, aku mencoba memanggil-manggil lagi semua kosakata yang beterbangan itu. Beberapa kosakata kembali, seperti; aku istrimu, aku berhak protes, dan kamu tidak boleh begitu.

Masih sibuk merangkai kembali semua kosakata itu untuk sekali lagi dilontarkan kepada Will, tiba-tiba semua kosakata itu hancur berkeping-keping. Hanya karena ciuman hangat Will di tengkukku, disusul pelukannya yang terasa semakin posesif.

"Kamu udah selesai? Aku masih pengin dengar kamu merepet."

Ada ya, orang yang senang direpeti? Walaupun tidak sedang melihat wajah Will, aku bisa merasakan hembusan napas pendek-pendeknya seperti sedang menahan tawa. "Aku serius marahnya, Will."

"Iya, aku tahu. Itu artinya kamu cemburu."

Cemburu? Yang benar saja! Jangan besar kepala gitu ya, Will!

Sekali lagi aku terlambat. Belum sempat aku menyuarakan protesku, William sudah mendahului, "Itu artinya kamu mulai sayang sama aku."

Sayang ...?

Will tidak tahu saja kalau aku sudah hampir gila karena perasaan aneh ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro