5. Lima

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Ini bukan kebetulan. Semesta pasti sedang berkonspirasi menciptakan kejadian yang kuanggap sebelumnya kebetulan ini.

Serentetan kebetulan yang aneh bin ajaib. Yang sialnya membuat pengalihan dari rasa sakit hatiku menjadi semakin mengenaskan. Bukannya dipertemukan dengan pria-pria potensial sebagai pengganti Gery, aku malah dipertemukan dengan trauma masa kecilku. Cih. Kurang sial apalagi aku?

Aku pasti terlalu berbaik hati memberi julukan Chris Evans KW untuk Will. Kalau saja kutahu dia adalah William Pratama, si Gentong yang mengkhianati kepercayaanku, mungkin aku lebih suka menyebutnya Pembawa Sial! Ah, mengingatnya saja sudah membuat darahku mendidih.

Aku ingat sudah pernah bersumpah untuk tidak pernah menganggap manusia dekil itu ada, nyatanya dia memang menghilang sejak kejadian itu. Demi apa aku harus bertemu dengannya lagi, dengan bentukannya yang sudah berubah total?

Aku menjambak rambutku sendiri tak habis pikir.

Dulu, limabelas tahun yang lalu. Bentuk Will lebih mirip karung beras daripada manusia. Badannya gempal dengan timbunan lemak di mana-mana. Perutnya bulat, betis dan lengannya berlipat, dagunya berlapis, pipinya pun tembam. Hobinya makan. Ya, jelas sudah darimana asalnya bentuk tubuhnya yang tidak enak dipandang itu. Makannya pun jorok. Mulutnya selalu cemong. Di giginya selalu menempel sisa coklat. Ueks, mengingatnya saja sudah membuat perutku mual.

Aku dipertemukan dengannya karena kerjasama Papa dengan Om Yudha -papa Will.

Waktu itu, Mama baru saja mengambil kuliah lagi untuk menjadi dokter spesialis kulit. Mama baru memutuskan untuk kuliah lagi setelah sekian lama karena mempertimbangkan kondisi ekonomi keluarga yang kian membaik. Karena jadwal kuliah Mama bentrok dengan jam kerja Papa, akhirnya Papa berinisiatif untuk membawaku serta ke tempat kerjanya. Kami memang tidak pernah punya pembantu di rumah. Mama dan Papa berkeras untuk mengurusku sendiri.

"Dapetin kamu itu anugrah banget buat kami, Lena. Kami nggak akan sembarangan menitipkan kamu," begitu kata Mama setiap kali kutanyakan alasannya.

Jadilah aku terbiasa mengikut Papa bekerja setiap kali pulang sekolah.

"Hallo, Lena ... udah pulang sekolah?" basa-basi Om Yudha ketika pertama kali aku masuk ke dalam ruang meeting bersama Papa.

Kantor Om Yudha berlokasi di sebuah ruko gandeng yang didesain sebagai rumah tinggal keluarganya juga. Kantor di lantai bawah, sementara rumah tinggal di lantai atas.

"Udah, Om," jawabku sopan.

"Sekolah di mana kamu, nak?"

"Di SD. St. Abba Capito, Om."

"Oh, barengan sama anak Om, dong. Tapi anak Om kayaknya lebih gede, dianya kelas enam sekarang. Kalau kamu kelas berapa?"

"Kelas empat, Om."

"Oh, masih sebaya kok. Kalau main pasti nyambung ya. Mau nggak main sama anak Om aja, biar kamunya nggak bosan nungguin Papa kerja ...."

Setelah menerima tawaran Om Yudha, aku digiringnya ke lantai dua, tempat tinggal keluarganya. Di situlah pertama kali bertemu dengan Will. Anak laki-laki bertubuh bongsor, pipinya yang tembam membuat matanya tampak lebih kecil dari seharusnya, gigi-giginya hitam dan membusuk, tapi semua atribut itu tidak serta-merta membuat tampangnya menyeramkan. Justru lucu.

Will kecil sebenarnya menyenangkan. Dia baik, selalu mengalah, suka membagi makanannya dan dia pun murah senyum. Aku suka berteman dengannya.

Selama urusan proyek Papa dan Om Yudha belum selesai, aku jadi akrab dengan Will.

Keakraban itu pun berlangsung sampai di sekolah. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menyapanya dan tetap akrab seperti di luar sekolahan. Tanpa kuketahui, Will di rumah tidaklah sama dengan Will di sekolah.

Will di sekolah adalah Will yang mengesalkan. Dia ketus, galak dan selalu berusaha menjauhiku. Padahal dia tidak punya teman sama sekali. Aneh!

Belakangan aku baru tahu kalau dia ternyata korban bully di sekolahan.

Aku mencoba menguatkannya setelah mengetahui kenyataan itu. Aku bahkan membagi rahasia terbesarku untuk membuat Will merasa tidak sendiri dalam ketidakberdayaannya. Semua orang punya rahasia kelam. Aku pun begitu. Will harus percaya diri lagi.

"Hei, jangan ganggu dia! Dia temanku!" kataku sok pahlawan saat tanpa sengaja menemukan Will di-bully di belakang sekolah oleh rombongan lelaki bertubuh besar. Entah apa yang sedang dipikirkan rombongan orang gila itu saat mereka sambil tertawa-tawa menggunting seragam sekolah Will hingga lipatan-lipatan lemaknya terpampang bebas.

"Jangan, Lena!" teriak Will saat melihatku. "Dia bukan temanku. Abaikan dia," pinta Will saat pandangannya beralih pada anak lelaki yang berlagak seperti ketua rombongan.

"Gimana tuh, katanya lo bukan temennya? Lagian, masa lo mau sih temenan sama galon air begini? Nggak takut kelelep?" ejek Rafa, si ketua rombongan -aku sempat melihat nama itu tertera di badge nama nya.

"HAHAHAHA ...." Rombongan lainnya menyambut dengan gelak tawa.

"Aku mau kalian hentikan itu sekarang juga, atau aku akan lapor pada guru!" ancamku. Aku sebenarnya sama takutnya dengan Will saat itu, jantungku sudah berdetak tidak karuan saking takutnya. Hanya saja rasa kesetiakawananku berhasil mengalahkan rasa takutku.

"Oh iya, lo mau lapor guru? Lo mau bilang apa sama guru? Gue kan cuma belajar keterampilan di sini. Will sebagai teman ngebantu dengan ngasi baju seragamnya untuk jadi alat eksperimen gue," sambung Rafa.

"Dia mau nyumbangin seragamnya buat eksperimen lo juga kali, bos!" celetuk salah seorang anak lelaki bertubuh kerdil.

"Oia? Gue bakal dengan senang hati aja sih. Bawa dia ke sini!" titah Rafa pada kacungnya.

Dua orang anak lelaki yang sedari tadi berdiri di balik punggung Rafa langsung berinisiatif untuk mendekatiku.

Satu langkah ...

Dua langkah ...

Tiga langkah ...

Sementara kakiku masih terpaku di tempat, ketakutan menguasai akal sehatku. Semuanya tiba-tiba menjadi gelap. Aku tidak bisa berpikir. Rasanya aku ingin kabur, tapi aku juga tidak tega meninggalkan Will sendirian.

Sementara langkah dua orang pengikut Rafa itu semakin mendekat aku bisa mendengar Will berkali-kali meneriakkan kata, "Lari, Lena! Lari!!!" tapi apa daya kakiku sendiri sudah bergetar hebat. Bergerak saja aku kesusahan.

Saat kedua orang kacung Rafa tinggal selangkah lagi untuk meraihku, tiba-tiba kudengar suara Will berteriak nyaring.

"Lena, pergi dari sini! Kita bukan teman! Aku nggak pernah sudi berteman dengan anak pungut keras kepala kayak kamu!!!"

Kata-kata Will cukup menohok. Mengiang berkali-kali di indra pendengaranku. Membuat desing di kepalaku yang memberi efek pening luar biasa.

Menambah dengung menyesakkan saat Will menambahkan, "Lena, kalau kamu keras kepala begini, aku nggak heran kenapa kedua orangtuamu membuangmu!"

Seketika mataku panas. Airmata luruh membasahi pipiku. Hatiku seperti dicubit rasanya, sakit. Aku bisa mengerti kalau Will mungkin sedang mencoba untuk membuatku kabur dari situasi menegangkan ini. Tapi tidak bisakah dia memikirkan cara lain selain dengan cara menyinggung rahasia terbesarku itu?

Rahasia bahwa aku tahu kalau aku hanyalah seorang anak pungut ....

Aku tidak pernah merasa se-kecewa ini sebagai anak angkat Papa dan Mama. Aku tahu banyak orang yang akan berpikir dua kali untuk menjadi temanku setelah tahu tentang asal-usulku yang tidak jelas, tapi seharusnya bukan Will. Dia kan sahabatku.

Aku kecewa. Aku marah. Aku sedih.

Dengan hentakan kaki kuat, aku berpaling meninggalkan sekumpulan pecundang itu dan berlari menjauh. Walaupun sesak masih memenuhi dadaku, aku masih mencoba memaklumi tindakan Will. Dia pasti terpaksa, karena takut aku menjadi korban Rafa selanjutnya. Maka aku memutuskan untuk melaporkan pada guru tentang kasus pem-bully-an Will.

Bahkan setelah aku melaporkan kejadian itu, Will tidak pernah datang berterimakasih. Dia seharusnya tahu kalau aku yang membuat laporan sehingga guru-guru menciduk kejahatan Rafa.

Aku semakin sedih. Aku menangis sendiri berhari-hari.

Kupikir, aku pasti bisa memaafkan kalau saja Will datang dan memohon maaf atas tindakan konyolnya waktu itu. Kupikir, Will akan datang dan mengatakan kalau dia tidak pernah bermaksud mengatakan apapun yang sudah dikatakannya. Kupikir, Will akan datang dengan setumpuk coklat sambil mengucapkan terimakasih atas bantuanku.

Tapi nyatanya, Will -dengan potongan rambut nyaris botak-datang sambil mengacungkan telunjuknya di hadapanku empat hari setelah kejadian itu.

"Aku nggak pernah ngerasa lebih menyedihkan daripada ini. Gara-gara kamu, bukan cuma baju, tapi rambutku juga digunting sama Rafa dan gengnya. Puas kamu, buat aku jadi menyedihkan begini??? Aku beneran nggak mau lagi temenan sama kamu, Lena! Kamu keras kepala!"

Seolah itu belum cukup menyiksa, sejak saat itu Rafa dan gengnya malah semakin gencar meneriakiku dengan sebutan 'anak pungut'. Satu sekolahan jadi tahu rahasia yang sudah lama kusimpan rapat.

Semua gara-gara Will.

Sekelebat ingatan itu otomatis terputar di benakku sambil menyusuri jalan setapak menuruni area hutan tropis untuk kembali ke resort. Sesekali airmataku tumpah tanpa bisa kukendalikan. Tidak sudi membuat orang seperti William menjadi alasanku bersedih, kuhapus cepat setiap kali sebulir air tumpah membasahi pipi dengan punggung tangan.

William sialan!

"Heh, kesambet apa kamu di telaga tadi? Kok bisa staminamu jadi full begini?" sindir Roy. Aku bahkan bisa berjalan lebih cepat dibanding dia sekarang.

Tapi aku memilih untuk mengabaikan sindirannya. Kepalaku masih terlalu penuh dengan ingatan menyakitkan itu.

"Lo tahu nggak sih, untuk sampai ke puncak tadi kita butuh waktu lebih dari setengah jam cuma gara-gara nyonya besar ini staminanya loyo. Ketahuan banget kesehariannya nggak pernah berkeringat," kekeh Roy, membeberkan informasi untuk mengolok-olokku bersama dengan Will.

Mendengar Will ikut mengeluarkan suara tawa samar, emosiku langsung memuncak. Apa orang itu sedang menertawakanku sekarang? Sialan! Apa tidak cukup dia membuatku menangis semasa kami kecil? Brengsek!

"Nggak usah sok tahu deh, Roy. Kenal aja baru satu malam, lagaknya kayak udah kenal bertahun-tahun aja!" gerutuku dari barisan depan. Sengaja tidak menengok pada kedua lelaki yang mengekoriku di belakang.

"Tapi dia nggak salah kan, Len? Dari kecil kan kamu paling malas diajakin main permainan yang bikin keringetan," imbuh Will.

Kakiku langsung berhenti melangkah. Nyaris membuat Will yang berjalan tepat di belakangku menabrak tubuhku. Di saat yang sama aku memutar tubuhku ke belakang, Will yang tidak menduga gerakan spontanku belum sempat melangkah mundur memberi jarak, sehingga jarak kami menjadi begitu dekat.

Aku mendongak saat menyorot matanya tajam, kusalurkan semua kebencian yang bersemayam dalam tubuhku melalui tatapan itu, "Nggak usah sok tahu tentang masa kecilku, Will," desisku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro