Tenth Harmony-Hear, that promise

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Matahari bersinar di pertengahan musim gugur tampak cerah. Udara sejuk membuat siapapun pasti akan merapatkan mantel mereka ketika udara mulai menusuk kulit detik demi detik. Setelah menempuh perjalanan lima belas menit menggunakan kereta, kami tiba di depan tempat pemakaman umum yang ada di Tokyo. Di luar perkiraanku, tempat ini tidak sesepi yang kupikirkan. Kukira pada jam sibuk begini, sedikit orang datang kemari. Ternyata aku salah. Ada beberapa orang yang sepertinya sedang melayat--jika dilihat dari buket bunga mawar yang mereka genggam.

"Aah, Yuki. Aku mau ke Toilet dulu ya sebentar!" seru Fuyumi sembari berlari ke sebuah bangunan kecil. "Tunggu aku di bawah pohon itu saja!"

Aku mengangguk menurut, kemudian berjalan pelan ke sebuah pohon yang di maksud Fuyumi. Tidak sulit mencarinya, karena itu hanyalah satu-satunya pohon yang ada di sekitar sini. Aku berdiri sembari merapatkan syal di leherku, mencoba menghangatkan diri. Daun-daun berwarna merah dan cokelat berhamburan diterpa angin pagi, membuat pemandangan terlihat sedikit memukau.

Aku tak pernah menyadari bahwa ada pemandangan sebagus ini dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin karena aku terlalu sibuk, hingga melupakan hal-hal penting yang ada di sekitarku.

Ke tempat ini, membuat dadaku sedikit sesak. Aku jadi mengingat kesalahan terburukku, kesalahan yang tak bisa dimaafkan bahkan oleh sejuta kekayaan alam.

Seharusnya... kejadian itu tidak terjadi.

Seharusnya saat itu... aku yang pergi.

Tepukkan di pundakku membuatku tersentak hingga terbangun dari lamunanku. Kutolehkan kepalaku, demi melihat siapa yang telah menepuk pundakku. "Eh? Sakura... ya?"

Gadis berambut hitam panjang itu tersenyum lebar. "Ah, ternyata benar dugaanku. Kita bertemu lagi, Yuki!"

Aku balas tersenyum. "Senang bisa bertemu denganmu lagi." Pandanganku tertumbuk pada buket besar mawar kuning di pelukkan Sakura. "Kau mau melayat seseorang?"

"Ibuku," jawab Sakura.

"Maaf, aku tidak tahu," ujarku merasa bersalah.

Sakura menggeleng tanpa menghilangkan senyumannya. "Tak apa, lagipula aku sudah mengikhlaskan kepergiannya."

Aku tertegun. Sakura ternyata orang yang tegar ya? Dia sangat kuat sekali. "Begitu, ya... kalau begitu, mengapa mawar kuning?"

"Karena mawar kuning artinya perpisahan," Sakura menunduk, menatap buket mawar di pelukkannya. "Karena aku sudah berpisah dengan Ibuku, jadi kuberi mawar kuning."

"Memang kenapa dengan mawar merah?" Tanyaku polos.

Anehnya, Sakura justru tertawa. "Yuki tak mengerti tentang bunga, ya? Mawar merah artinya cinta. Masa kuberi kepada Ibu sih? Harusnya diberikan kepada orang yang kita suka."

Aku hanya ber-oh ria. Sebenarnya aku ingin memprotes sebab sepanjang mata memandang, orang-orang banyak yang membawa mawar merah untuk melayat. Tapi karena tidak mau memperpanjang argumen, aku mengurungkan niatku.

"Oh iya, Yuki bersekolah di mana?" tanya Sakura.

"Hana Haru," jawabku. "Kalau kamu?"

"Di SMA Kyousho." Jawab Sakura. "Pelajaran apa yang kau suka?"

"Mungkin Multimedia."

"Wah, kalau begitu kau bisa menggunakan komputer?"

"Bisa," jawabku sembari mengingat-ingat. "Aku pernah belajar cara meretas sesuatu. Hanya sedikit, karena aku takut." jelasku dengan jujur.

Sakura memiringkan kecil kepalanya, "kenapa takut?"

Aku tersentak, merasa telah mengatakan sesuatu terlalu banyak ke Sakura. Berbicara dengan Sakura membuatku nyaman, sehingga aku mengatakan hal yang tidak seharusnya kukatakan. "Urm... melanggar hak privasi orang lain," jawabku pada akhirnya.

Sakura menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Gadis itu menunduk, memperhatikan mawar kuning di pelukkannya, kemudian terlihat ia meringis pelan. "Aduh, iya deh maaf."

"Huh?" Aku memiringkan kecil kepalaku. "Maaf untuk apa?"

"Eh?" Sakura tampak salah tingkah. "Um... tidak, bukan apa-apa."

Aku jelas merasakan sesuatu yang janggal pada diri Sakura. Sejak awal pertama kali pertemuan kami, aku sudag merasa Sakura sedikit aneh. Meski begitu, tidak ada sesuatu yang mencurigakan dari warna suaranya, kecuali fakta mengenai dia sering berbicara sendiri.

Yah, aku tak boleh bilang orang lain aneh sih, karena kenyataannya aku juga aneh.

Bisa melihat warna dari suara yang kudengar itu tidak bisa dibilang normal, kan?

"Yuki! Maaf lama ya!" Lengkingan suara Fuyumi terdengar dari kejauhan. Terlihat, gadis itu tengah berlari mendekatiku.

"Temanmu ya?" Sakura tersenyum manis. "Kalau begitu, aku duluan ya!"

"Ah, i-iya."

"Sampai bertemu lagi," dia melambaikan tangannya, kemudian berlalu memasuki area pemakaman.

Aku balas melambaikan tangan, "sampai bertemu lagi."

"Maaf ya aku lama. Tadi Toiletnya ramai sekali!" Fuyumi mengatur napasnya begitu tiba di hadapanku. "Tadi itu siapa? Temanmu?"

"Um.. mungkin?"

"Jawaban apa itu? Tidak meyakinkan sekali." Fuyumi berkecak pinggang. "Kalau begitu, ayo temani aku membeli mawar." Gadis itu menarik lenganku, membuatku terpaksa mengikutinya.

Kami berhenti di depan sebuah kios yang menjual beragam bunga. Mulai dari bunga dandelion hingga bunga lonceng ada di sini. Toko ini cukup lengkap, tak heran jika ada lumayan banyak pengunjung di sini.

Aku menatap bunga tulip yang berjejer rapih di dalam vas yang dipajang di salah satu rak. Bunga tulip selalu memiliki keindahannya sendiri, itulah yang pernah seseorang katakan kepadaku.

"Yuki suka bunga tulip, ya?" Fuyumi yang tampak sedang melihat-lihat bunga berkata padaku. "Hey, menurutmu lebih bagus mana? Mawar yang merah atau yang putih?"

Aku terdiam sesaat, "yang kuning."

"Hah? Itu tidak ada di dalam daftar pilihan!"

"Eh? Tapi kan mawar kuning artinya perpisahan. Kata seseorang, jika ingin melayat, harusnya mawar kuning," jelasku.

Fuyumi tampak termangut-mangut mengerti. "Begitu, ya? Baiklah, aku beli setangkai mawar kuning. Permisi! Ini berapa harganya? Seribu yen? Mahal sekali!! Tidak bisa kurang???"

Setelah kami selesai membeli bunga, kami masuk ke dalam area pemakaman. Fuyumi tak henti-hentinya mengoceh tentang betapa mahalnya harga setangkai mawar.

"Padahal kan, mawar bisa dipetik," begitu katanya.

Setelah lima menit berjalan, kami tiba di depan sebuah makam bertuliskan nama yang cukup asing bagiku.

Tsutsui Aoi.

Keningku terlipat begitu melihat ada seseorang sedang duduk di hadapan makam itu, membuatku mencoba meyakinkan Fuyumi apakah kami berada di makam yang benar atau tidak.

"Benar kok yang ini," bisik Fuyumi, memperhatikan lelaki yang sedang duduk memunggungi kami.

"Tapi kok ada orang? Apakah temannya atau kerabat?"

"Mana kutahu! Aku kan belum lihat," Fuyumi berjalan mendekati lelaki itu dengan waswas. Meski begitu, dia tetap menarik ujung lengan bajuku--memaksaku ikut melangkah. "Um... permisi?"

Ketika lelaki itu menoleh, dia tampak terkejut, begitupun kami. "Eh..?"

"Eh..?"

"...SHIROO?!!!" Fuyumi berseru histeris. "Apa yang kau lakukan di sini?! Ini masih pagi pula. Apa jangan-jangan kamu membolos juga?"

"Juga?" Lelaki yang ternyata Shiro itu mengangkat sebelah alisnya. "Kamu membolos lagi, Fuyumi?" Terlihat warna merah di sekitarnya, menunjukkan bahwa ia tidak begitu senang.

"Eh.." Fuyumi menutup mulutnya, tampak menyadari bahwa ia telah salah bicara. "Lalu, bagaimana dengamu?"

"Sekolahku dibubarkan lebih cepat," Shiro berkecak pinggang. "Jadi, kenapa membolos?"

"Um.. itu... aku yang mengajak," selaku. "Jadi, jangan salahkan Fuyumi. Salahkan saja aku."

Warna merah meredup, digantikan dengan warna biru limau yang biasa muncul di suaranya. Shiro menghela napas panjang. "Lain kali, jangan membolos lagi, paham?"

"Baik!"

Fuyumi beranjak duduk di samping Shiro sembari meletakkan setangkai mawarnya di atas makam. "Hai Aoi! Aku datang lagi. Bagaimana kabarmu?"

Warna suara Fuyumi yang biasanya berwarna kuning, kini berangsur-angsur berubah menjadi warna biru. Tatapan ceria gadis itu berubah menjadi sendu, membuat hatiku terasa memar begitu melihat Fuyumi.

Fuyumi yang sekarang... tampak hancur.

Entah sejak kapan, Shiro sudah berdiri di sampingku. Dia menarik ujung lengan seragamku, mengisyaratkanku untuk ikut bersamanya. Aku hanya menurut mengikuti.

"Ada apa?"

"Tidak apa-apa," jawab Shiro. "Hanya saja... berikan Fuyumi sedikit waktu sendiri."

"berdua," koreksiku. "Dia tengah bersama sahabatnya, kan?" Aku mengatakannya, meskipun dalam hati aku sedikit merasa sesak.

Shiro terdiam, kemudian tersenyum tipis. "Ya... berdua."

Warna biru limau memang warna yang indah. Warna yang dominan keluar dari suranya adalah kepribadiannya. Warna biru limau menandakan bahwa Shiro adalah pribadi yang dingin dan tenang. Namun biru juga bisa menunjukkan bahwa Shiro dipenuhi oleh kesedihan. Mungkin luka akan masa lalunya yang belum bisa ia lupakan.

Berbeda dengan Fuyumi yang selalu memancarkan warna kuning, tanpa adanya warna biru yang terselip dalam suaranya. Fuyumi sudah merelakan masa lalunya, dan akan sedih di saat-saat tertentu saja, seperti sekarang.

Mungkin aku ini lancang, namun aku penasaran dengan pribadi Shiro yang sebenarnya. Apakah dia sedari dulu memang begini, atau tidak. Tapi... aku hanyalah orang luar, dan aku bersahabat dengan Fuyumi belum sampai sebulan. Meski begitu... aku ingin tahu lebih banyak tentang mereka. Tentang sahabat baruku ini.

"Jika kamu ingin bercerita... aku akan mendengarkan," ucapku dengan lirih.

Shiro menoleh demi menatapku. "...apa?"

"Cerita saja kepadaku, aku akan mendengarkan, dan aku takkan memaksa. Tetapi, aku akan menunggu hingga kau mau bercerita," tuturku pelan, tak lupa dengan senyum yang mekar di bibirku.

Shiro menatapku dengan tatapan yang tak dapat kuartikan. "Kenapa kau mau melakukannya?"

"Karena kita sahabat...?" Aku menatap lurus ke depan. "Juga sebagai ucapan terima kasih, karena kalian sudah memberiku tempat untuk tersenyum."

Tanpa kuduga, setetes cairan bening menetes dengan mulus di pipi lelaki itu. Hal tersebut membuatku sangat terkejut, hingga aku panik sesaat.

"Kamu baik-baik saja?"

Shiro mengusap matanya dengan cepat, "maaf."

Aku menggeleng, "kau tak perlu minta maaf. Ada apa?"

"Kau... mengingatkanku pada seseorang." Perkataan Shiro membuatku terdiam sesaat.

"Maksudmu... Tsutsui Aoi?"

Lelaki itu mengangguk pelan, "iya. Kau sangat mirip dengannya."

"Aku..." tanganku menggenggam erat rok sekolah yang kukenakkan. "Bolehkah aku... mengetahui tentang kalian lebih banyak lagi?"

Shiro menatapku lamat-lamat, "kenapa tidak?"

"Eh? Benarkah--"

"YUKI! Sini deh!!" Panggilan Fuyumi memotong perkataanku. Gadis itu tersenyum lebar sembari melambai-lambaikan tinggi tangannya. "Aku mau memperkenalkanmu kepada Aoi!"

Aku mencoba memasang senyum terbaikku, kemudian berjalan cepat mendekatinya. Shiro mengekoriku dari belakang. "Iya, aku datang!"

"Nah, Yuki," Fuyumi beranjak berdiri sembari merangkul bahuku. "Ini Aoi. Dan Aoi, ini Yuki."

Aku menatap makam di hadapanku dengan tatapan sendu. "Halo, Aoi. Aku Yuki, sahabatnya Fuyumi, gadis cerewet dan ceroboh ini. Senang bertemu denganmu."

"Hey! Siapa yang kau sebut--Eh, Yuki? Mengapa kau menangis??"

"Hng?" Aku menyentuh pipiku yang dialiri air mata yang sejak kapan ada di sana. "Aku... tidak tahu. Maafkan aku." Aku segera menyeka air mata yang membanjiri pipiku ini. "Maaf ya, Aoi. Aku ini anaknya memang cengeng."

Fuyumi terdiam, kemudian tersenyum sembari menghela napas pelan. Dia merogoh tasnya, kemudian mengeluarkan secarik foto yang bergambar Fuyumi, Shiro, dan aku. Foto itu sempat diambil di Studio selepas latihan kemarin. Fuyumi meletakkan foto tersebut di atas makam tersebut, sembari tersenyum lembut. "Nah, aku kan pernah bilang bahwa aku takkan merasa kesepian tanpamu, kan? Sudah kubuktikan sekarang, bahwa aku dan Shiro dapat bahagia tanpamu. Kami... sudah menemukan seorang sahabat baru, yang bisa menggantikan posisimu. Kuharap, kau juga mendapatkan teman baru di sana ya, Aoi!"

Aku mati-matian berusaha menahan air mataku, meskipun aku gagal dan air mata mulai kembali membanjiri pipiku. Tujuh belas tahun aku hidup, aku tak pernah merasa sebahagia ini. Dapat dibutuhkan dan membutuhkan, saling mempercayai satu sama lain, aku sangat bersyukur bisa bertemu Fuyumi dan Shiro. "Aku... berjanji akan menjaga Fuyumi dan Shiro, Aoi. Jadi kuharap kau tenang di sana."

"Ngomong apa, sih." Fuyumi menatap lembut diriku. "Aoi sudah bahagia di sana, bersama ribuan malaikat lainnya, dengan sayap indah sebening sutra."

"Benar," Shiro tersenyum tipis.

"Nah, sekarang aku tinggal menunaikan satu janji lagi kan, Aoi?" Fuyumi tersenyum begitu lebar. "Yaitu, menciptakan sebuah lagu tentang persahabatan kita!"

***TBC**

Published: 17-04-19

A/N

HAHA, IYA VARA TAU VARA LAGI HIATUS.

Tapi plis, tangan Vara gatel banget pengen pub story berlumut ini :"

Udah lama loh ga update.

Pakabar syndromes yak wkwk.

Eh, udah april, senin vara udah UN, nanti abis UN, VARA APDET SEQUEL SOM YAY!!!

(((^_^))) ~♡

Wokeh, udah yaw, Vara pen opp lagihhhh~

Adios!

Big Luv, Vara
🐣🐤🐥

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro