1 - Akhir Kelana

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Saska, Jeff is calling for you."

Cowok berambut gondrong sebahu itu menyisir rambutnya yang jatuh ke alisnya yang berkerut. Jeff, bosnya, memanggilnya? Sebenarnya itu bukan hal yang jarang bagi Saska. Sebagai atasan langsungnya, ia cukup sering dipanggil oleh Jeff untuk berdiskusi soal desain bangunan yang sedang mereka kerjakan. Namun, entah kenapa, hari ini feeling Saska berkata, ada yang berbeda.

"Coming right away. Thanks, Jenna." Saska merapikan kertas-kertas di mejanya dan berdiri dari kursinya kantornya yang menghadap langsung ke jendela besar yang memperlihatkan Marina Bay Sands dan Helix Bridge yang dilatari langit lembayung senja. Ini Jum'at malam, beberapa staf kantornya sudah mulai bersiap untuk pulang atau lanjut bersenang-senang di kafe-kafe di Clarke Quay. Memastikan penampilannya sudah rapi, Saska mengetuk pintu ruangan Jeff yang sedikit terbuka. Sayup-sayup ia mendengar suara Jeff sedang mengobrol. Ada orang lain di ruangan itu.

Jeff mempersilakannya masuk setelah tiga kali ketukan. Saska membuka pintunya lebar-lebar, dan mendapati wajah yang sudah dikenalnya sedang duduk di kursi tamu sambil menyesap secangkir kopi.

"Kopi, Sas?"

"Ngapain..." Saska tergagap melihat wajah Wisnu, adik ayahnya, berada di sana. Tidak, seharusnya ia tidak heran. Wisnu dan Jeff dulu sama-sama mengambil studi master mereka di Imperial College London, dan seperti berjodoh, keduanya berkesempatan untuk bekerja beberapa tahun di Norman Foster Architect sebelum akhirnya memutuskan untuk membuka kantor arsitek milik mereka sendiri. Saat ini Rubik Architecture Consultant yang mereka dirikan berkantor pusat di Singapura dengan Jeff sebagai penangungjawabnya. Sementara kantor di Jakarta dipegang oleh Wisnu.

Sebenarnya Saska diterima kerja di Rubik Singapore dengan usahanya sendiri, tanpa campur tangan Wisnu. Hubungan mereka sebagai paman dan keponakan juga biasa saja, tidak terlalu dekat. Namun saat Wisnu tahu Saska bekerja di Rubik Singapore, beberapa kali Wisnu mengungkapkan keinginannya untuk mengambil Saska sebagai tim manajemen di kantor Jakarta. Namun, Saska tidak pernah menggubrisnya. Ia memilih kantor Singapura untuk sebuah alasan.

Ia melarikan diri dari sesuatu di Jakarta.

Wisnu bukannya tidak tahu, dan karena itulah akhirnya ia membiarkan Saska berkarir selama bertahun-tahun di Singapura. Namun kali ini, sepertinya Wisnu kembali seerius dengan apa yang dulu pernah ia inginkan.

"Kenapa Pak Wisnu ada di sini?" tanya Saska dalam bahasa Inggris, agar Jeff bisa memahami pembicaraan mereka.

Wisnu hanya tersenyum. "Kaku sekali, Saska. Apa kamu nggak ada niat memanggil dengan sebutan Uncle?"

"Uncle Wisnu." Saska mendelik. "Jeff, apa ini alasanmu memanggil saya?"

Jeff tersenyum. "Ya. Duduklah, Saska. Kita bicara santai saja."

Saska duduk di kursi tamu dengan tatapan waspada. Apa yang mereka inginkan?

"Bagaimana kesanmu tiga tahun di sini, Saska?" tanya Wisnu.

"Baik," jawab Saska singkat. Sejujurnya, ritme kerja di Singapura jauh berbeda dengan kantornya di Jakarta sebelumnya. Di kantornya yang dulu, pekerjaan seolah tak ada habisnya. Semua berkejar-kejaran harus diselesaikan saat itu juga, membuat karyawan harus sering lembur dan bekerja ekstra keras. Di sini, semua serba teratur dan terjadwal dengan baik. Semua orang bekerja dengan disiplin, sehingga seluruh pekerjaan cukup diselesaikan di jam kerja. Hampir tak pernah ada lembur di sini. Menurut Jeff, bekerja efisien membantu kantor untuk mengalokasikan biaya operasional yang lebih efisien juga, sehingga selisihnya bisa dialokasikan ke keuntungan perusahaan, yang berujung meningkatnya kesejahteraan karyawannya.

Selama tiga tahun ini, Saska merasa hidupnya sangat teratur. Kerja pada jamnya, malamnya ia bisa habiskan untuk berolahraga. Pada akhir pekan, ia habiskan waktunya dengan pergi ke perpustakaan atau sekedar trekking di Southern Ridge.

"Jadi, sudah puas berkelana ke Singapura?" tanya Wisnu lagi.

Ujung bibir Saska terangkat. "Apa, Pak Wisnu mau minta saya pindah ke Jakarta lagi?"

Kali ini wajah Wisnu berubah serius. "Kami butuh kamu, Saska."

"Banyak talent yang jauh lebih baik dari saya di Jakarta. Kalian tidak kekurangan orang," tolak Saska halus.

"Oh, ayolah. Kita semua tahu kamu lebih dari sekedar capable." Kali ini Jeff yang angkat bicara. "Kamu selalu segan setiap kali ada pembicaraan soal Jakarta. Apa yang kamu takuti? Apa ada sesuatu yang kamu hindari?"

Saska menjalinkan kedua jemari tangannya dengan tidak nyaman.

"Sudah tiga tahun, Saska. Sudah tidak ada lagi orang yang akan menyalahkan kamu soal kejadian itu," ujar Wisnu pelan. "Kantormu yang dulu juga sangat rapi menutupi kejadiannya. Tidak ada yang membicarakan itu di internet, nama kamu bersih di komunitas arsitek Indonesia."

"Saya ..." Saska kehilangan kata-kata. Kata-kata Wisnu berhasil menjawab semua kekhawatiran Saska soal Jakarta.

"Kamu tahu, kantor mana yang kerja lemburnya lebih gila dari kantor kamu yang dulu?" tanya Wisnu, retoris. "Ya, Rubik Jakarta. Ironis, ya? Di Singapura, di tangan Jeff, semua orang bisa bekerja dengan disiplin. Tapi di Jakarta..." Wisnu kemudian berdecih dan menggelengkan kepalanya, seolah frustasi dengan kondisi kantornya saat ini.

"Banyak proyek?"

"Ya. Itu bagus, tapi dengan manajemen yang buruk, kita tidak akan bisa mendapatkan keuntungan maksimal dari sana," ujar Wisnu. "Saat ini, lembur di kantor sudah menjadi seperti budaya. Harus ada orang yang memutusnya."

"Kenapa bukan Om saja yang mencoba?" tanya Saska, kali ini memanggil Wisnu dengan lebih santai.

"Ini bukan pekerjaan yang bisa dikerjakan dari atas saja. Pendekatan top-down tidak cukup. Harus ada yang membuat disrupsi dari middle management."

Saska mulai bisa menebak ke mana pembicaraan ini akan mengarah.

"Saya baru saja kehilangan satu orang team leader. Dia kena stroke. Usianya baru empat puluh dua," jelas Wisnu. "Sebagai informasi saja, dia salah satu yang paling getol kerja di kantor. Sering menginap, makan tidak teratur, rokok, kopi, sebut saja semua faktor resikonya.

Saska membelalak. "Apa dia..."

Wisnu menggeleng. "Dia masih hidup, tapi lumpuh. Dia sudah tidak bisa bekerja lagi di kantor kita. Seseorang harus menggantikannya. Seseorang yang bisa membawa perubahan."

Wisnu menekankan ucapannya pada kalimat "membawa perubahan". Saska bergeliat tak nyaman di kursinya.

"Dengar. Kamu tidak bisa terus-terusan lari dari masa lalumu. Kalau kamu memang merasa bersalah atas kejadian dulu, kamu bisa membalasnya dengan membuat perubahan di sini. Kalau kamu diam saja, bukan berarti kejadian dulu itu akan terulang di kantor ini."

Saska menghela napas panjang. Inikah akhir dari perkelanaannya di negeri seberang?

"Kamu sudah mendapatkan begitu banyak dari sini. Sekarang saatnya kamu menggunakannya untuk mencegah keburukan dengan tanganmu sendiri."

Wisnu benar. Saska tidak seharusnya lari terus menerus dari kota yang memberinya kenangan buruk. Ia masih punya kesempatan untuk memperbaiki dirinya. Untuk memaafkan dirinya sendiri.

"Baiklah. Jadi mau Om apa?"

"Pindah ke kantor Jakarta," jawab Wisnu tegas. "Saya sudah urus semuanya dengan Jeff. Dia juga setuju."

Saska menatap Jeff, yang hanya mengangguk, menandakan persetujuannya.

Lagi-lagi Saska membuang napas panjang. Ia akan pulang ke kotanya dan membayar kesalaha yang pernah diperbuatnya dulu.

Perkelanaannya berakhir di sini. Ia tidak akan berlari lagi.

[Cerita Saska dapat dibaca di "Redefining Alana", coming soon at Wattpad @aityer & GWP @reytia]

#writober2022

#kelana

#RBMJakarta

#IbuProfesional

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro

#writober