Bab 62 - I Want

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Halo.

Udah lama nggak jumpa hehe.

Kabar gimana? Selalu sehat, ya.

Udah siap dengan lanjutan kisah Aleta?

Yuk langsung simak.

Aku saranin bacanya sambil dengar lagu yang mellow biar masuk ke hati. Hm.

Selamat membaca.

**

Tetap saja, ini begitu menyakitkan. Berpisah hampir seumur hidup, lalu diberikan kesempatan bertemu sesaat dan kemudian hidup pun benar-benar berakhir.

Apa ini garis takdir yang sudah disepakati dengan Tuhan sebelum turun ke Bumi?

...

Secara bergantian air mata meluncur dari kelopak mata Aleta. Begitu pula dengan wanita paruh baya yang duduk di atas kursi roda itu.

Perlahan wanita itu berdiri dari kursi roda. Tatapannya terus tertuju kepada Aleta, tangannya bergetar meraih wajah Aleta.

Saat itu juga sesak semakin terasa, buliran air mata kini semakin deras mengaliri pipi Aleta. Aleta bisa merasakan sentuhan dari wanita yang baru saja Riki katakan adalah Ibu kandungnya.

Wanita paruh baya itu menangkup wajah Aleta dengan kedua telapak tangannya. Wajahnya sayu tapi terlihat bahagia. Sesekali tangannya mengelus rambut Aleta.

Aleta memejamkan matanya ketika ibu jari mulai meneliti bagian matanya lalu beralih ke setiap inci lekukan wajah.

Aleta mengembuskan napasnya, membuka mata dan mendapati sosok wanita paruh baya yang pucat, serta sendu tengah memandangnya dengan tatapan kerinduan, hancur, pilu menjadi satu dalam setiap buliran air mata.

Aleta memeluk wanita itu dan melepaskan semua tangisnya. Mereka saling memeluk melepaskan sesuatu di dalam diri yang terus perlahan menyayat dinding hati.

"Apa benar kalau ... Bunda adalah Ibu kandung Aleta?" Perkataan pertama kali yang Aleta keluarkan saat pelukan mereka sudah terlepas.

Dilihatnya wanita yang baru saja ia peluk mengangguk sambil menangis lagi. "Maafkan Bunda." Kemudian Aleta merasa tangannya digenggam erat.

Mengapa semua begitu berbelit? Sakit seolah datang bertubi tak ingin berhenti. Aleta mencoba tersenyum dalam pedihnya dan kembali memeluk Bunda-Ibu kandungnya.

"Aleta hanya ingin dengar alasan semua ini. Setelah itu Aleta akan pulang menemui Oma."

...

Aleta terpaku saat ingin membuka pagar rumahnya. Matanya kembali memanas mengingat semua alasan semua ini. Kebenaran ini membuatnya enggan untuk bertemu Oma.

"Lo nggak apa? Jangan sampai-"

"Gue nggak papa. Lo bisa pulang," ujar Aleta langsung memotong perkataan Johan.

"Oke. Tetap jaga kesehatan lo. Nanti kalau udah membaik hubungin gue, ya." Lalu Johan memutar motor dan pergi.

Tersisa Aleta yang masih terpaku berdiri di depan pagar. Kemudian ditariknya napas sekilas, menghapus air mata di sudut mata kirinya lalu perlahan membuka pagar dan masuk.

Langkahnya menghantarkan ke ruangan tamu dan mendapat sambutan dari Oma yang berjalan dari dapur. "Kamu kok tumben cepat pulang, Al? Kamu nge-drop lagi?" tanya Oma yang menghampiri Aleta sambil memegang tubuh Aleta dan menempelkan tangan ke kening Aleta. "Atau kamu demam?" tanya lagi.

"Kenapa muka kamu gini? Mata kamu sembab. Kamu habis nangis? Siapa yang buat kamu nangis? Johan mana?" Lagi-lagi Oma memberi pertanyaan bertubi-tubi.

"Oma," panggil Aleta dengan lirih.

"Ya?"

Aleta tidak menatap mata Arna. Dia menatap ke arah lain dengan tatapan kosong. "Oma nggak mau bilang sesuatu ke Aleta?" tanya Aleta.

"Ngomong sesuatu? Tentang?" Arna menurunkan tangannya lalu menatap Aleta dengan lekat. Raut wajahnya mulai berubah.

Aleta tersenyum getir. "Oma kenapa berubah gitu mukanya?"

Arna mengalihkan pandangan sambil menggeleng. "Kamu istirahat sebaiknya. Muka kamu udah mulai pucat, Al. Kamu capek, ya, makanya pulang?" Arna berjalan lebih dulu sebagai tanda untuk mengantarkan Aleta ke kamarnya.

"Apa yang Oma sembunyikan dari Aleta?" tanya Aleta yang langsung menghentikan langkah Arna.

"Tentang Bunda Tiyas, Alrifta, Papa dan Mama yang Aleta tau selama ini." Aleta kembali berujar. Namun Arna tetap belum bergerak dari posisinya yang membelakangi Aleta.

"Aleta udah tau semuanya. Aleta cuma mau dengar dari Oma sekarang. Kenapa Oma dengan tega misahin istri dari suaminya, anak dari ibunya, saudara dari saudaranya?" Kini air mata sudah membasahi wajah Aleta.

Dada Aleta seolah terhimpit ketika mengetahui kenyataan bahwa Oma yang selama ini bersamanya, menyayanginya adalah orang yang merenggut semua kebahagian dirinya.

Tiyas yang merupakan Ibu kandungnya sudah menjelaskan semuanya. Berawal dari Oma yang tak merestui pernikahan Papa dan Bunda. Sampai Aleta hadir di tengah keluarga kecil mereka, Oma memaksa Papa untuk menceraikan Bunda dengan ancaman Bunda akan mengakhiri hidupnya. Kemudian Oma tak mengizinkan Bunda membawa Aleta juga Alrifta, sampai akhirnya Bunda menempuh jalur hukum bahwa kami masing-masing dirawat Papa dan Bunda.

Arna mendekat. "Maafin Oma. Waktu itu Oma tidak tahu kalau Sarah wanita yang Oma pilihkan akan meninggalkan kamu. Oma tidak tahu kalau Bagas tidak pernah bisa mencintai Sarah dan justru berselingkuh dengan ibunya Revan. Maafin Oma, Al." Arna menangis sambil menatap iba ke arah Aleta.

"Kenapa selama Papa dan Mama Sarah pergi, Oma nggak pernah mencoba untuk jujur sama Aleta?" tanya Aleta.

"Oma nggak mau kamu benci Oma." Arna semakin terisak.

"Dengan seperti ini. Aleta justru semakin kecewa sama Oma. Aleta nggak bisa benci Oma karena selama ini Oma yang membesarkan Aleta. Tapi, Aleta tetap kecewa sama Oma. Oma tahu seberapa lama lagi Aleta bisa ada di Bumi? Aleta nggak punya banyak waktu, Oma," kata Aleta semakin sesak.

Arna menggeleng lalu meraih Aleta dalam pelukannya. "Maafin Oma, Al, maafin Oma yang udah merusak semua kebahagiaan kamu. Kamu pasti sembuh. Oma yakin."

Tak ada lagi kata yang keluar dari mulut Aleta. Dia kecewa begitu teramat, tapi omanya adalah satu-satunya yang bersamanya selama ini. Waktunya pun tak tahu berapa lama lagi. Penyakit itu terus menerus menggerogoti dirinya. Yang perlu ia lakukan adalah menata semuanya menjadi membaik sebelum ia benar-benar pergi.

***

Kemarin hari yang berat untuk Aleta, meski begitu perlahan ia sudah bisa menerima. Ia hanya meminta sebuah permintaan kecil dengan orang-orang yang ia sayangi.

Seperti; Papa bertemu Bunda, lalu bertemu Oma dan semua membaik. Menanti Alrifta bangun dari tidur panjangnya dan ... keluarganya menjadi utuh. Ah, ia melupakan Mama Sarah. Bagaimanapun juga Sarah sudah ada bersamanya selama 5 tahun dan dia banyak berterima kasih untuk itu.

"Lo udah baikan, kan?" tanya Johan yang berada di sampingnya.

Kini mereka tengah berada di sebuah tempat yang terbentang luas rumput hijau serta menampilkan pemandangan jingga, warna langit sebelum menjadi gelap. Mereka duduk di atas mobil yang mereka kendarai kemari.

"Meski awalnya terasa berat tapi akhirnya membahagiakan." Aleta tersenyum sambil menoleh Johan.

"Lo berhak bahagia," jawab Johan membalas senyum Aleta.

"Malam nanti, sebentar lagi. Semua kebahagiaan gue akan lengkap, Han. Kebahagiaan yang selalu gue impikan." Aleta menatap lurus ke depan. Mengingat malam ini dia akan bertemu dengan Bunda, Papa dan omanya. Makan malam sederhana yang sudah lama ia nantikan.

"Eh iya, lo tahu semuanya dari kapan? Termasuk Riki yang anak angkat Bunda?" tanya Aleta kembali menoleh ke arah laki-laki itu.

"Waktu lo belum sadar dari koma. Riki sempat datang dia cerita semuanya. Dia sengaja pindah ke Pelita hanya untuk jagain lo."

Aleta mengangguk paham. "Selain itu, apa lagi yang Riki bilang?"

Johan tampak berpikir lalu memandang Aleta lekat. "Riki bilang lo cinta gue," kata Johan.

Aleta tersenyum sekilas. "Terus lo percaya?" tanya Aleta dengan kekehan.

"Hm."

Aleta mengangguk sambil tersenyum lagi. "Terus apa lagi?"

"Dia bilang, meski udah putus lo gak bisa move on. Lo sayang gue, cinta gue, dan segalanya."

"Dia juga bilang, kalau gue ngajak lo balikan lo pasti mau," tambah Johan.

"Dih, pede sekali." Aleta terkekeh.

"Masih ada lagi?" tanya Aleta lagi.

"Dia bilang ... Lo nggak punya waktu banyak dan gue harus bisa gunain waktu itu untuk bahagiain lo. Selalu ada di sisi lo." Perkataan Johan membuat mata Aleta memanas seketika. Johan sudah tahu rupanya.

"Terus lo jawab apa?"

Johan mengubah posisi tubuhnya menghadap Aleta seutuhnya. Menatap gadis itu dengan lekat. "Gue jawab, Aleta sosok yang kuat. Waktu dia masih banyak di bumi dan gue selamanya akan selalu di samping dia."

Penglihatan Aleta kini sudah buram, air mata siap untuk tumpah begitu saja. "Gue kanker otak dan udah mau stadium akhir," kata Aleta menahan perih yang menjalar di seluruh tubuhnya.

"Gue tau. Ini juga, kan, alasan lo minta putus?" jawab Johan.

"Maaf," lirih Aleta.

"Boleh sih kalau mau di maafin. Janji satu hal sama gue," timpal Johan.

"Janji untuk sembuh dan selamanya ada sama gue." Johan mengacungkan jari kelingkingnya di hadapan Aleta.

Detik itu juga air mata lolos dari kelopak mata Aleta. Johan beralih memeluknya. Mengusap rambut gadis yang memenuhi setiap sudut ruang di hatinya.

Aleta pun membalas pelukan itu. "Jangan berharap lebih dengan penyakit gue," kata Aleta dan seketika pelukan menjadi semakin erat. Johan memeluknya seolah gadis di dalam pelukannya ini akan pergi besok. Selamanya.

"Lo mau dengar sesuatu?" tanya Aleta di sela tangisan dan pelukannya.

Johan ikut menangis. "Apa?" tanyanya dengan suara seraknya.

"Gue akan selalu sayang lo. Kemarin, sekarang, dan seterusnya. Gue cinta lo Johan. Gue ingin buat kenangan indah sama lo sebelum gue pergi. Gue ingin saat gue pergi yang lo ingat cuma bahagia kita. Bukan sakitnya perpisahan. Lo bersedia, kan?" tanya Aleta.

"Gue ... gue...." Johan tak melanjutkan perkataannya lagi. Dia hanya memeluk erat Aleta. Mencium aroma rambut yang entah sewaktu bisa saja lenyap dari penciumannya. Merasakan setiap getaran, sakit, perih, pilu yang bercampur satu dalam emosi mereka. Berharap terus dalam hati bahwa Tuhan memberikan satu tiket permintaan yang langsung dikabulkan.

...

Salam Sayang
NunikFitaloka❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro