Biarkan Saja Perasaan Ini Bertaut

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mobil mereka tiba di Cimory, Pandaan. Pemandangan pegunungan yang sejuk tak membuat perasaan mereka dingin.

Setelah memilih tempat duduk yang berada di pinggir, mereka berhadapan. Siap melepaskan perasaan masing-masing dalam argumen.

“Aku tak tahu Na. Aku harus bahagia atau bagaimana. Tapi ini menyakitkan bagi Rilla.” Sekali lagi Cara berusaha membuat Aruna memikirkan kembali keputusannya, walau dia sadar, sekali keputusan itu keluar dari mulut laki-laki itu, maka tak akan kembali dicabut.

“Aku sudah memutuskan. Aku sudah memilih. Waktuku dengan Rilla berakhir setelah dia menolak lamaranku. Sebenarnya aku sedikit berjudi saat melamarnya. Bila Rilla menerimanya, maka aku akan menjalaninya, walau mungkin aku akan melihatmu dengan terluka.” Aruna menatap Cara.

“Tapi kamu tahu Rilla akan menolaknya.” Cara memalingkan wajahnya, matanya tak mampu menerima tatapan penuh harap dari Aruna.

“Tapi ternyata memang sepertinya, aku dan kamu harus melewati ini untuk bisa bersama.” Aruna tak melepas pandangannya dari Cara yang kini salah tingkah.

“Bersama? Siapa bilang. Itu keputusanmu, bukan keputusanku.” Cara mengelak.

“Jadi, kamu tak ingin bersamaku? Tak ingin menautkan hatimu denganku?” cecar Aruna membuat hati Cara bimbang.

“Kita singkirkan tentang orang lain. Kita pedulikan dulu perasaan kita masing-masing.” Aruna berjalan mendekati Cara dan memeluknya dengan satu tangannya.

Cara berdiam. Meredam keinginan untuk balas memeluk laki-laki yang sudah mengacaukan hatinya itu.

“Kamu benar ingin menyiksaku?” tanya Aruna yang kemudian berlutut di samping Cara.

“Kamu ngapain sih.” Cara jengah. Apalagi semua mata seakan melihat ke arah mereka.

“Aku hanya ingin meminta hatimu,” kata Aruna dengan penuh pengharapan.

“Apaan sih Na.” Cara semakin salah tingkah.

“Kamu gak kasihan sama aku? Lututku sudah mulai kram.” Aruna bahkan masih berlutut di samping Cara.

“Na, hentikan.” Cara kemudian menarik Aruna untuk berdiri.

“Jadi?”

“Kamu kenapa memaksa sih?”

“Tapi kamu suka dipaksa kan?”

“Apaan?” sungut Cara.

“Jadi? Apakah kita good?” tanya Aruna membuat Cara tak tahu harus mengatakan apa.

Cara diam. Berusaha meredam semua buncahan bahagia yang dia tahu tak seharusnya ada, karena di balik kebahagiaan ini ada Rilla yang terluka.

Tanpa menunggu jawaban Cara, Aruna memeluknya erat.

“Jangan pernah merasa bersalah dengan keegoisanku, karena aku tak ingin melukaimu,” bisik Aruna.

“Tapi kamu melukai Rilla.” Cara bersikukuh.

“Memang, dan aku jahat, tapi bila itu untuk mendapatkanmu, tak apa, aku akan menerima kebencian yang setimpal itu.” Aruna mencium puncak kepala Cara.

Dering ponsel Aruna membuat Cara mengurai pelukan itu. Biru.

“Jangan pernah kamu buat Cara menangis!” teriak Biru begitu Aruna menjawab panggilan itu.

Dengan sedikit menjauhkan ponselnya, Aruna memasang wajah sedihnya ke arah Cara.

“Siapa yang membuatnya menangis?” Aruna balik bertanya.

“Tunggu aku di sana!” Biru sekali lagi berteriak.

“Jangan ganggu aku!” Kali ini Aruna juga berteriak.

Cara hanya bisa menggeleng melihat Aruna bertengkar dengan Biru. Karena itulah mereka. Dua laki-laki dalam hidupnya yang tak akan pernah bisa dia lepaskan.

“Ca, will you marry me?” ucap Aruna tiba-tiba membuat Cara mundur beberapa langkah. Tidak secepat ini juga!

“Jangan bercanda!” Cara memasang wajah tak suka.

“Kamu melihatku sedang bercanda?” Aruna mendekatkan wajahnya ke arah Cara.

Kini, jarak wajah mereka hanya sekian centimeter.

I do love you.” Aruna mengecup bibir Cara, membuatnya membeku.

Rengkuhan tangan kanan Aruna menyadarkan Cara.

“Bodoh,” desis Cara.

“Kamu yang bodoh, setan kecilku,” bisik Aruna.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro