Aku Melihatnya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aruna melihat Rilla berjalan menghampirinya sambil tersenyum, ya dia memang memesona, menarik mata dari awal melihatnya, tapi dia tidak benar-benar bisa disentuh dan dirasakan.

“Sudah lama Na?” Rilla duduk di samping Aruna dan mulai membuka buku menu.

“Kok diam Na, kita sangat jarang punya waktu berdua saja tanpa Biru dan Cara."

“Kita punya banyak waktu sebenarnya, bila kamu mau memperhatikan. Tapi kamu sibuk dengan duniamu saja.” Rilla menatap Aruna tak suka.

“Ayo kita menikah,” lanjut Aruna  membuat Rilla terbelalak.

“Na, jangan main-main,” tepis Rilla.

“Aku serius La.” Dan Aruna berlutut di depan Rilla, bertumpu pada satu lututnya, memegang tangan Rilla.

“Ayo kita menikah,” ulang Aruna.

Rilla menatap Aruna tak percaya dan berdiam diri.

Cara melihatnya, melihat Aruna berlutut di depan Rilla, dan tanpa harus mendengar apa yang diucapkan Aruna, Cara tahu apa yang terjadi. Cara menutup matanya, menahan isak dan berbalik. Seseorang memeluknya, menyembunyikan wajah Cara di dadanya.

“Aku ingin pulang,” kata Cara disela isaknya.

“Iya, kita pulang.” Biru membimbing Cara meninggalkan tempat itu. Tapi sebelumnya Biru masih sempat menoleh sekali lagi ke arah Aruna dan Rilla.

"Jadi ini pilihanmu Na," batin Biru.

Sedang Aruna masih berlutut di depan Rilla menunggu jawaban.

“Aku belum siap Na, aku masih dua puluh lima tahun, dan aku masih akan memulai karirku, bahkan masih besok aku mulai bekerja. Aku tidak bisa menikah sekarang Na, perjalananku masih jauh dari mimpiku,” papar Rilla.

“Inilah La, yang membuat kita tak pernah punya waktu, karena kamu sibuk mengejar mimpimu sendiri. Sendirian, tak ingin kutemani dalam perjalanan itu. Kamu egois La, kamu tidak pernah mau tahu pendapatku, mauku. Jadi kenapa enam tahun itu harus bertahan bila kamu ternyata masih seperti ini. Kita menikah atau kita berpisah disini, sekarang.” Aruna bangkit dan duduk di samping Rilla yang menatapnya tidak percaya.

“Maaf Na, aku tidak bisa.” Rilla menunduk dan menghela nafasnya.

“Jadi kita berpisah La, terima kasih untuk selama ini, apapun itu, dan aku berharap kita masih bisa berteman,” kata Aruna disambut anggukan kepala Rilla. Rilla bangkit meningalkannya.

Aruna menatap kepergian Rilla dengan pedih. "Maafkan aku La," batin Aruna.

“Ca, mau ditemeni?” Biru berdiri di depan pintu kamar Cara, dan Cara mengeleng lemah, terduduk di tempat tidur.

“Kalau begitu aku pergi sebentar. Dan jangan melakukan hal-hal yang tidak berguna,” ancam Biru seraya menutup pintu kamar Cara.

Biru memacu mobilnya, berharap Aruna dan Rilla masih di tempat tadi. Begitu memarkir mobilnya, Biru berlari-lari ke atas, terengah-engah didapatinya Aruna masih duduk di sana, menyesap lemon tea kesukaannya, sendirian tanpa Rilla.

“Na,” sapa Biru membuat Aruna mendongak.

“Kamu kenapa Bi, seperti dikejar setan"

“Rilla mana?”

“Kok tahu tadi Rilla di sini?”

“Gak penting, sekarang mana Rilla,”

“Mana aku tahu, dia meninggalkanku setelah menolak lamaranku,” jawab Aruna membuat Biru kaget.

“Apa?" Biru duduk di samping Aruna.

“Aku melamarnya, dan dia menolakku, kamu tahu kan Bi, Rilla sangat takut kehilangan mimpinya. Jadi kuputuskan melamarnya, karena aku tahu dia akan memilih berpisah daripada menikah di usianya sekarang. Ini cara berpisah darinya tanpa menyakitinya kan?” Kata-kata Aruna membuat Biru terhenyak.

“Tapi Cara melihatmu berlutut di depan Rilla.”

“Apa?” Aruna kaget.

“Dan dia berpikir kamu melamar Rilla.”

“Dimana dia sekarang?” Aruna berdiri.

“Di kamarnya, kamu mau apa?” Tapi Aruna sudah berlari meninggalkannya.

BIru melihat ke jendela di sampingnya, dan melihat motor Aruna keluar dari oarkiran. Kemudian terdengar de it keras dan benda bertumbukan. Membuat Biru berdiri dan berlari keluar. Karena matanya melihat Aruna terlempar. Begitu tiba di tempat kejadian, orang-orang sudah berkerumun. Aruna tergeletak tak sadarkan diri beberapa meter dari motornya. Biru mengambil handphonenya dan menekan emergency call.

“Tolong minggir semuanya. Iya halo, ada kecelakaan di jalan Patimura, mohon kirim ambulan sekarang." Biru memasukkan handphonenya ke saku dan mulai melihat keadaan Aruna., dia meraba pergelangan tangan Aruna memastikan masih ada denyut.

Begitu ambulan tiba bersamaan dengan polisi, Biru mengkonfirmasi dan menyerahkan segala urusan pada polisi lalu naik ke ambulan. Tim medis menangani Aruna. Biru mencoba menghubungi Rilla, tapi tidak bisa, nomer Rilla tidak aktif. Berkali-kali dicobanya, tapi hasilnya sama saja.

Cara masih terduduk di tempat tidurnya, masih terbayang di matanya adegan Aruna berlutut di depan Rillam sungguh sebenarnya dia sudah menyiapkan hatinya untuk melihat adegan seperti itu kelak, suatu saat adegan itu pasti terjadi. Tapi saat adegan itu benar-benar terjadi ternyata dia tak setegaryang selama ini dia banggakan. Hatinya rapuh. Dering handphonenya membuat Cara tersadar, Biru.

“Ca, Aruna kecelakaan, sekarang di RS Persada. Aku serius.” suara Biru serius dan ditekankan. Membuat Cara melempar handphonenya, menyambar tasnya dan berlari keluar mencari taksi.

Rilla duduk di balkon apartemennya, masih mengingat percakapannya dengan Aruna tadi, dia masih tidak bisa mengakui semua yang dikatakan Aruna itu benar. Rilla menghela nafasnya dan berusaha tidak menyesali keputusannya.

Cara berlari-lari di lorong RS mendapati Biru duduk di depan UGD.

“Bi ….” Cara terengah-engah di dsamping Biru. Biru mendongak dan mengangguk. Dia ingin mengatakan semuanya, tapi diurungkan, karena Aruna tidak akan semudah itu mengatakannya.

“Bagaimana dia bisa kecelakaan Bi?”

“Aku sedang menuju tempat dia bersama Rilla tadi, tapi di jalan aku melihat motor Aruna tergeletak dan orang-orang berkerumun,” dusta Biru.

“Maaf mas, temannya mau di bawa ke ruang operasi, karena patah tulang tangannya harus segera dilakukan tindakan, siapa yang akan menanda tangani Inform consentnya?” tanya perawat membuat Biru berdiri dan mengikuti perawat tersebut ke Nurse Station.

Dokter menjelaskan tindakan apa yang akan dilakukan dan berapa lama prosesnya. Biru menandatangani beberapa inform consent dan meminta dokter melakukan yang terbaik untuk sahabatnya itu. Masalah biaya akan segera dia lakukan.

Cara menatap Aruna yang terbaring di bankar UGD, diam, dengan beberapa luka. Sekali lagi Cara menyusut airmatanya. Biru menghampirinya dan mengatakan operasi akan segera dilakukan.

Cara mondar-mandir di depan ruangoperasi, Biru duduk di kursi tunggu, berusaha menghubungi Rilla. Jam sudah menu jukkan pukul 1 dini hari. Tiba-tiba pintu ruang operasi terbuka, perawat memberitahu kalau operasi sudah berhasil dan Aruna sudah melewati masa kritis, jadi bisa dipindah ke ruang perawatan biasa. Biru mengangguk dan segera mengikuti perawat yang mendoronb bed ke ruang perawatan. Biru memilih rua g VIP karena Aruna pasti akan mengomel kalau tahu dia tidak mendapat ruanb untuk dirinya sendiri. Cara mengikuti dengan perasaan campur aduk. Aruna masih dalam penbaruh bius.

“Ca, aku pulang dulu, kamu tungguin Aruna, aku sudah telpon Pak Min untuk kesini. Nanti setelah Pak Min datang, pulang saja. Jangan buat hatimu bertambah sakit." Cara mendelik ke arah Biru yang tersenyum.

"Hei Runa bodoh, sekarang aku di sini, menunggumu membuka mata, dan aku siap zakit hati, karena ingatanku tentang kamu melamar Rilla pada akhirnya." Cara menghela nafas dan memejamkan matanya.

Aruna membuka matanya, dirasakan badannya perih dan dia ingat saat tubuhnya melayang di atas aspal. Saat matanya bertemu dengan sosok yang tertidur di sisi kanannya  dia tersenyum.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro