Bab 18 - Sebuah Permainan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bab 18

Seseorang yang menciptakan permainan akan jauh lebih besar kemungkinan untuk menjadi pemenang. Lalu jangan menjadi penantang atau selamanya akan terjebak dalam permainan tanpa tahu jalan ke luar.

Hallo. Gimana kabarnya?

Sorii telat, kemarin malam nggak ada kuota:)

Siap baca?

Oke sambil baca, bantu temuin typo, ya.

Langsung aja deh. Selamat membaca.


...

Sudah terhitung tiga hari sejak awal Pricille pindah di sekolah ini. Dia bisa berteman baik dengan Aleta dan Renata juga bisa membaur dengan geng Johan. Bisa dilihat seperti sekarang mereka sedang duduk di satu meja di kantin. Mereka semua terlihat bercengkrama sesekali tertawa.

“Jadi lo sama Johan udah lebih dulu kenal?” tanya Renata memasang wajah terkejutnya.

Pricille hanya mengangguk berbeda dengan Johan yang menjawab penuh antusias. “Iya dong.” Terselip nada kebanggaan dari caranya menjawab.

“Di mana, di mana?” tanya Renata yang semakin penasaran pasalnya sudah tiga hari Pricille di sekolah ini dan baru hari ini mereka semua mengetahui fakta ini.

Pricille baru hendak menjawab tetapi Johan sudah langsung menyambar. “Kepo banget lo. Rahasia, ya.” Johan mengedipkan matanya sebelah ke arah Pricille.

“Genit banget lo. Najis.” Sahut Aleta bergidik ngeri.

“Ciee cemburu,” goda Johan yang tepat berada di depan Aleta.

“Pede banget lo. Ish.”

Johan hanya terkekeh. Lalu dari kejauhan terlihat seorang laki-laki mengarah ke bangku mereka.

“Siapa tuh?” tanya Donny yang heboh.

“Manusia lah,” jawab Andi yang mendapat jitakan dari Donny.  “Gue juga tau aelah. Coba liat dia ngarah ke sini, tu tu,” ucap Donny yang semakin heboh.

Laki-laki yang sedari tadi di bicarakan oleh mereka sudah tiba di meja. Dia melirik Aleta lalu mengatakan, “sori Kak, gue bisa bicara sebentar?”

Aleta mengangguk lalu berdiri dan menjauh dari sana. “Kenapa?” tanya Aleta setelah mereka sudah lumayan jauh dari yang lainnya.

“Masih ingat gue, kan?” tanya laki-laki itu memastikan.

Aleta mengerutkan dahi, sejujurnya dia lupa tapi wajah laki-laki di hadapannya ini tidak asing. Ya, dia memang adik kelasnya tapi bukan berarti dia kenal semua adik kelas, kan?

“Gue Revan,” ujar laki-laki itu yang mengerti bahwa Aleta lupa pada dirinya.

Akhirnya lengkungan senyuman terukir di wajah Aleta. Kini dia ingat siapa adik kelas yang di hadapannya saat ini. “Sori gue baru ingat, ada apa?” tanya Aleta.

***

Selepas pembicaraan antara dirinya dan Revan, Aleta kembali ke tempat teman-temannya berada. Dia kembali bercengkrama dengan temannya. Selang beberapa menit bel masuk pun berbunyi.

Meskipun bel masuk sudah berbunyi dan semua siswa sudah berada dalam kelasnya masing-masing terutama kelas XII IPA 3 tapi, guru belum juga masuk ke dalam kelas. Semua siswa sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang bergosip, ada yang tidur di sudut ruangan dan ada yang bernyanyi seolah penyanyi papan atas menggunakan sapu.

Renata dan Pricille sedang membahas film, Aleta tak ikut dalam pembicaraan itu karena film yang mereka bicarakan belum Aleta tonton jadi, itu akan sangat membuat Aleta terperangah karena tak tahu alur dari film itu. Aleta lebih memilih memainkan benda pipihnya dan kebetulan ada pesan masuk yang belum dirinya baca. Akhirnya Aleta membuka pesan itu. Seketika sekujur tubuh Aleta menegang, tenggorokannya tercekat dan degup jantungnya pun mulai tak berirama. Pesan ini, pesan yang berasal dari private number benar-benar membuat dirinya memikirkan banyak hal termasuk perkataan Revan saat istirahat tadi.

“Woi, lo kenapa?” Aleta tersentak melihat Riki sudah duduk di bangku yang berada di depannya.

“Muka lo pucat banget,” kata Riki lagi.
Aleta hanya menarik napas dalam-dalam lalu mencoba tersenyum. “Nggak pa-pa.”

“Oh iya, gue kesini mau nawarin sesuatu,” ujar Riki.

“Apa?” tanya Aleta.

“Gue lihat di IG-nya anak-anak Pelita pada ngeheboin penampilan duet lo sama Johan waktu pelantikan anggota OSIS. Gue suka sama karakter suara lo, gimana kalau lo coba duet sama gue? Maksudnya gue nggak bisa nyanyi sih, tapi gue bisa main piano,” jelas Riki.

“Lo mau gue yang nyanyi dan lo yang main piano?” tanya Aleta.

“Yap seratus. Gimana?”

Aleta menggeleng cepat. “Nggak gue nggak mau.”

“Lah kenapa?”

“Gue nggak biasa nyanyi depan orang baru. Lagian gue kemaren cuma karena OSIS makanya gue mau.”

“Yah mau dong. Kita udah temenan, kan?” tanya Riki.

“Temenan bukan berarti apa yang lo pinta gue sanggupin dong,” jawab Aleta.

“Oke kalau gitu gue benar-benar minta tolong sama lo. Gue mau ikut lomba piano tapi syarat pendaftarannya gue harus kirim video gue lagi main piano. Gue kepikiran untuk ngiringin orang nyanyi soalnya kalau cuma suara piano doang takutnya nanti nggak menarik juri.” Riki menjelaskan dengan raut wajah yang benar-benar minta dikasihani.

“Gue pikir dulu, ya?”

“Oke. Gue harap lo mau bantu gue.”
Aleta mengangguk lalu Riki segera beranjak dari bangku yang ia duduki sebelumnya.

Aleta memikirkan perkataan Riki. Apa harus dia membantunya? Dia belum begitu mengenal laki-laki itu tapi, tak ada salahnya jika dia membantu. Hanya saja dia tidak terbiasa menyanyi di depan orang baru. Selama ini dia hanya bernyanyi didepan Oma, Renata dan Johan beserta dua pengekornya Andi dan Donny.

Selepas memikirkan hal itu, pikiran Aleta kembali kepada pesan yang beberapa menit lalu dia terima. Pesan itu benar-benar membuat dirinya gelisah. Dia harus menemui Revan saat jam pulang nanti mungkin apa yang Revan bicarakan pada saat jam istirahat tadi berkesinambungan dengan pesan ini.

***

Di sebuah ruangan dengan wangi mawar yang menyeruak hidung, seorang perempuan tengah duduk dengan santai menghadap jendela besar.

Tangannya terlihat tengah memutar-mutar benda pipih dan seringai muncul begitu saja di bibirnya. Semuanya sudah di mulai.

Perlahan dirinya mengetikkan pesan yang di tujukan untuk seseorang di sebrang sana. Dia sudah lama merangkai kata yang sangat tepat di memorinya dan hari ini rangkaian katanya sudah siap meluncur dalam bentuk notifikasi untuk seseorang yang di tujunya. Seseorang yang sangat ... Spesial.

Sebelum dirinya menekan tombol kirim, layar itu sudah menampilkan sebuah panggilan. Panggilan ini, panggilan yang sudah ia nantikan. Dengan cepat ia menerima panggilan tersebut.

“Hallo.”

“... ”

“Bagus.”

Dengan cepat pula ia memutuskan panggilan itu. Alisnya terangkat lalu dia berpikir sejenak. Ternyata semuanya sangat gampang. Semua rencana yang sudah ia susun rapi-rapi berjalan sesuai keinginannya. Terdengar embusan napas kebanggaan darinya.

Di lihatnya lagi layar ponsel yang menampilkan pesan beberapa menit lalu yang sudah ia ketik tapi belum terkirimkan. Rasanya tak sabar untuk mengirimkan pesan ini. Dirinya ikut penasaran bagaimana raut wajah seseorang saat menerima pesan ini. Seseorang yang sudah lama tak ia jumpai. Seseorang yang sudah lama ... ia rindukan.

Ingin berjumpa rasanya, tatap muka lalu berbincang seperti yang biasanya ia lakukan dahulu. Tapi sayang, dia harus sabar. Waktu menemui seseorang yang spesial harus benar-benar tepat dan secara spesial juga, bukan? 

Baik sudah cukup mengingat orang itu. Sekarang perlahan ibu jarinya menekan ikon kirim yang tertera di layar ponselnya. Berhasil. Pesannya berhasil terkirim.

Seringai kembali tercetak di bibir perempuan itu. “Mari kita mulai permainan. Kita lihat sejauh mana kau bisa bertahan lalu berjumpa lagi denganku,” gumamnya, “Ah, aku tidak sabar. Aku sangat merindukanmu, Al, ” katanya.

...

Salam sayang
NunikFitaloka








Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro