Journey with Him

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Penulis: Daiyasashi
Keyword: Aku, Saat, Meraih, Dandelion (I was reaching for a dandelion)

◇ ○ ◇

Sosok berambut hijau sepunggung itu bergerak mendekatiku. Manik hijau keemasan yang unik berpendar tatkala sinar terang dari angkasa menyoroti paras eloknya. Bibirnya membentuk garis lengkung yang elegan, dengan tetap menjaga citranya sebagai seorang pangeran.

"Ayo pergi, Darren," ajaknya begitu berpapasan denganku. Sebelum akhirnya tubuh berbalut jubah putih itu berlalu melewatiku, lantas beranjak menaiki kuda yang bergeming tak jauh dari tempat kaki ini berpijak.

"Baik, Tuan Pu—" Sosok anggun itu seketika menghentikan aktivitas yang tengah dilakukannya. Sorot mata tajam setajam hunusan pedang terkunci padaku seorang, penuh amarah dan ancaman. Membuatku seketika sadar akan kesalahan yang baru saja terbuat. "Pangeran."

Kembali ke kuda hitam yang bersedia memberiku tunggangan, keempat ruas geraknya mulai membuat langkah demi langkah. Sosok hijau nan anggun yang sangat kuhormati itu telah memacu kudanya terlebih dahulu, meninggalkan diriku yang dengan segera bergegas menyusulnya.

"Sepertinya kau harus membiasakan diri, ya, Darren?" Sang putra ketiga dari penguasa kerajaan melontarkan sepenggal kalimat tatkala aku telah berhasil memacu kuda hingga sampai di sisinya.

"Aku tidak suka bila mereka akan mulai menganggapku sebagai wanita," sambungnya tanpa sedikit pun menyisakan ruang untuk sekadar menatapku.

Aku menunduk sejenak. "Maafkan saya, Pangeran," tuturku setelahnya. Tentu saja aku belum terbiasa untuk memanggilnya dengan sebutan itu.

Kesatria yang sebelumnya biasa mendampingi sang pangeran, secara mengejutkan ditemukan dalam keadaan tak bernyawa belum lama ini. Entah itu karena pembunuhan atau ada faktor alami yang memicu kematiannya, yang jelas hingga saat ini informasi akurat belum juga ditemukan.

Akibat lain dari peristiwa tersebut, membuat diriku yang sejatinya adalah wakil komandan pasukan khusus, beralih menjadi kesatria pribadi sang pangeran.

Yah … dia sendiri, sih, yang memintaku untuk menjadi kesatria pribadinya. Atau mungkin lebih tepat jika dikatakan sebagai pemaksaan? Sebab dia sempat mengancamku--bahkan aku percaya jika dia benar-benar akan melakukan sesuatu yang merugikan untukku jika aku menolak permintaannya.

Sejatinya, Pangeran Elenio itu adalah seorang wanita--walau hanya sedikit sekali orang yang mengetahui tentang fakta ini dan kebanyakan orang yang mengetahuinya adalah mereka yang tinggal di dalam istana. Dia adalah putri yang secara resmi tidak dianggap menjadi bagian dari keluarga kerajaan. Akan tetapi, baginda raja tetap memperbolehkannya tinggal di lingkungan istana.

Kedudukannya mulai berubah setelah kematian kakaknya, yakni Pangeran Elenio yang asli--dengan kasus kematian yang sama anehnya seperti yang dialami kesatria pribadinya sebelum itu. Membuat dia mendapat hak khusus dari baginda raja untuk menempati posisi kakak lelakinya sebagai pangeran.

"Omong-omong, Darren, kau itu masih memiliki hubungan darah dengan Marquis Norville, bukan?" Bersamaan dengan berembusnya angin yang berhasil membuat helai-helai hijau miliknya melambai dengan indah, suara yang berisikan pertanyaan itu terdengar.

Tidak ada nada amarah dalam setiap kata yang diungkapkannya saat ini, berbanding terbalik dengan yang tadi. Mengisyaratkan bahwa dia telah benar-benar memaafkan kesalahanku.

"Hanya anak haram, tidak lebih." Jawaban itu terlontar pelan dari mulut ini, nyaris terdengar seperti siulan semata.

Aku menghela napas panjang, berusaha menahan diri agar tidak melontarkan kalimat memalukan seperti itu. "Iya, saya memilikinya, Pangeran," jawabku sedikit lebih keras daripada jawaban yang awal.

Sosok anggun yang tengah menunggangi kuda putih itu tersenyum simpul, lantas menoleh ke arahku. "Lalu Darren, apakah kau mengetahui apa yang telah mereka perbuat pada kerajaan?"

Aku mengerjap. Dia memang mengatakan kalimat tersebut dengan ringan tanpa penekanan. Akan tetapi, aku sama sekali tidak melebih-lebihkan--dari kalimat yang dikatakannya, terselip aura kengeringan yang begitu kuat.

"Memangnya apa yang telah mereka lakukan pada kerajaan, Pangeran?" tanyaku dengan hati-hati.

Walaupun aku memang memiliki hubungan darah dengan keluarga bangsawan itu, tetapi aku sama sekali tidak bersimpati pada mereka. Terlebih, aku benar-benar tidak ingin terlibat dalam masalah yang tercipta atas kelakuan mereka.

"Jika mereka hanya membuka lahan untuk menanam tanaman memabukkan, kurasa ayahanda masih dapat memberikan toleransi." Dia menghilangkan keformalan pada ucapannya--menyebut baginda raja dengan sebutan ayahanda. "Tapi, tidak untuk penjualan informasi," lanjutnya.

Lagi-lagi dia berhasil membuat jantung ini nyaris berhenti berdetak karena ucapannya. Aku berdecak, "Memalukan!" Kebencian datang dari lubuk hati terdalam. Seketika itu juga aku benar-benar mengutuk mereka--keluarga bangsawan yang tinggal di dalam mansion mewah wilayah utara.

Sosok beriris hijau keemasan itu mengunci pandangan ke arahku, lantas terkekeh lepas. "Darren, sebaiknya kau jangan terlalu cepat naik pitam. Kau bahkan belum memastikan apakah yang kuucapkan ini terbukti kebenarannya ataukah tidak." Sebuah teguran terucap dari mulut sosok anggun yang bahkan usianya belum genap kepala dua. Seolah menampar wajah ini dengan kalimat-kalimat yang nyata.

Dia benar, aku terlalu cepat menarik kesimpulan. "Pangeran, Anda benar. Mohon maafkan saya."

Kuperhatikan baik-baik sosok yang tengah duduk menunggangi kuda putih. Memang benar, dia hampir tidak terlihat seperti wanita. Mulai dari rahang persegi yang terpahat alami, membuat kesan tegasnya semakin kentara. Juga mata almond dengan dua alis penuh yang melekat di atasnya, yang disempurnakan dengan hidung lurus milikinya.

Dia juga selalu mengenakan pakaian longgar--bahkan terkadang terlihat kebesaran--untuk menyamarkan tonjolan yang tercipta di dadanya. Suaranya juga terdengar cukup berat layaknya pria. Selain itu, dia cukup tinggi untuk ukuran seorang gadis, bahkan tingginya hampir sepantar denganku.

"Tidak ada yang perlu dimaafkan," celetuk sosok anggun tersebut. Helai-helai rambut hijaunya kembali melambai, bersamaan dengan jubah putihnya yang berkibar lembut. Dia memalingkan wajah, kembali mengarahkan pandangan untuk menatap lurus jauh ke depan.

"Ketika seseorang mulai membenci suatu individu, dia akan mudah terpancing amarahnya manakala individu tersebut melakukan kesalahan, sekecil apa pun kesalahan itu." Kelopak matanya terkulai, sedangkan senyumnya melebar. "Kupikir, aku sudah bisa menebak apa yang kau rasakan barusan."

Dia akan salah besar jika menyebut perasaanku barusan sebagai amarah. Sesuatu yang bergejolak di dalam hatiku beberapa saat lalu adalah kebencian disertai rasa muak yang teramat besar. Saking besarnya perasaan itu, aku sampai berharap bisa memenggal kepala mereka--bangsawan yang tinggal di daerah utara dalam sekali kesempatan.

"Anda curang. Semudah itukah Anda mengetahui bahwa seseorang yang saat ini berada di sisi Anda memiliki hubungan yang kurang baik dengan keluarganya?" Aku memalsukan senyuman. Rasanya begitu sulit untuk bisa tersenyum di saat-saat seperti ini. Ah, diri ini sama sekali belum terbiasa berada di sampingnya.

Kembali lagi dia terkekeh-kekeh mendengar perkataanku. "Sudahlah, Darren. Akui saja jika aku ini memang pintar," hembus remaja--entah aku harus memanggilnya pemudi atau pemuda--yang berpakaian serba putih itu.

Hingga akhirnya dia menghela napas panjang setelah puas tertawa. Sosok anggun itu mulai memudarkan senyumnya, lantas kembali menoleh ke arahku. Kali ini dengan tatapan yang serius.

"Maaf sudah membuatmu emosi, Darren. Namun, sejujurnya berita yang tadi kusampaikan padamu itu benar adanya."

◇ ○ ◇

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro