Pengakuan Cara

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ca ... kamu beneran suka sama Runa?” tanya Biru.

“Sudahlah ... aku tahu kamu akan bilang , Aruna itu sudah punya pacar Ca, dan tak mungkin dia itu akan melirikmu, melihat wujudmu itu,” oceh Cara membuat Biru tertawa.

“Sialan,” runtuk Cara melihat Biru semakin tertawa.

“Kamu itu, tidak akan dianggap perempuan sama Runa. Apa kamu tidak sadar kebiasaanmu mengikuti kami dari jaman SMA itu membuatmu lebih terlihat seperti kami,” jelas Biru membuat Cara menatap kaca di depannya dan mulai mengamati bayangannya.

“Kecuali bagian rambutmu,” ralat Biru begitu Cara menelusuri rambutnya.

“Separah itukah?”

“Kecuali lagi saat kamu pakai gaun,”

“Tapi kapan aku punya gaun?” Cara mencoba mengingat isi lemarinya.

“Ups, kalau begitu Cuma bagian rambutmu,” kata Biru.

Kemeja kotak-kotak biru, jeans, sepatu boots, bahkan ransel disampingnya membuat Cara memikirkan perkataan Biru.

“Apa aku harus memakai gaun agar terlihat lebih perempuan?” tanya Cara.

“Jangan ... jangan lakukan itu dalam waktu dekat, aku belum siap melihat metamorfosamu dan bahkan aku belum sanggup membayangkanmu memakai gaun,” senyun sinis Cara membuat Biru tertawa.

“Sudahlah ayo berangkat kerja, dan kita bicarakan masalah ‘gaun’, ‘kamu’, dan ‘Aruna’ nanti saja.” Biru menekankan kata gaun, kamu dan Aruna membuat Cara melemparkan kunci mobil ke arah Biru kesal.

Biru merangkulnya dan membimbingnya keluar kamar.

“Jadi mulai kapan sebenarnya?” tanya Biru begitu mobil mereka melaju di jalan.

“Apanya?” tanya Cara pura-pura tak tahu.

“Kamu, Aruna,” jawab Biru.

“Hm ... sejak pertama kali melihatnya,” jujur Cara.

“Selama ini? Sejak SMA?” Biru kaget dengan pengakuan Cara.

Cara mengangguk dan ingatannya kembali ke masa lalu.

Saat itu Cara baru saja masuk SMA dan dia hanya mengikuti Biru, kakaknya, kemanapun Biru pergi saat jam istirahat. Dan karena Biru bersahabat dengan Aruna, mak Cara pun dekat juga dengan Aruna. Di mata Cara saat itu, Aruna adalah cowok paling menyenangkan, karena dia tidak melihatnya sebagai anak kecil manja yang selalu merepotkan. Tapi Aruna memperlakukan dia sama seperti Biru memperlakukannya. Dan Cara jatuh cinta, meski Cara tahu Aruna itu sering gonta ganti pacar, bad boy dan terkadang menyebalkan. Cara bahkan tidak berani untuk mengungkapkan perasaannya, bahkan untuk mengakuinya dihadapan Biru. Dia terus memendam perasaannya dan menyemainya, sampai pada batas dia tak bisa melihat laki-laki lain disekelilingnya, dia bahkan tidak peduli anggapan bahwa dia menyukai perempuan karena dia tak pernah terlihat dekat dengan laki-laki selain Biru dan Aruna. Dan rahasianya ini hanya diketahui oleh tiga sahabatnya, Nadia, Danta dan Frasa.

“Dia masih Aruna yang pertama kali kulihat dulu Bi, masih,” kata Cara membuat Biru geleng-geleng kepala.

“Jadi, mulai kapan kamu tahu?” Cara balik bertanya.

“Sebenarnya dari awal aku sudah tahy, dari awal kamu melihatnya dengan mata berbinar dan ayolah ... aku kakakmu, apa yang bisa kamu sembunyikan dariku? Aku bisa tahu kamu menyukai sesuatu dari caramu memperlakukannya, kamu akan melakukan apa saja untuk membuatnya tertawa, bahagia. Dan aku hanya ingin mendengar kepastiannya dari mulutmu sendiri, karena aku prihatib sampai sekarang kamu bahkan belum pernah punya pacar sama sekali,” urai Biru membuat Cara menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

“Kalau begitu, diamlah, bahkan jangan mengatakannya pada Runa,” pinta Cara membuat Biru tertawa.

“Apa yang kamu tertawakan?” sungut Cara.

“Sampai kapan? Sampai kamu mati? Mati jadi perawan tua?” Cara menatap Biru kesal, kakaknya bahkan bisa berkata seperti itu. Biru tertawa dan mengacak rambut Cara dengan tangan kirinya.

Biru memarkir mobilnya disamping motor sport yang tampak berbeda diparkirab yang berisi mobil itu. Sambil memandang Cara dan tersenyum nakal, dikedipkan satu matanya, membuat Cara membuka pintu dan membantingnya kesal. Biru hanya bisa tertawa melihat tingkah adiknya itu. Dering handphone mengalihkan perhatian Biru.

“Halo, iya Na, aku sudah diparkiran, langsung ke ruang meeting? Oke ... Cara? Dia sudah masuk, mungkin keruangannya. Oke.” Biru mengantongi handphonenya dan menangkap sosok Rila sedang melewati pintu masuk. Berlari-lari Biru mengejarnya.

“La ... apa kabar?” sapa Biru begitu bisa mensejajarkan langkahnya.

“Eh Bi, kabar baik, kamu sama Cara juga baik kan?” tanya Rilla.

“Iya ... kita doing great, sudah selesei coursenya?” tanya Biru.

“Sudah, tadi baru nyampe langsung kesini,” jawab Rilla.

“Baru datang dari Paris? Kenapa tidak kasih tahu kita, kan bisa dijemput,” kata Biru.

“Mau kasih surprise, kalau kasih tahu gak jadi kejutan dong” kata Rilla tersenyum.

“Ya ... ya ... aku mengerti.” Biru tersenyum.

“Cara dimana?” tanya Rilla.

“Di ruangannya mungkin. Kamu mau bertemu Aruna kan? Aku rasa dia ada di ruang meeting sekarang,” jawab Biru.

“Oh, kalau begitu aku bertemu Cara dulu saja.” Biru mempersilahkan Rilla berlalu dari hadapannya.

Cara sedang menyusun maket saat Rilla mengetuk pintu.

“Caraaaa!” Rilla menghambur memeluk Cara yang kaget.

“Rilla?”

“Iyaaaa, ini aku, kamu tidak kangen?” tanya Rilla.

“Kapan datang?”  Setelah Cara bisa menguasai keadaannya.

“Baru saja. Kamu masih sama ya, tidak berubah. Boyish banget.” Rilla memandang Cara dari atas sampai bawah membuat Cara jengah.

Tapi begitu mengamati Rilla, Cara terpaku, Rilla memakai sack dress tosca, tas tangan dan rambut yang tertata rapi. Jadi seperti ini perempuan di mata Aruna, batin Cara menciut, pantas saja aku di mata Aruna terlihat seperti Biru, hanya sahabat.

“Lho kok bengong,” kata Rilla membuat Cara tersadar.

“Kamu cantik,” kata Cara.

“Kamu juga cantik Ca.” Membuat Cara malu.

“La, kapan sampai?” Duara berat mengagetkan Cara dan membuatnya semakin tak terlihat.

“Runa.” Rilla menghambur ke arah Aruna.

“Kenapa tidak bilang kalau datang? Kan bisa dijemput?” tanya Aruna.

Lalu selanjutnya ruangan Cara menjadi ajang temu kangen dan Cara terjebak disana, tidak terlihat, samar tertutup romansa pertemuan sepasang kekasih. Cara berusaha keras menutupi perasaannya, dia ingin menyelinap keluar, tapi mereka berdiri di depan pintu, bagaimana bisa dia kelur. Cara berpaling menatap dinding dan menahan isaknya.

“Kalian disini rupanya.” suara Biru menyelamatkan Cara.

“Aku ke toilet sebentar, kalau mau makan siang nanti aku menyusul.”  Cara berlari keluar, Biru ingin menghentikannya, tapi melihat mata basah Cara, Biru membiarkannya.

“Ayo kita ke tempat biasa,” kata Biru disambut anggukan kepala Aruna dan Rilla.

“Cara?” tanya Aruna.

“Dia akan menyusul,” jawab Biru.

Cara menatap cermin didepannya menyusut airmata. Kenapa coba, biasanya aku bisa menahan perasaanku, kenapa sekarang tidak. Handpohonenya bergetar dan Aruna mengiriminya pesan.

[Setan kecil, cepat datang, sebelum semua makanan kuhabiskan.]

Dia selalu saja memakan jatahku, sungut Cara. Cara menegarkan hatinya dan berjalan keluar. Segera menuju cafe yang terletak di lantai atas kantor.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro