Kepergian Cara

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Cara menyusuri lorong rumah sakit dengan menahan isaknya. Ayolah Ca, ini kan memang sudah diprediksikan akan terjadi, kenapa masih sesakit ini rasanya. Cara mengetikkan pesan untuk Biru berpamitan, dia tak sanggup menemui Aruna saat ini. Cara beregegas ke rumah dan membereskan semua keprrluannya, dia memajukan keberangkatannya agar tak punya alasan untuk menemui Aruna.

"Ca, kamu serius, aku pulang sekarang. Ini lagi di rumah sakit sama Rilla," kata Biru di telepon.

"Gak usah Bi, salam buat semuanya saja. Aku sudah mau ke bandara," sergah Cara sambil menyeret kopernya keluar.

Gegas dihentikannya taksi yang kebetulan lewat.

"Beneran Bi. I'm ok. Iya nanti aku kabari kalau sudah sampai Surabaya," kata Cara mengakhiri hubungan.

Cara mendesah, dan menyandarkan punggungnya di jok mobil.

"Bandara ya Pak," kata Cara kepada supir taksi.

Begitu selesei chek in, Cara duduk di kursi tunggu bandara, dan menyesep kopi yang sempat dibelinya. Menikmati setiap getar pahit seiring dengan desir hatinya. Ah, terkadang memang hidup tak selalu berpihak padamu Ca, mungkin nanti, ikhlas itu akan datang, seiring dengan luka yang mengering, Cara mendesah. Menghela nafasnya panjang. Berharap sedikit sesaknya berkurang.

Panggilan untuk boarding berkumandang, Cara melajukan kakinya. Berharap nanti sesaknya akan memudar. Langit biru mengiringi perjalanan udara Cara. Dulu, langit adalah obrolan favoritnya dengan Aruna, mereka akan memandang langit pagi di balkon ruang kerja dan berbagi kopi, menatap senja di pantai sambil mengolok-olok Biru, bahkan menatap bintang seraya berkhayal menjadi salah satunya. Cara menyusut airmata yang akhirnya terjatuh. Ternyata luka yang diperkirakannya akan biasa saja, malah tajam menghunjam kedalam.

Pesawat landing dengan selamat di Surabaya. Cara menuju terminal kedatangan, Frasa sudah menunggu di sana. Sahabatnya itu memang bekerja di Surabaya pasca kuliah. Kedudukannya sebagai manager creatif di sebuah perusahaan berkembang membuatnya sibuk.

"I miss you dear." Frasa memeluk hangat Cara.

"Jangan nangis disini. Yuk ke apartemen," lanjut Frasa tahu Cara akan menangis.

Sepanjang jalan Cara hanya bisa terisak menceritakan semuanya.

"Lagian ya Ca, kenapa sih gak kamu bilang saja ke dia. Suka banget sakit hati dari dulu," kata Frasa malah membuat Cara gondok.

"Bukannya menghibur malah bikin kesel," rajuk Cara.

"Lah apa juga dihibur wong sudah tahu hasilnya kaya apa." Frasa tertawa.

"Benar juga sih," batin Cara miris.

"Udahlah Ca, mau bagaimana lagi, Aruna sama Rilla juga sudah enam tahun sama-sama, gak mungkin kan Aruna gak serius, muara dari kebersamaan mereka kan pasti menikah. Ya kali terus Aruna mutusin Rilla kalau dia tahu kamu suka sama dia, iya kalau begitu, kalau hubungan kalian jadi retak?" jelas Frasa membuat Cara semakin sesak.

Sesampainya di apartemen, Cara menghempaskan tubuhnya ke kasur.

"Hah, hidupmu sudah settle ya Sa," ledek Cara.

"Apaan, ini juga fasilitas kantor. Aku maunya ntar kalau settle di desa saja. Ngurusin kebun sama suami," terang Frasa.

"Suaminya mana Neng?" goda Cara membuat Frasa mendengus.

"Sudah jangan ngeledek, benahin itu hati. Siapa tahu disini ketemu yang bikin kamu berpaling," sergah Frasa.

"Gak semudah itu Sa, you knowlah bagaimana aku dan Aruna," kata Cara menghela nafasnya.

Kembali bayangan Aruna berkelebat, ini tentang masa yang sudah dijalaninya, kenapa sekarang harus berbeda hanya karena melihat Aruna melamar Rilla.

"Harusnya aku tak sepengecut ini," batin Cara.

"Ya memang, tapi kalau kamu terus-terusan mikirin si tengil itu ya gimanaaaa," lanjut Frasa.

Tengil, kata Frasa, hah Cara hanya bisa meruntuk karena sudah aedemikian jatuh hanya karena Aruna.

"Besok kamu naik ojol saja ya ke kantor. Aku soalnya pagi banget kerjanya. Ada event dadakan. Jadi gak bisa nganterin." Dering handphone Cara menghentikan kata-kata Frasa.

Cara meraih handphonenya, Aruna, dia menunjukkan nama yang tertulis dilayar pada Frasa.

"Angkatlah," kata Frasa.

"Halo, iya Na?" tanya Cara berusaha menata intonasi suaranya.

"Kamu ngapain ke Surabaya?! Siapa yang suruh kamu handle kerjaan di sana?" Aruna berteriak dari seberang membuat Cara menjauhkan handphonenya.

"Aku ingin ganti suasanalah Na, sesekali tugas keluar kota," sanggah Cara.

"Gak bisa, kamu tega ninggalin aku dengan keadaan kaya gini? Gak pamitan lagi." Nada kesal dari suara Aruna jelas terasa.

"Lah, kamu kan lagi di RS ya aku pamitan sama pimpinanlah, siapa kamu juga aku musti laporan mau kemana. Aku gak berada dibawah divisimu, Pak," kata Cara berargumen.

"Tapi kan." Aruna tidak meneruskan kalimatnya.

"Tapi apa?"

"Ah sudahlah, pokoknya kembali kesini secepatnya!"

"Sebulan Bapak kontrak project disini," jelas Cara membuat Aruna mematikan sambungan.

"Hahahha, dia itu memang laki-laki gak peka ya," kata Frasa membuat Cara semakin kesal.

Sementara Aruna bersungut-sungut di rumah sakit. Biru memandangi sahabatnya itu iba.

"Aku ke Surabaya saja sekarang," kata Aruna tiba-tiba.

"Eh jangan, duh itu tangan belum sembuh, masih harus kontrol, keluar dari sini saja belum," cegah Biru.

"Tapi kan Bi gak bisa gini, aku harus bilang sama Cara." Aruna ngotot.

"Iya, tapi tidak dengan keadaanmu sekarang. Kamu mau bikin adikku jantungan," ancam Biru membuat Aruna luruh.

"Lagian kenapa kamu ketus begitu sih Na sama Rilla?" tanya Biru mengalihkan pembicaraan.

"Bi, Rilla merasa aku jatuh karena dia kan? Dan aku gak ingin dia merasa seperti itu. Aku sudah melepaskannya. Dia sudah bebas, kenapa harus kembali," kata Aruna.

"Tapi kan Rilla masih sayang kamu Na, masih berharap, dan dia mau kembali menikah sama kamu itu," kata Biru.

"Gak ada kesempatan kedua," tegas Aruna membuat Biru diam.

"Ya tapi jangan terlalu ketus sama Rilla," lanjut Biru beberapa saat kemudian.

Aruna diam.

[La, maaf, aku tidak bermaksud jahat padamu. Aku hanya tak ingin kamu merasa bersalah. Aku jatuh bukan karenamu. Itu saja. Im good with our decision.] tetap ada ego disana.

"Puas!" kata Aruna setelah menekan tombol send pada layar handphonenya. Biru mengangguk dan tersenyum. Itu lebih baik, setidaknya sisakan sedikit perasaanmu untuknya, batin Biru.

"Keputusanmu sudah final Na? Aku gak mau Cara terlihat seperti orang ketiga, walau kenyataannya mungkin seperti itu pada akhirnya," kata Biru lirih.

"Aku tidak akan membuat pemikiran swperti itu Bi," sanggah Aruna.

"Iya kamu, tapi Rilla, apa dia tidak akan menyalahkan Cara dan menganggapnya duri dalam hubungan kalian dan membenci Cara katena ini?" tanya Biru membuat Aruna terenyak, dia tidak berpikir sejauh itu.

"Jadi, biarkan saja dulu Cara si Surabaya. Dan biarkan Rilla juga menata hatinya. Dan kamu, tahan dirimu," mohon Biru membuat Aruna meluruh.

"Baiklah. Tqpi aku tidak tenang Bi memikirkan Cara salah paham kepadaku selama itu." Aruna menunjukkan wajah memelas.

"Percayalah, semua akan lebih baik pada waktunya." Biru meyakinkan Aruna.

"Fokuskan untuk kesembuhanmu dulu," lanjut Biru.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro