Fourteenth Harmony-Hear, The Broking Heart

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Yuki? Ada apa denganmu?" Ibu menatapku dengan sorot heran. "Tumben sekali kau membolos? Kau sedang sakit?"

Aku menatap Ibu dengan tatapan sayu, kemudian menggeleng lemah. "Aku baik-baik saja."

Ibu mengerutkan keningnya, "Jika kau merasa tak enak badan, pergilah ke rumah sakit untuk medical check-up."

Aku kembali menggeleng. Aku baik-baik saja.

Ibu menghela napas panjang, "Yasudah, terserahmu saja. Hari ini Ibu ada meeting di Kantor. Ibu akan meninggalkan uang, kalau mau makan beli saja di luar."

Aku terdiam. Aku tidak butuh apapun. Aku hanya ingin didengarkan. Apakah Ibu ... bahkan tidak menyadari bahwa aku sedang tidak baik-baik saja?

Aku ingin sekali saja ... Ibu memelukku dan berada di rumah sehari penuh untukku.

Tapi aku sadar ... hal itu takkan pernah terjadi. Ibu tidak mungkin melakukan hal merepotkan seperti itu. Aku ini hanyalah benalu baginya.

Karena aku, Ibu harus kehilangan Ayah.

Karena aku, Ibu harus bekerja siang dan malam.

Jadi, tidak ada alasan khusus bagi Ibu untuk memberikanku perhatian lebih. Masih dianggap anak dan dibiayai hidupnya saja sudah syukur.

Apapun yang kulakukan tidak dapat merubah banyak. Usahaku untuk membuat Ibu bangga saja mustahil. Aku sudah berusaha mendapat ranking 1, menjuarai setiap olimpiade, dan mendapat banyak piala serta sertifikat. Tapi tak ada satupun yang membuat hati Ibu tergerak untuk memelukku, atau setidaknya, bilang selamat padaku.

Ibu ... memang selalu dingin padaku.

Maka yang bisa kulakukan hanya mengangguk menurut. Aku tak boleh membebaninya lebih dari ini.

"Yasudah, Ibu pergi," ucap Ibu sembari memasukkan laptop ke dalam tas kerjanya. "Mungkin Ibu akan lembur lagi malam ini. Kau beli saja makan malam di luar."

Aku kembali mengangguk.

Setelah punggung Ibu menghilang dari balik pintu rumah, aku jatuh terduduk di lantai. Aku mulai menangis lagi.

Apa benar-benar tak ada lagi yang peduli padaku ...?

"Apakah memang ... mati adalah jalan satu-satunya?" tanyaku pada diri sendiri.

Apakah dengan kepergianku, mereka semua bisa bahagia?

Lantas, untuk apa aku dilahirkan?

Semua ini ... benar-benar membuatku depresi.

Aku tak tahan lagi. Rasanya ... aku ingin mati saja.

Aku menghantamkan tinjuku ke lantai. Sial.

Sial. Sial. Sial.

Ya Tuhan?

Tolong berikan aku jalan keluar, sedikit saja.

Setidaknya, biarkan seberkas cahaya menerawang masuk ke gelapnya hidupku.

Biarkan aku ... memperbaiki semuanya.

Biarkan aku ... hidup bahagia.

Sekali lagi.

***

Shiro menaikkan sebelah alisnya begitu membaca sebaris pesan singkat dari Fuyumi.

Hari ini tidak latihan dulu.
-Fuyumi.

Ada apa dengannya? Tak biasanya dia seperti ini. Shiro mengendikkan bahunya. Pasti mood sepupunya itu tengah hancur. Sepertinya Shiro harus menunggu beberapa saat hingga mood Fuyumi kembali membaik. Lagipula, Festival Bunga Salju masih dua minggu lagi. Masih ada waktu untuk berlatih, jika ingin tampil di sana.

Lelaki itu memasuki evelator ketika pintunya telah terbuka. Shiro yang hendak menekan angka delapan, segera mengurungkan niatnya. Mungkin sebaiknya Shiro mengecek keadaan Yuki dulu. Semalam Yuki mengiriminya pesan bahwa hari ini gadis itu tidak masuk, jadi Shiro tak perlu repot mengantar jemputnya. Kebetulan, hari inu sekolah Shiro diliburkan.

Baru saja lelaki itu pergi ke luar untuk membeli beberapa takoyaki untuk camilannya nanti.

Shiro menekan angka tujuh. Pintu evelator kembali tertutup, dan membawa sosok lelaki itu ke lantai tempat sahabatnya tinggal. Entah mengapa, ada sesuatu yang mengganjal perasaannya.

Perasan tak enak menyerbak dari dadanya, membuat lelaki itu merasa khawatir seketika.

Apa ... Yuki baik-baik saja?

Shiro menggeleng cepat. Tentu saja Yuki baik-baik saja. Apa yang dia pikirkan? Mengapa dia bisa secemas itu kepada seorang gadis?

Dentingan terdengar, menandakan bahwa lift sudah sampai di lantai 7. Shiro segera keluar dari lift, mencari-cari nomor Apartermen Yuki.

Lelaki itu berdiri di depan pintu yang sedikit terbuka. Setelah memastikan bahwa benar ini pintu Apartemen Yuki, kening Shiro berkerut. Kenapa pula Yuki meninggalkan pintu rumahnya terbuka seperti ini? Bisa saja ada orang jahat masuk kan?

Baru saja Shiro hendak membuka pintu, terdengar suara isak tangis dari dalam sana.

Shiro mengerutkan keningnya. Mengapa ada suara orang menangis?

"Apakah memang ... mati adalah jalan satu-satunya?"

Lelaki itu mengerjapkan matanya beberapa kali. Tadi itu ... suara Yuki?

Mengapa Yuki mengatakan hal sedemikian rupa?!

Apa yang telah terjadi?

Dengan cepat, Shiro segera membuka lebar pintu rumah Yuki, menerobos masuk tanpa mengucap salam.

Terlihat di lantai ruang Tamu, Yuki terduduk dengan air mata bercucuran. Gadis itu mendongakkan kepalanya, tampak terlejut dengan kehadiran Shiro.

"Shi ... ro?"

"Yuki," Shiro cepat-cepat mendekati Yuki dengan air wajah khawatir yang sangat kentara. "Ada apa dengan dirimu? Kamu kenapa? Tidak, Yuki. Kamu tidak boleh bunuh diri!"

Yuki menatap kosong, "Tapi tidak ada yang menginginkan kehadiranku di sini."

Tanpa diduga, Shiro menarik tubuh Yuki ke dalam dekapannya. Lelaki itu tampak begitu cemas. Tidak, Yuki saoat merasakan ada sesuatu yang membasahi punggungnya.

Yuki tertegun. Apakah Shiro ... sedang menangis?

Shiro membenamkan wajahnya di leher Yuki, memeluk erat sosok gadis itu. "Siapa bilang tidak ada yang menginginkan kehadiranmu? Banyak, Yuki. Banyak yang mencemaskanmu. Bukalah matamu, dan lihat sekitar. Masih banyak orang yang menkhawatirkanmu," suara Shiro berubah parau. "Contohnya aku. Aku mengkhawatirkanmu. Jadi kumohon, jangan pergi. Jangan mati, Yuki. Aku tidak mau ... kehilangan orang yang kusayang untuk kedua kalinya. Aku tidak mau kehilangan sosok seorang sahabat lagi!"

Mata Yuki mulai kembali berkaca-kaca. Apakah yang dikatakan Shiro benar adanya? Apakah ... dirinya masih diharapkan orang lain?

Warna putih bersih terlihat di penglihatan Yuki. Yuki terisak. Shiro berkata jujur. Lelaki itu berkata apa adanya.

"Kalau itu benar ..." Yuki membuka suara, "Lalu mengapa Fuyumi juga pergi meninggalkanku?"

"Fuyu?" Suara Shiro terdengar terkejut. Lelaki itu melepas pelukannya dari Yuki, menampilkan wajahnya yang tampak kusut dan matanya yang sembab. "Untuk apa Fuyu meninggalkanmu?"

Benar juga, Shiro belum mengetahui apa yang terjadi kemarin. Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya Yuki memutuskan untuk bercerita.

Shiro adalah pendengar yang baik. Lelaki itu mendengarkan dengan seksama setiap kata yang terucap dari mulut Yuki.

"Jadi gadis yang bernama Aira ini telah merusak buku lirik Fuyumi?" Shiro mengerjapkan matanya, tak percaya. "Lalu ... Fuyumi salah paham dan mengira kau pelakunya?"

Yuki mengangguk. "Fuyumi tidak membalas pesanku. Dia pasti marah sekali."

"Kau sudah bertemu dengannya?"

Yuki menggeleng.

"Kenapa?"

"Aku takut," ungkap Yuki apa adanya. "Aku takut melihat Fuyumi membenciku."

"Fuyu bukanlah tipe orang seperti itu," terang Shiro, mencoba meyakinkanku. "Fuyu itu bukanlah tipe gadis pendendam. Dia pasti sudah lebih dulu memaafkanmu, bahkan sebelum kamu meminta maaf."

"Benarkah?" Aku mendongakan kepalaku. "Lalu ... bagaimana caraku meminta maaf padanya?"

"Semalam Fuyu mengirimku pesan, katanya hari ini dia tidak masuk sekolah juga," Shiro menatapku lamat-lamat. "Aku tahu ... cara yang tepat untukmu meminta maaf padanya."

"Bagaimana?"

"Musik," Shiro tersenyum lembut. "Musik dapat mengantarkan kata yang tak tersampaikan kepada seseorang."

***TBC***

A/N

Ahahaha, Vara gabisa nulis romance :')

Maaf klo feel nya g dapet, seriusan Vara ngetiknya bingung bangettt

Mau bikin momen Yuki-Shiro, tapi susah :')

Malah kayaknya gampangan nulis momen Kena-Sena :v

Shiro itu kuudere, tapi nggak juga sih. Biasa aja. Makanya agak bingung sih. Shiro itu sebenernya ga dingin, tapi agak cuek aja :3

Udah yaw met menikmati.

Also, chapter depan itu chap favorit Vara :)

Adios.

Big Luv, Vara.
🐣🐤🐥

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro