Bab 17: Perlawanan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tepat setelah Jungkook pergi, aku memutuskan kembali ke toko aksesoris tadi. Aku tidak bisa diam saja dan menunggu pulang untuk menceritakan hal ini pada Kak Jisoo. Mungkin, jika Kak Jinyoung tahu aku memergokinya dan jika aku memberikannya sedikit peringatan, ia akan berubah. Ia mau memutuskan hubungannya dengan gadis-gadis yang sudah ia kencani dan hanya fokus pada Kak Jisoo.

Belum sampai aku masuk ke dalam toko, keduanya sudah keluar duluan. Secepatnya, aku menghampiri Kak Jinyoung dan mencegat kedua kakinya untuk melangkah lebih jauh. Aku menghadang jalannya dan meminta waktunya untuk berbicara sebentar.

Tampak keterkejutan di mata Kak Jinyoung, namun itu tidak bertahan lama. Saat kami telah menemukan tempat yang cukup sepi untuk bicara, raut wajahnya berubah. Ia menyeringai dan menunjukkan posenya yang arogan.

"Kak Jinyoung! Kakak tega ngelakuin ini? Kakak nggak bisa ngelak lagi, aku udah lihat semuanya."

"Iya, terus? Aku sudah tahu kau membuntutiku dari tadi."

Aku terpancing emosi. Bahkan setelah dia tahu aku mengikuti pergerakannya, ia tetap berani bermesraan dengan gadis lain seolah-olah kehadiranku tidak ada pengaruhnya.

"Kakak nggak punya hati, ya!"

"Kalau iya?"

"Aku nggak rela Kak Jisoo melanjutkan hubungannya sama Kakak! Tadinya aku pikir, Kak Jinyoung bisa diajak bicara baik-baik. Tapi sepertinya aku salah."

"Terserah apa yang mau kaulakukan. Aku tidak peduli kau akan melaporkanku pada kakakmu. Toh, aku juga mau mengakhiri hubungan kami." Kak Jinyoung memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. Dengan ekspresi songong, ia mengatakan akan memutuskan hubungannya dengan Kak Jisoo. Enteng sekali.

"Berengsek," gumamku.

"Wow, wow. Aku tidak menyangka. Gadis lugu dan pendiam sepertimu, bisa berkata kasar juga."

Tatapan mata Kak Jinyoung begitu intens. Aku tidak melihat ada hal baik di dalamnya. Hingga sebelah tangan Kak Jinyoung terulur dan seakan ingin menerkamku. Saat itu juga, tangan lain menangkisnya.

"Jangan sentuh dia! Kalau kau sentuh satu inci pun, tidak akan kubiarkan kau pulang dalam keadaan baik-baik saja!"

"Ah, apa ini? Pasangan baru? Kau pacarnya, huh? Gadis membosankan ini punya pacar juga?"

Jung Jaehyun?! Bagaimana ia bisa tahu aku ada di sini?

"Jaga mulutmu, Sunbae. Aku masih menyimpan kesabaranku, jika tidak, aku benar-benar akan menghabisimu."

"Zaman sekarang, yang muda berani sekali ya melawan yang tua. Tidak ada sopan–santunnya."

"Berhenti mengomentari sikap orang lain, berkacalah pada dirimu sendiri. Tidak tahu malu," timpalku yang sudah merasa panas akan situasi. "Apa orang tua Kakak mengajari Kakak dengan baik? Apa mereka mendidik Kakak dengan baik? Aku kasihan pada mereka."

"Apa kau bilang barusan?!" Kak Jinyoung menatapku nyalang. Tidak seperti tadi, emosinya lebih memuncak ketika tanpa sengaja aku menyinggung soal orang tuanya. Sepertinya aku melakukan kesalahan yang fatal.

"Sohyun, sembunyi di belakangku." Jaehyun memajukan badannya, melindungiku dari Kak Jinyoung yang tampak makin menggila.

"Kau mau ikut campur? Sebaiknya kau pergi dan biarkan kami menyelesaikan urusan ini!"

"Kau pengecut, ya? Beraninya sama cewek. Lawan aku sebelum kau menyentuhnya!"

Jaehyun bodoh! Kenapa malah semakin menyalakan api yang seharusnya segera dipadamkan?

"Ck. Hei, kau! Gadis Cupu, dengar baik-baik! Aku memacari kakakkmu bukan karena aku suka padanya. Dia memang cantik, aku berterima kasih, berkatnya ... popularitasku semakin meningkat."

Aku mengepalkan tanganku erat. Jadi, selama ini, itu tujuannya? Dia tahu kakakku sangat terkenal di sekolah. Dan dia ingin memanfaatkan itu untuk meningkatkan ketenarannya sendiri? Keterlaluan! Tidak punya hati!

"Kau sungguh busuk! Aku menyesal telah membiarkanmu mendekati kakakku!" pekikku. Jaehyun masih menahanku di balik punggungnya agar aku tidak bergerak maju.

"Aku bisa lebih busuk lagi, Gadis Cupu. Kalau saja kakakkmu mau aku ajak tidur."

"Kau–"

Duagh. Terdengar suara benturan tulang yang begitu keras mencapai telingaku. Kulihat Kak Jinyoung tersungkur ke belakang dengan hidungnya yang sudah mimisan.

Tentu saja, itu perbuatan Jaehyun yang sudah lepas kendali. Aku akui, ucapan Jinyoung barusan sudah di luar batas. Cowok itu adalah cowok paling berengsek yang pernah aku temui! Ia pantas mendapatkan pukulan Jaehyun.

Kak Jinyoung bangkit. Ia mengelap bekas darah yang menetes dari hidungnya menggunakan punggung tangannya. Meskipun sudah dihajar, ekspresinya tidak menunjukkan kalau ia menyesal atau merasa kalah. Cowok itu tertawa lantang seolah mengeluarkan segala kekesalannya di sana.

"Aku terlalu menyepelekanmu. Aku tidak mengira kau akan memukulku begini," ujarnya masih sibuk menatapi cairan merah yang kini menodai telapak tangannya. "Sialan kau!"

Aku berteriak tertahan! Jinyoung membalas serangan Jaehyun secara tiba-tiba. Tepat di pipinya. Aku histeris. Tidak pernah aku melihat perkelahian secara langsung. Namun, ketika di depan mata kepalaku sendiri hal itu terjadi, rasanya aku diam mematung. Tidak bisa berbuat apa-apa selain gemetaran.

"Sejak awal, aku sudah memintamu untuk pulang. Bocah, tidak usah sok menjadi pahlawan."

"Oh, Sunbae. Pukulanmu boleh juga. Kukira kau akan selamanya menjadi pengecut dan bersembunyi di balik kedua orang tua–"

Buk. Lagi, Kak Jinyoung menyerang Jaehyun. Ia menendang perut Jaehyun sampai laki-laki itu tergeletak di bawahku. Napasku tercekat. Aku menghampiri Jaehyun yang terbatuk-batuk dan berusaha membantunya berdiri.

Ini tidak bisa dibiarkan, jika mereka terus berkelahi, bahaya!

"Hentikan!" Aku menyodorkan telapak tanganku ke depan, menandakan agar Kak Jinyoung berhenti berbuat kasar. "Kau cowok berengsek, tinggalkan kakakku. Pergi darinya jauh-jauh, jika kau mendekatinya, aku akan melaporkanmu pada Kak Jin."

Kak Jinyoung pasti tahu, bagaimana karakter kakak pertamaku itu. Mungkin dengan mengancamnya begini, dia mau mengalah.

"Laporkan saja. Aku penasaran, apakah banci itu benar-benar bisa membunuhku atau tidak," tantangnya.

Mataku membelalak. Selain bajingan, Park Jinyoung juga tipikal orang yang tidak tahu diri dan tidak tahu malu. Sudah tertangkap basah, ada saja ulahnya. Ia pikir, ia bisa lolos dari Kak Jin? Ia belum tahu sesadis apa kakakku itu.

"Akh!" Aku terpaksa berdiri. Jinyoung mencengekeram daguku, memaksa wajahku untuk menghadapnya.

Sekarang, aku baru tahu. Jika dilihat dari jarak yang dekat, Park Jinyoung memiliki beberapa bekas tindik di kedua telinganya. Sebuah tato terlihat mencuat dari balik lengan kemeja yang ia pakai, meskipun tidak seluruhnya.

Sorot matanya tajam seakan-akan ingin menghancurkanku. Kebencian, dendam, dan harga dirinya sudah tidak pada tempatnya. Ia menuntut atas kalimatku sebelumnya yang mengatakan bahwa orang tuanya tidak mendidiknya dengan benar.

"Bukan urusanmu, apakah orang tuaku mendidikku dengan benar atau tidak. Yang pasti, kau sudah membuatku marah. Kau harus mendapatkan akibatnya."

Mataku terpejam ketika Kak Jinyoung melayangkan tangannya. Hendak menampar wajahku. Satu–dua detik berlalu. Hingga, cengkeraman itu terlepas dari daguku dan seseorang menarikku dalam pelukannya.

"Sudah kubilang, jika kau mau menyentuhnya, lawan aku dulu, Bangsat!"

Saling pukul pun tak terelakkan. Satu tonjokkan mendarat di wajah Kak Jinyoung, maka akan ada satu tonjokkan pula yang mendarat di wajah Jaehyun. Mereka berdua saling membalas. Tidak ada yang mau mengalah. Mereka sama-sama kuat.

Namun, pada suatu ketika, kakiku merasa lemas. Aku nyaris jatuh di atas dua lututku begitu Kak Jinyoung mendapatkan tongkat besi—entah dari mana—lalu memukulkannya ke tubuh Jaehyun. Tubuh, kaki, bahkan wajahnya.

Aku ketakutan. Kakiku tak bisa melangkah, tetapi aku memaksanya. Harus! Aku pun sekuat tenaga melarikan diri, berteriak meminta tolong di antara lalu lalang orang.

Aku tahu, caraku ini akan berhasil. Karena, aku melihat dari kejauhan, Kak Jinyoung lari terbirit-birit dan membuang tongkat besi yang ia temukan.

Aku merasa lega dan cemas secara bersamaan. Aku mendekati Jaehyun untuk mengecek kondisinya. Parah. Mukanya babak belur. Ia mengerang, menahan rasa sakit—terutama yang menyerang kakinya.

"Jaehyun!" Aku meraih wajahnya. Ia semakin menyedihkan dengan luka-luka yang menghiasi hampir delapan puluh persen wajahnya. Lebam. Yang sebentar lagi aku yakin, akan membengkak.

"Apa kau baik-baik saja?"

Bodoh. Tentu saja Jaehyun kesakitan.

"Tidak. Tidak apa-apa, tapi ... kakiku ...."

"Jaehyun, kita ke rumah sakit, ya? Akan kupanggilkan taksi. Bertahanlah."

"Tidak usah." Jaehyun menahan lenganku. Dengan tatapannya yang memelas, ia memintaku untuk mengantarnya pulang saja. Aku bersikukuh menolak. Bagaimana bisa aku membiarkan tubuhnya yang kesakitan ini pulang tanpa diobati sedikit pun?

"Apa maksudmu tidak usah?! Lihat keadaanmu! Kau mau membuatku terus merasa bersalah?! Kalau saja kau tidak menolongku–"

"Antarkan aku pulang, Kim Sohyun." Jaehyun mengeratkan genggamannya di tanganku. Suaranya terdengar pasrah, membuat pertahananku runtuh dan aku merasa iba.

"Baiklah, kau menang, Jung Jaehyun. Sebagai ganti, aku akan mengobatimu di rumahmu."

***

Ah, bagaimana ini? Aku sudah membuat anak orang terluka. Akibat kecerobohanku, Jaehyun jadi seperti ini. Ketika aku memberikan kompres hangat di luka lebamnya, ia merintih. Setiap rintihannya melambangkan satu tusukan jarum di hatiku. Aku tak tega.


Aku tadi memapahnya setelah turun dari taksi. Aku tidak yakin bahwa Jaehyun selama ini tinggal di sebuah apartemen. Sebelum akhirnya cowok itu memintaku untuk menempelkan access card dari kantongnya pada platform magnet di sebelah pintu apartemennya. Dan benar saja, langsung terbuka.

Kamar apartemen cukup luas. Aku langsung merebahkan Jaehyun pada sofa di ruang tamu. Dan melakukan hal yang sudah aku janjikan—mengobatinya.

"Kenapa kau tadi tiba-tiba muncul? Mau jadi pahlawan kesiangan, huh?"

Jaehyun terkekeh di sela-sela rintihannya.

"Harusnya kau bilang terima kasih, Sohyun. Bukannya mengomeliku begini."

"Tentu saja aku berterima kasih! Tapi, bagaimana kalau kau mati di tangan Jinyoung?"

"Tidak akan. Sebenarnya, tadi itu memang aku sengaja mengalah darinya. Kalau saja aku memperkuat pertahananku, dia pasti yang tumbang."

"Kau masih bisa ya menyombongkan diri, padahal keadaanmu seperti ini?" Lagi, Jaehyun terkekeh. "Kau tidak tahu betapa khawatirnya aku, betapa takutnya aku saat kau terjatuh."

"Kalau saja aku tidak berteriak minta tolong, kau pasti sudah ...." Aku memilih tidak meneruskan kalimatku. Rasanya menyesakkan, membayangkan apa yang akan terjadi kalau aku tidak segera bertindak.

"Aku tahu," sahut Jaehyun dengan suara lemasnya. "Aku tahu kau akan mengkhawatirkanku. Terima kasih."

"Apa kau mengikutiku? Aku merasa aneh karena kau mendadak muncul."

"Ya ... lebih tepatnya, aku mengikuti orang yang mengikuti orang lain." Jaehyun sedikit bergurau memainkan kalimatnya.

"Kenapa? Kenapa kau mengikutiku?"

"Aku merasa ada yang tidak beres denganmu. Aku mencaritahunya dan aku melihatmu pergi bersama si anak band."

"Namanya Jungkook kalau kau lupa."

"Pokoknya anak itu. Lidahku tidak bisa mengeja namanya."

Aku mengulas senyum. "Syukurlah kita bisa lolos tadi. Aku sangat-sangat takut jika terjadi sesuatu padamu."

Sunyi. Kami menghentikan obrolan tanpa sebab. Aku fokus mengompres luka Jaehyun yang kini telah berubah warna menjadi ungu.

"Sohyun?"

"Hm?"

"Boleh aku meminjam pangkuanmu sebentar?"

"A–apa?"

Belum mengiyakan, Jaehyun sudah meletakkan kepalanya pada pangkuanku. Sofanya yang tidak terlalu panjang, tidak dapat menampung kakinya dengan pas sehingga membuat kedua kaki Jaehyun harus tertekuk. Ia mungkin merasa tidak nyaman. Tetapi, berbanding terbalik dari dugaanku. Jung Jaehyun justru tertidur pulas dalam waktu singkat.

Jaehyun, apa kau kurang tidur sampai-sampai kantung matamu menghitam?

Apa yang kau sembunyikan dariku?

***

Tbc

Siap untuk konflik selanjutnya?

Spoiler: Setelah ini, perasaan Sohyun akan diuji. Sohyun berusaha menemukan siapa orang yang benar-benar dia suka. Tentu saja, tidak semudah itu :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro