Bab 20 - Pilu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bab 20

Selamat membaca.

...

Seperti yang sudah tertera di pesan yang Aleta terima ketika di sekolah, kini Aleta tengah berdiri di sebuah taman yang dinamai taman sanjaya. Mata Aleta terus mencari sosok seseorang yang mungkin mengiriminya pesan. Dia tidak menjelaskan ciri-ciri yang memudahkan Aleta untuk mengenali. Sesekali Aleta melirik ponselnya mungkin ada petunjuk yang masuk melalui sebuah pesan lagi pikirnya.

Awalnya Aleta tak ingin kemari tapi mengingat pesan yang ia terima pertama kali ia mengubah niatnya. Orang yang mengiriminya pesan ini ada hubungan dengan sebuah kotak yang dia terima pada malam itu.

Kotak berwarna cokelat itu berisikan tiga buah foto yang begitu menyayat Aleta. Malam itu dunianya seakan ingin hancur. Napasnya terus saja memburu melihat setiap inchi dari foto itu. Foto yang bermakna namun menyisakan luka yang besar untuknya.

Foto pertama adalah foto dirinya yang tengah belajar bersepeda ketika sekitar umur empat tahun, ada Ayahnya yang memegangi di bagian kanan sepeda. Aleta ingat betul foto itu adalah hasil pengambilan gambar dari Ibunya yang diam-diam. Ibunya pernah menunjukkan foto ini dahulu sebelum akhirnya memutuskan untuk ... pergi.

Foto kedua adalah foto dirinya  yang tengah berada di gendongan Ibu. Di foto itu terlihat raut wajah Aleta yang sangat menggemaskan, matanya berkaca-kaca seperti menahan tangis sedangkan bibirnya mengkerut lucu. Aleta ingat foto ini adalah foto yang Oma ambil ketika dirinya hampir menangis karena di tinggalkan Ayah yang akan dinas ke luar kota.

Lalu, foto ketiga adalah foto dirinya, Ibu dan Ayah yang tengah duduk rapi di ruang tamu sembari meniup lilin angka lima bersama. Aleta kembali mengingat kejadian ini, memori yang paling sulit ia lupakan. Foto terakhir antara dirinya, Ibu dan Ayah. Setelahnya tak ada lagi foto antara mereka. Setelahnya keluarga kecilnya perlahan hancur. Setelahnya tidak pernah ada tiup lilin bertiga lagi. Setelahnya dia kehilangan dua manusia berharga di hidupnya.

Aleta menghapus air matanya yang ternyata sudah membasahi wajahnya kala mengingat lagi isi dari kotak cokelat itu. Ingatannya kini beralih pada pesan yang pertama kali ia terima dari nomor rahasia itu.

Private number

Bagaimana? Suka hadiahnya?
Jika suka nanti saya kasih kejutan yang jauh lebih istimewa, mau?

Dia menghela napas sesaat, waktu menerima pesan itu dia ingin menelpon nomor itu tapi nomor itu dengan cepat menjadi nomor yang tidak bisa di hubungi. Aleta mencoba melirik ke arah sekitarnya berharap ada petunjuk mengenai pengirim pesan ini.

Aleta menelusuri dari setiap sudut taman ini. Dia mencari tanpa petunjuk, tentu saja tidak akan membuahkan hasil sampai kapan pun. Berkali-kali ia mencoba menelepon nomor itu tapi tetap sama seperti kemarin nomor itu tetap tidak bisa di hubungi. Aleta meremas rambutnya frustasi ketika sudah hampir setengah jam berkeliling di taman ini. Apa yang diinginkan pengirim pesan rahasia ini? Untuk apa dia ingin Aleta kemari? Karena sampai sekarang pun Aleta tak menemukan apapun di taman ini.

Seketika Aleta kembali teringat ucapan Revan beberapa hari lalu saat menemuinya di kantin.

“Jadi, gue nggak sengaja lihat ada orang yang ngikutin lo kemarin,” kata Revan.

“Maksud lo?”

“Ada orang yang ngikutin lo sampai ke rumah. Gue nggak tau wajahnya, nggak jelas. Tapi gue curiga dia niat jahat. Sebaiknya lo lebih hati-hati,” ucap Revan memperingati.

Aleta termangu sesaat. “Makasih, ya,” jawab Aleta dan mendapat senyuman dari Revan dan detik berikutnya Revan sudah berlalu meninggalkannya.

Apa orang yang mengirim pesan ini benar berniat buruk akan dirinya? Aleta mulai berpikir untuk pergi dari taman ini tapi hatinya seperti tetap menahan. Dirinya harus tau siapa orang ini dan apa maksudnya.

Aleta melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul setengah lima lewat sepuluh menit. Langit sudah menampakkan gelapnya. Bukan karena malam akan tiba tapi karena hujan yang sepertinya akan jatuh ke bumi.

Aleta kembali berpikir, dirinya tak mungkin tetap berada di sini. Oma akan mengkhawatirkannya. Aleta berjalan bersiap meninggalkan taman ini.

Taman yang di penuhi dengan tanaman dan rumput yang menghijau ini masih cukup ramai meskipun mendung sudah ada di langit. Aleta hampir menabrak seseorang ketika terlalu buru-buru ingin meninggalkan taman ini.

“Maaf, maaf,” kata Aleta dan mendapat anggukan dari orang yang hampir saja dia tabrak.

Aleta berniat melanjutkan langkahnya tapi saat ia menoleh ke arah kirinya membuat langkahnya kembali terhenti. Matanya tak lepas dari apa yang dirinya lihat saat ini. Perlahan tubuh Aleta mulai gemetar. Dia benar-benar memastikan apa yang baru saja ia lihat tapi tetap sama, dirinya tidak salah lihat.

“Ibu,” lirih Aleta dengan bibir yang gemetar.

Tepat saat dirinya menyebut kata 'mama', wanita itu pun berlalu karena satu per satu rintik hujan mulai jatuh membasahi jagat raya ini. Wanita yang Aleta lihat berlari kecil seraya menutupi kepalanya dengan tangan bersama seorang laki-laki seusianya yang mendekapnya sambil terus berlari.

Hanya Aleta yang melihat sedangkan perempuan itu tak sama sekali menyadari keberadaannya. Aleta tidak salah lihat, perempuan itu benar-benar Ibunya. Ibu yang selama ini bersamanya, mendekapnya dalam kegelapan.

Namun laki-laki yang bersama ibunya tentu saja bukan Ayahnya. Mungkin dia suami baru dari sang Ibu. Rintik hujan kini mulai menjadi buliran-buliran besar yang mengguyur bumi. Hujan semakin deras. Semua orang yang berada di taman itu satu persatu mulai berlarian untuk pergi atau hanya mencari tempat berteduh sedangkan Aleta hanya memeluk dirinya sendiri yang terasa kaku. Derasnya hujan terus mengguyur tubuhnya hingga basah kuyup. Aleta ingin beranjak dari sana tapi kakinya terasa berat. Pikirannya masih dipenuhi bayangan Ibu beberapa menit lalu.

Di bawah derasnya hujan Aleta menumpahkan semua pertahanannya. Pertahanan yang sudah lama ia bangun, pertahanan yang selalu berhasil mengelabui semua orang, pertahanan itu kini berubah menjadi kehancuran pilu. Suara deras hujan pun mengalahkan suara isak Aleta. Demi apapun tak akan ada yang tahu dirinya tengah menangis sejadi-jadinya saat ini.

Aleta terus memeluk dirinya yang perlahan mulai merasakan dingin menusuk kulitnya. Bibir Aleta mulai bergetar. Kepalanya terasa pening. Rasanya ia sudah tak sanggup berdiri tapi untuk melangkah pergi pun juga tak bisa. Dia sudah sangat lemah.

Saat dirinya mulai pasrah dan membiarkan tubuhnya tumbang, dengan cepat lengan kokoh menahan tubuhnya. Aleta melihat siapa yang kini tengah menjadi penopangnya, kemudian dia tersenyum saat orang itu mendekapnya. “Riki,” lirih Aleta yang sudah berada di dekapan Riki.

Riki semakin mempererat dekapannya sedangkan Aleta hanya terkulai lemah di sana. “Thanks,” gumam Aleta yang semakin lemah.

Riki yang sadar dengan tubuh Aleta yang semakin memberat akhirnya membawa Aleta ke sebuah warung yang berada di sebrang taman.

“Buk, teh hangatnya satu, ya,” ucap Riki sembari mendudukkan Aleta di salah satu bangku yang ada di warung.

Ibu penjual warung itupun dengan cepat bergerak mengambilkan pesanan Riki. Posisi Aleta tak berubah, tetap berada di dekapan Riki hanya saja menjadi menyamping.

Mata Aleta sayu, dan bibirnya bergetar sedangkan wajahnya sudah seperti mayat. Pucat.

Ibu penjual warung pun datang tak lama dan membawakan secangkir teh yang masih menuai asap di udara beserta kain handuk. “Ini Nak, keringkan rambut temennya pakai handuk juga,” kata Ibu itu.

Riki mengambil teh dan handuk. “Terima kasih Bu,  pinjam dulu, ya,” kata Riki.

Kemudian Riki menegakkan badan Aleta yang masih bersandar di bahunya untuk meminumkannya teh hangat. Setelah meminum teh Riki juga bergerak mengeringkan rambut Aleta dengan handuk.

“Eh, nggak usah. Gue bisa sendiri kok,” kata Aleta dan terdengar masih sangat lemas.

“Gue aja nggak pa-pa, nanti lo pakai jaket di dalam mobil gue aja terus gue antar pulang,” jawab Riki yang masih terus mengeringkan rambut Aleta sedangkan Aleta hanya menurut lemah.

...

Salam sayang
NunikFitaloka







Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro