Fiveth Harmony-Hear, that heart

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pagi ini terasa begitu menggigilkan. Awal musim gugur memang sangat dingin, memaksaku memakai berlapis-lapis pakaian dan mantel kulit tebal. Setelah melilitkan syal rajut tebal di leherku, aku membuka pintu kamar dan turun menuruni tangga, menuju dapur.

Kupikir sup hangat adalah hal pertama yang kutemui, namun sepertinya aku salah besar. Hal pertama kutemui bukanlah semangkuk besar sup hangat ataupun makanan lainnya, melainkan secarik kertas kecil yang tertindih gelas agar tidak terhempas angin yang berasal dari fentilasi jendela.

Aku meraih kertas tersebut dan membaca isinya. Setelah membaca keseluruhan tinta yang tergores di atas kertas tersebut, aku menghela napas panjang. Hari ini ibu lembur lagi.

Aku membuka laci-laci yang tertempel di dinding dan kulkas, berharap menemukan sesuatu untuk dimakan.

Namun hasilnya nihil. Aku menggeledah sekitarku, namun berakhir dengan menelan ludahku―cemas.

Tidak ada uang yang dititipkan, dan tidak ada makanan apapun yang tersedia. Laci kosong, kulkas kosong. Apakah ibu lupa untuk menitipkan uang? Sebegitu pentingnyakah pekerjaan itu untuknya sampai-sampai melupakanku?

Aku menyentuh perutku yang mulai terasa sakit. Sial, seharusnya aku tidak melewatkan makan malam. Bisa-bisa telat makan dan penyakit asam lambungku kambuh.

Aku menggelengkan cepat kepalaku, aku tak boleh membolos sekolah hari ini. Aku tak ingin absensi kehadiranku kosong lagi. Mataku melirik arloji yang melingkari tanganku. Aku harus segera berangkat atau aku akan tertinggal bus hari ini.

Setelah membulatkan tekadku, aku memaksakan kakiku untuk melangkah menuju pintu besi Lift yang tertutup rapat.

Tanganku menekan tombol panah kebawah, dan beberapa saat kemudian, pintu Lift terbuka.

Aku masuk tanpa ragu sembari memegang erat perutku. Sial, sakit sekali rasanya.

Aku berjalan ke sudut Lift, kemudian bersender di sana dengan tangan yang senantiasa memegang erat perutku.

Setelah ini, aku bersumpah tidak akan pernah lagi melewatkan makan malam. Rasanya menyakitkan!

Aku terlalu sibuk dengan pikiranku, hingga tak menyadari bahwa seorang lelaki yang berdiri di sampingku terus menatapku tanpa kedip.

Kudengar ada suara sebuah kresekan plastik, kemudian sesuatu menepuk elat kepalaku, membuatku sontak menoleh, menatap seorang lelaki itu sedang mengulurkan sebungkus roti di kepalaku.

"Makan,"

"Eh..?" Aku menerima roti itu dengan gugup. Tak pernah aku menerima makanan dari orang lain sebelumnya, karena ibu selalu melarangku untuk tidak menerima pemberian orang asing.

Eh, tapi Shiro bukanlah orang asing lagi, kan? Apakah itu berarti aku boleh menerimanya?

Dengan ragu, aku menatapnya. "U-Untukku...?"

"Siapa lagi?" Balas lelaki itu dengan dingin. "Aku tak membutuhkannya, buatmu saja." Sekilas, ia terlihat memberikannya kepadaku dengan setengah hati, namun warna tidak pernah berbohong.

Dia tulus memberikannya.

Aku mengangguk pelan, kemudian tersenyum tipis. "Terima kasih."

Sembari menunggu pintu lift terbuka, aku membuka bungkus roti pemberian Shiro dan memakannya dengan perlahan. Lelaki itu terus menatapku, membuatku merasa sedikit risih karenanya.

"Kau masuk sekolah jam berapa?"

Setelah menelan kunyahan roti di mulutku, aku menjawab, "delapan."

"Sekarang sudah jam setengah delapan."

"Aku tahu," aku melipat bungkus roti dan memasukkannya kedalam tasku. "Itu mengapa aku harus cepat."

"Bagaimana jika bus sudah pergi?"

Aku terdiam sesaat, kemudian mengangkat kedua bahuku. "Entahlah, memangnya kenapa? Kau ingin mengantarku?" Ujarku dengan nada meledek.

Shiro terdiam, kemudian menatapku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan. "Bisa saja," katanya yang sukses membuatku terpatung.

"E-Eh, aku hanya bercanda!" Kilahku cepat. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, dan juga mencoba mengontrol detak jantungku yang kian mendebar. "Aku tidak serius mengatakannya!"

"Aku serius,"

Dentingan pelan terdengar, dan pintu Lift mulai terbuka. Tanpa seizinku, dia menggenggam erat tanganku dan menarikku―memaksaku untuk mengikutinya.

Dia membawaku ke parkiran basement dan membukakan pintu sebuah mobil berwarna putih yang tampak mahal. "Masuk," perintahnya yang membuatku langsung menurut tanpa membantah.

Ini aneh. Meskipun hatiku sedari tadi menjerit-jerit untuk menolak, namun tubuhku secara sama sekali tidak merespon. Buktinya, hingga mobil ini sudah melaju keluar dari bangunan besar Apartermen, aku tetap duduk tak berkutik di atas kursi penumpang.

"Kau sekolah hinaharu?"

Aku mengangguk ragu, "iya." Setelah hening beberapa saat, aku kembali membuka mulutku, "kau bersekolah di Gakuen karahi ya?"

Shiro mengangkat sebelah alisnya. Meskipun begitu, matanya tetap setia memandang lurus ke depan, fokus menyetir. "Kenapa kau berpikir seperti itu?"

"Um... karena sekolah itu searah dengan sekolahku?"

Lelaki itu terdiam, kemudian mengangguk samar.

Dan setelah itu tak ada lagi yang membuka percakapan. Hening berkepanjangan melanda sekitar, hingga mobil mewah Shiro terparkir di depan gerbang sekolahku yang hampir ditutup.

Dengan cepat, aku membuka pintu mobil dan segera menunduk sembilan puluh derajat. Setelah berterima kasih, aku langsung melesat masuk ke wilayah sekolah sebelum gerbang benar-benar ditutup.

Aku terengah-engah, mencoba mengatur napasku saat menatap guru piket yang tengah menggeleng-gelenglan kepalanya terhadapku. Mataku melirik arloji kecil yang melingkari pergelangan tanganku.

7:59, nyaris saja.

Setelah sedikit diceramahi oleh guru piket, aku segera kembali melesat menuju kelasku yang berada di lantai dua. Aku menghela napas lega saat mengetahui bahwa mata pelajaran pertama belum dimulai karena guru terlambat hadir.

Aku segera duduk di kursiku, dan mencoba mengatur napas.

"Yuki, kau telat?"

Aku tersenyum kecil begitu mendapati beberapa anak gadis kelasku kini menatapku dengan tatapan merendahkan. "Iya."

"Aih, aku tak menyangka murid teladan sepertinu bisa telat."

"Astaga, apa kau berubah menjadi pemalas?"

"Jangan, nanti bagaimana nasib nilai kami?"

Aku tersenyum pahit. Suara hitam dan merah mulai mendominasi sekitarku. Ini begitu memuakkan. Mereka menilai seseorang tanpa memahami diri mereka sendiri, lantas memikirkan keuntungan mereka tanpa ingin mengetahui bagaimana perasaan orang lain.

Aku... benci mereka.

Tapi, mengapa aku tetap bertahan di sini sekarang?

Cermin adalah teman terbaikku. Karena disaat aku menangis, dia tidak pernah tertawa.

Dan aku berharap memiliki teman seperti itu.

Aku terlalu sibuk melamun, hingga dikagetkan oleh suara gebrakan meja yang terbilang cukup keras hingga sukses membuat kelas hening seketika.

Mataku membulat sempurna saat menatap Fuyumi dengan wajah sangatnya.

"Hey! Kalian pikir Yuki itu apa? Nilai berjalan yang dapat kalian gunakan seenaknya? Dia juga manusia! Jangan seenaknya menilai seseorang karena kesalahannya!" Gadis itu menatap murka seisi kelas, dan tambah terlihat garang saat bertemu pandang dengan para anak gadis. "Jangan melupakan seribu kebaikkan yang pernah dilakukannya hanya karena satu kesalahan!"

Hening beberapa saat, tak ada yang berani berbicara hingga guru mata pelajaran datang ke kelas dan memotong perdebatan.

"Maaf ibu terlambat hadir, mari kita mulai pelajarannya. Buka buku halaman 203."

Aku langsung membuka asal buku paket, menatap kosong lembaran putih yang telah banyak digoresi tinta hitam.

Fuyumi serius mengatakannya kemarin, dan aku sungguh tidak menyangkanya.

Hatiku tergerak, aku merasakan sesuatu yang hangat mengepul di pelupuk mataku.

Mungkinkah sudah waktunya, seorang Asai Yuki memiliki teman?

Jika iya, aku akan sangat bersyukur.

***TBC***

publishend 22-02-19

A/N

Berapa lama digantungin? Hampir sebulan yak? WKWKWKWK maap :v

Oke, konflik akan di mulai chapter selanjutnya, jadi stay tune!

MAKASIH UDAH BACA, VARA LOP YU ALL!!

//tebar lope.

ADIOS~

Big Luv, Vara
🐣🐤🐥

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro