Bab 23

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ini adalah hari terakhirku bekerja. Aku berpamitan dengan yang lain karena mereka sudah sangat baik padaku selama ini. Aku membawakan mereka kue yang kubeli dari Golden Bakery sebagai salam perpisahan. Mereka tampak menyukainya.

"Ngomong-ngomong, kenapa Kakak keluar dari pekerjaan ini? Baru sekitar bulan lalu Kakak masuk."

"Yah, aku ada urusan yang lebih penting. Lagi pula, bekerja bukanlah prioritasku untuk sekarang," jelasku pada Jay yang penasaran mengenai alasanku resign.

"Memang urusan macam apa itu? Apa yang lebih penting dari mencari uang? Bagaimana kau makan dan membiayai hidupmu tanpa uang?"

"Itu ...." Aku mengusap leherku. Mengingat ucapan Taehyung saat di mobil, sebenarnya dia telah membantuku menyiapkan jawaban dalam kondisi mendesak.

"Senior, sebenarnya aku sudah punya suami."

"Apa?!" Para kru yang mendengar kalimatku, kompak berteriak.

"Jelaskan! Kok kami nggak tau apa-apa? Kupikir kita sama-sama single!"

"Yang benar saja, Kak! Kau kelihatan muda, apa iya sudah menikah?"

Aku mengamati wajah mereka satu-satu. Pusing juga ya, harus meluruskan kebenaran yang sengaja disembunyikan. Karena pernikahanku dan Taehyung dirahasiakan, mereka jadi syok setelah tahu statusku. Sesungguhnya, perlahan-lahan, aku dan Taehyung ingin memublikasikan pernikahan kami. Tapi Taehyung bilang, akan lebih baik dilakukan setelah proyek dramanya selesai. Aku tak tahu apa yang ia rencanakan, namun aku yakin dan percaya pada keputusannya.

"Seperti apa suamimu? Aku tidak pernah melihatnya," tanya salah seorang senior.

"Iya ... dia jarang bersamaku, begitulah."

Bukannya jarang bersamaku. Dia yang selalu menjauh, padahal jarak kami sangat dekat. Kim Taehyung, bukankah kita bisa lebih akrab lagi di tempat kerja? Sayang, status pernikahan kita tak bisa diumbar kepada orang lain dalam waktu singkat. Atau, dunia entertainment akan kembali heboh. Dan entah apa yang akan terjadi padaku ketika kedua orang tuamu mengetahui kalau kita berbaikan dan memulai hubungan dari nol. Mereka tidak akan membunuhku kan? Terutama Mamamu.

"Jangan bilang kau sedang hamil, ya?! Makanya kau mau keluar dari pekerjaan!! Iya, kan?"

Lah, kok hamil! Aduh, jadi tambah salah paham begini.

Konyolnya, ketika senior mengatakan itu, Kim Taehyung muncul bak tamu tak diundang. Pandangan kami bertemu. Aku memprotes padanya melalui isyarat mata. Kenapa alasan yang dia berikan malah membuat orang-orang mengira kalau aku hamil? Tapi, Taehyung tampak menahan tawa. Sekarang, bagaimana aku harus menyikapi mereka?

"Kalian tidak tahu saja. Sohyun bukannya hamil, dia malah sudah punya anak."

"Su–sutradara Ye?"

Sekarang apa lagi yang mau dia katakan? Jangan sampai itu malah menambah beban pikiranku. Aku tak berdaya dan cuma bisa memijit kedua pelipisku.

"Aku yang membawa Sohyun bekerja di sini. Jadi, aku tahu tentang keluarganya."

Orang-orang melongo tak percaya. Seorang Sutradara Ye yang selalu serius dalam bekerja, mendadak ikut bergabung bersama para krunya memperbincangkan masalah di luar meeting. Aku yakin, mereka merasa ada yang tidak beres dengan Taehyung. Sama seperti yang kurasakan sebelumnya. Lucunya, beberapa anak baru wajahnya tampak pucat pasi. Mungkin mereka tidak terbiasa oleh Sutradara Ye yang bersikap ramah.

"Lalu, apakah Sutradara Ye juga sudah tahu seperti apa suami Sohyun?"

Taehyung melirikku, ia tersenyum simpul. Belakangan, pria itu mudah sekali mengulas senyum. Mungkin aku seperti mereka, yang masih asing dengan perubahan dadakannya. Kadang-kadang aku dibuat seperti sedang bermimpi.

"Iya, tentu saja. Suaminya itu pria yang tampan, berwibawa, sopan dan penuh cinta."

Sebentar, apa dia sedang memuji dirinya sendiri??

"Wah! Hebat! Kau memang yang terbaik, Kim Sohyun! Aku kagum padamu, bagaimana cara mendapatkan suami seperti itu? Katakan padaku! Aku juga ingin segera menikah, aku tidak mau jadi perawan tua!"

Aku lupa, ada satu orang yang masih belum menikah dalam kru kami. Umurnya tiga puluhan lebih. Seniorku, yang sebenarnya kalau diamati wajahnya lumayan manis. Tapi ... kelakuannya seperti anak kecil. Senior, kalau kau mau dapat jodoh, bersikaplah lebih layak lagi. Aku prihatin padamu.

"Se–senior, jangan khawatir. Kau akan mendapat laki-laki yang tepat nanti," ujarku menenangkannya sambil menepuk-nepuk pundak senior.

"Ya sudah, aku pamit dulu. Aku harus menjemput (calon) anakku."

"Hah, dasar. Selain cantik, kau ibu yang perhatian juga, ya."

Dengan berat hati, aku meninggalkan lokasi syuting. Senang sekali bekerja bersama mereka. Meskipun tak lama, kami sudah seperti keluarga. Tapi mau bagaimana lagi, aku tak ingin meninggalkan Hamin sendirian di rumah dan harus sibuk bekerja. Lebih baik jadi ibu rumah tangga saja. Banyak hal yang bisa aku lakukan juga nantinya.

Aku pun sampai di luar lokasi syuting, sedang menunggu taksi di pinggir jalan. Sekarang adalah jam di mana Hamin pulang sekolah. Aku akan menjemputnya. Lagi pula, aku sudah mengantongi izin dari Bibi. Dan pria itu—Seokjin—tidak perlu bertemu lagi dengan Hamin. Aku dan Hamin, walaupun kami terlihat dekat dan sepertinya ia menerima baik kehadiranku, tetap saja. Kemungkinan ia masih menganggapku orang asing cukup besar. Dan aku ingin menghapus anggapan itu darinya.

Saat melamun, mendadak seseorang menyelipkan jari-jarinya ke jariku dari arah belakang. Aku menoleh dan Taehyung sudah berdiri di sana dengan sebuah topi hitam yang menghalangi wajahnya.

"Kau? Kenapa kau di sini? Bagaimana syutingnya?"

"Masih break, kan? Aku ada waktu. Ayo, kita jemput anak kita bersama."

Apa iya, Kim Taehyung selembut ini? Aku sampai tidak bisa menahan senyum. Dia pria yang baik dan peduli pada anak-anak. Selama ini aku salah menilainya.

"Kalau begitu, kenapa tidak pakai mobilmu saja?"

"Jangan. Sekali-kali, aku ingin naik taksi bersamamu. Sekaligus ingin kupastikan, apakah taksi adalah kendaraan yang aman kau naiki selama aku tak bisa mengantarmu menggunakan mobilku."

***

"Paman!!"

Hamin berlari kecil menghampiri Taehyung. Kami berdiri di pintu gerbang. Meski mengenakan topi, aku kagum pada Hamin yang bisa langsung mengenali Taehyung—orang yang baru ia temui sekali. Hebat juga pengaruh pria ini.

"Hai, Sayang!" Taehyung mengangkat tubuh anak itu, lalu memutarnya 360° seolah berperan sebagai wahana permainan yang ada di pasar malam. Hamin cekikikan.

"Paman menjemputku? Apa Paman akan mengajakku ke rumah Paman lagi?"

"Iya, dong! Hamin mau, kan?"

"Yes! Mau, Paman! Rumah Paman kan bagus, banyak mainannya! Hamin suka."

"Mainan?" tanyaku mengernyitkan dahi.

Sejak kapan Taehyung menyimpan mainan anak kecil?

"Kau dapat mainan dari mana?"

Taehyung membalikkan badan. Entah ia dengar pertanyaanku atau tidak. Ia sibuk mencegat taksi. Aku mengikutinya dari belakang. Sesaat kemudian, ia pun menanggapi.

"Sebenarnya, aku beli mainan itu sejak kehamilanmu memasuki usia tujuh bulan," ujarnya tanpa menatap wajahku. Aku bisa lihat kedua telinganya yang memerah.

Langkahku terhenti. Tiba-tiba rasa bersalah merayapiku. Taehyung, seperhatian itu kah kau pada bayimu?
Aku menyesal baru mengetahuinya sekarang. Jika saja Sohyun yang dulu mengerti kehangatanmu, mungkin ia tak membutuhkan pertolonganku saat ini.

"Kau sedang apa? Ayo, masuk. Sebentar lagi mau hujan."

Tidak tahu sejak kapan taksi sudah datang dan Taehyung ada di kursi penumpang. Melihat langit yang mulai gelap, aku pun segera ikut masuk ke dalam mobil. Selama perjalanan, Taehyung tak berhenti mengajak bercanda Hamin. Anak itu sampai tertawa terpingkal-pingkal akan tingkah konyol Taehyung. Hingga ... percakapan mereka berhasil menyita perhatianku.

"Hamin, menurutmu ... bukankah lebih seru kalau kau memanggil Paman dengan sebutan 'Daddy' dan memanggil Bibi dengan sebutan 'Mommy'?"

Awalnya, aku agak terkejut. Kok bisa pria itu menanyakan rencana adopsi secara to the point pada Hamin yang masih kecil? Apa tidak terlalu terburu-buru?

"Bolehkah Hamin memanggil kalian Daddy dan Mommy?"

"Tentu saja, Sayang. Kami sebenarnya mau menjadi orang tua Hamin. Kalau Hamin suka, kita bertiga bisa tinggal bersama. Bahkan, bisa tidur bersama."

Aku memicing ke arah Taehyung. Ah, dia sama sekali tidak menggubrisku. Kurasa ia sedang berbicara serius. Taehyung tengah berjuang untuk mendapatkan hati Hamin.

"Hamin kenapa cemberut? Apa Paman membuat Hamin sedih?"

Hamin menggeleng kecil.

"Nenek bilang, Kakak dan Ayah pergi jauh. Kalau mereka kembali dan mencari Hamin bagaimana?"

Oh, tidak. Hamin mengira aku dan Paman masih hidup. Raut wajahku yang tadi berseri, perlahan redup. Hamin terbiasa tinggal bertiga bersamaku dan Paman—ayahnya. Kami menikmati momen-momen penting bersama, dengan cara yang sederhana. Mungkin sekarang aku bisa menyapanya, menyentuhnya, mengusap kepalanya, tapi jika suatu hari Sohyun mengambil tubuhnya lagi ... aku akan sama seperti Paman, yang tidak akan pernah bisa kembali. Tidak kuasa membayangkan kesedihan Hamin, aku meraih tubuhnya dari pangkuan Taehyung. Memeluk tubuh kecil anak itu. Mengecup kening dan pipinya, lalu berkata selayaknya orang dewasa.

"Hamin, kamu tidak usah cemas. Kakak dan Pamanmu memang pergi jauh. Mereka tidak akan kembali dalam waktu yang sangaaaat lama. Kelak, Hamin akan bertemu dengan mereka bila waktunya tiba."

"Bibi tidak berbohong?"

"Hm, tidak. Untuk apa Bibi membohongimu? Seperti yang pernah Bibi bilang. Bibi dulu mengenal Kakakmu. Kakakmu berpesan pada Bibi, agar Bibi menjagamu sampai kamu besar. Nah, sekarang terserah Hamin. Apakah Hamin mau ikut bersama Paman dan Bibi atau tidak. Kami tidak akan memaksa," jelasku sambil menarik hidungnya yang mungil dengan gemas.

Taehyung mengangguk, membenarkan ucapanku. Mungkin ini terdengar seperti sedang membujuk anak kecil dan mengiming-imingi mereka dengan permen. Tapi, tidak mungkin kan aku berterus terang pada Hamin, kalau Kakak dan Pamannya pergi dan tidak akan pernah kembali? Mereka sudah tenang di atas sana, kecuali aku. Yang masih terjebak di dunia ini dan bahkan memiliki identitas baru sebagai Sohyun.

"Nenek bagaimana? Nenek pasti sedih kalau Hamin pergi."

"Kita akan mengunjungi Nenek sering-sering. Setiap pulang sekolah, Bibi akan menemani Hamin bermain ke tempat Nenek. Gimana?"

"Benarkah?"

"Iya. Bibi janji."

Aku pun memberikan kelingkingku pada Hamin. Anak itu dengan polos menyambutnya gembira. Hatiku ikut bahagia.

"Jadi, Hamin bersedia memanggil kami Mommy dan Daddy?"

"Iya. Apa sekarang Hamin sudah punya orang tua?"

"Iya, Sayang. Sekarang, kami orang tuamu. Kau tidak sendirian lagi," timpal Taehyung.

Siang pun berlalu begitu cepat. Menikmati momen kebersamaan dengan Hamin, membuatku dan Taehyung jadi semakin dekat. Hamin sekali lagi menjadi tanggung jawabku dan aku tidak merasa keberatan. Aku merindukannya. Rindu memasakkan makanan untuknya, rindu bermain dengannya. Hanya saja, ia tidak akan memanggilku Kakak lagi, tetapi 'Mommy'.

Sulit di percaya. Di umurku yang memasuki 22 tahun, aku sudah jadi seorang ibu. Jujur, aku tidak tahu bagaimana bersikap layaknya ibu dengan satu anak. Aku pandai mengasuh Hamin, tapi sebagai kakaknya. Apakah aku bisa menjadi seorang ibu seperti yang Hamin harapkan?

***

Suara hujan terdengar keras menjatuhkan diri di atas kolam renang yang ada di apartemen kami. Kilat di luar menyambar-nyambar diiringi angin yang berembus kencang. Karena cuaca yang buruk, Hamin tidak jadi kami antar pulang ke rumah Bibi—neneknya. Kami terpaksa membuatnya menginap di apartemen. Sekarang, ia sedang bersama Taehyung dan sepertinya mereka berdua sedang tidur. Apalagi ini sudah di atas jam sepuluh malam.

Aku baru sempat mandi. Selesai mandi, tiba-tiba lampu mati dan suara guntur semakin menjadi-jadi. Mungkin ini pemadaman di seluruh apartemen untuk mencegah hal buruk terjadi. Karena tak bisa melihat dalam kondisi gelap gulita, tanpa sengaja aku terpeleset. Kakiku terkilir dan kepalaku terbentur ke dinding. Spontan aku berteriak minta tolong.

Tak lama kemudian, suara pintu kamar mandi digedor dari luar. Itu Taehyung! Tampaknya ia mendengar teriakanku dari kamar mandi.

"Sohyun? Kau baik-baik saja?"

"Aku terpeleset—"

Brak. Pintu kamar mandi langsung terbuka sekali dobrak. Aku buru-buru merapikan bathrobe-ku yang belum sempat kuikat talinya.

"Kenapa kau dobrak pintunya?!"

"Ya ... habisnya, kau bilang ... kau terpeleset. Aku kan panik."

Aku meraih tanganku ke dinding, mencoba untuk berdiri namun tidak bisa. Kepalaku juga terasa pusing. Di saat butuh pertolongan, Taehyung dengan sigap mengangkat tubuhku membantuku berdiri. Tapi aku salah, tiba-tiba saja ia menggendongku dan membawaku ke atas ranjang.

"Mana yang sakit?"

"Ka–kaki, sepertinya terkilir."

Kenapa dia seperti ini padaku? Bagaimana kalau aku sampai jatuh cinta padanya? Dia kan suami Sohyun.

Taehyung menyalakan senter dari ponselnya. Langkahnya terburu-buru menuju ke laci meja. Mencari sesuatu dari dalam sana. Setelah apa yang ia butuhkan ketemu, ia kembali lagi padaku.

"Bisa kau singkap bagian bawah bathrobe-mu?"

"K–kenapa?! Kenapa begitu? Kan pergelangan kakiku yang terkilir."

"Sudah, lakukan saja! Atau aku sendiri yang akan menyingkapnya," ancamnya.

Akhirnya kuturuti saja kemauannya. Daripada ia berbuat aneh-aneh padaku, kan?

"Segini cukup?"

"Lagi, sampai atas lutut."

Aku menelan salivaku. Nyaris tak bisa bernapas ketika jari telunjuk pria itu mengusap lutut kananku yang ternyata mengeluarkan darah.

"Sakit?"

"Sedikit," jawabku meringis kesakitan.

Aku tidak tahu kalau lututku terluka. Apa mata pria ini punya mode night vision? Masih bingung harus bereaksi seperti apa, tangan Taehyung yang menyentuh pahaku membuatku terkaget-kaget.

"A–apa?! Ada apa?"

"Bathrobe-mu basah, sebaiknya kau ganti baju."

"A–ah, i–iya juga. Kau benar. Ganti baju, ya?"

Sial. Aku jadi salah tingkah dibuatnya.

"Kau bisa ganti baju sendiri? Atau mau kubantu?"

Dibantu? Apa maksudnya dia mau membantuku ganti baju?? Dia mau melihat tubuhku, hah?

Ti–tidak. Secara teknis, ini tubuh Sohyun. Seharusnya aku tidak malu, dia kan sudah pernah begituan sama Sohyun. Iya, kan? Apa logikaku salah?

"Di sebelah mana kau letakkan piyamamu?"

Sibuk dengan pikiranku sendiri, tahu-tahu Kim Taehyung sudah berdiri di depan lemari. Otakku yang masih blank dengan gamblang mengatakan posisi piyamaku yang ada di rak lemari nomor dua dari atas.

"Ayo, dilepas."

Oh my!

"Lepas apanya?"

"Bathrobe, apa lagi? Cepat. Keburu masuk angin."

"Kau serius?"

"Dua rius!"

"Kau mau membantuku ganti baju?"

"Iya. Memangnya tidak boleh? Aku suamimu, kan?"

Secara teknis begitu. Tapi aku tetaplah orang lain! Hei, Taehyung. Wanita di depanmu ini bukanlah istrimu, melainkan Yooseul! Kau mau menelanjangiku hah??

"Kenapa mukamu tegang begitu? Kau bisa ganti sendiri?"

"Bisa. Aku bisa sendiri. Tidak perlu membantuku."

"Oke, oke. Ya sudah, cepat lepas dan ganti dengan ini."

Taehyung menyerahkan piyama berwarna biru muda itu. Piyama siapa ini? Aku tak pernah melihat itu sebelumnya. Kapan Sohyun punya piyama satin ini?

"Mau ke mana?" Taehyung menyetopku begitu tahu aku hendak beranjak turun dari tempat tidur.

"Ke kamar mandi lah, mau ganti baju."

"Sohyun, kau tidak kapok barusan terjatuh di sana? Sudah, ganti di sini saja."

"Apa?? Di sini?"

Pria ini membuatku gila! Kalau dia melihatku, sama saja dia menelanjangiku meskipun aku menggunakan tanganku sendiri untuk berganti baju!!

"Kenapa? Kau malu?"

Hah?? Apa ekspresiku mudah ditebak??

"Baiklah, aku akan berbalik badan. Kau gantilah bajumu dengan tenang."

"Kau nggak akan mengintip, kan?"

"Tidak akan."

"Janji?"

"Tidak janji," ejeknya, lalu tertawa. "Iya, iya. Aku tidak akan menengok ke belakang sebelum kau selesai."

Aku mulai bernapas lega. Seperti ucapannya, pria itu pun berdiri memunggungiku. Aku cepat-cepat mengganti bajuku. Namun sial, saking buru-burunya aku malah membuat lukaku tambah sakit. Aku refleks menjerit.

"Kenapa, Sohyun—"

Sial!!! Dia melihatku!!!

"Balik badanmu lagi!! Aku belum selesai, Taehyung!"

"Aah, ma–maaf, maaf. Aku panik...."

Jantungku berdegup tidak normal. Hah, ada apa ini? Meskipun aku mencoba menenangkan diri, aku tidak bisa. Debaran jantungku semakin cepat, rasanya mau meledak.

"Sohyun?"

"Ya?"

Mendengar suara Taehyung dengan lembut memanggil namaku, seluruh tubuhku terasa seperti terbakar. Aku sudah tidak fokus lagi berganti baju. Piyama ini mungkin sudah terpakai di tubuhku, tapi sepertinya aku tak mengenakannya dengan benar. Jubahnya belum terpasang dan aku hanya mengenakan bagian dalamnya yang tanpa lengan dan berpotongan dada rendah.

Taehyung berbalik badan. "Sepertinya sudah selesai, ya?"

Aku tak dapat melihat wajahnya dengan jelas karena minim penerangan. Tapi aku tahu, dia mengamatiku dalam-dalam. Membuatku mati gaya.

"Sudah kuduga, piyama itu cocok untukmu."

Kim Taehyung mendekat. Aku yang berada di pinggir ranjang, perlahan mulai memundurkan badan. Punggungku menyentuh headboard kasur. Pria itu merangkak naik ke atas ranjang mengikuti gerakanku. Kedua lengannya memerangkap kedua sisi tubuhku.

"Sohyun? Mengenai permintaanku di mobil waktu itu, bisakah kau kabulkan sekarang?"

"Permintaan—"

Tiba-tiba, suara Taehyung yang meminta satu hal terngiang di kepalaku. Cium aku. Aku langsung menutup bibirku menggunakan telapak tangan. Taehyung yang entah menunjukkan ekspresi seperti apa—karena aku tak berani melihatnya, aku memejamkan kedua mata—seketika menyingkirkan kedua tanganku dari bibir. Suara hujan di luar masih terdengar deras. Namun, aku dapat mendengar degup jantungku yang berpacu semakin cepat. Juga ... detak jantung pria ini yang bertalu di kepalaku. Apa Taehyung merasakan gairah yang sama?

"Sohyun, aku ingin mencintaimu lebih dalam lagi."

Dan seketika, bibir kami menyatu. Kim Taehyung mencium lembut bibirku, mengisapnya dari atas sampai bawah tanpa terlewat. Aku yang tak pandai berciuman, mengandalkan instingku dan mengikuti gerakannya. Taehyung sama sekali tak memprotes kepayahanku. Ya benar, sebaiknya aku membalas perhatian Taehyung. Jika ini yang ia minta, aku tidak akan menolaknya. Kali ini saja. Biarkan aku egois, biarkan aku merasakan betapa indahnya jatuh cinta. Betapa indahnya mencium orang yang kusuka.

Aku tenggelam dalam buaiannya. Tanpa sadar, tangan Kim Taehyung merayap naik di balik rok piyama yang kupakai. Tangannya yang hangat menyentuh kulit pahaku secara langsung, sedikit meremasnya, membuatku makin menggila. Ciuman dan lumatan yang ia berikan pada bibirku, kini turun menyasar leherku yang terbuka.

"Tae ... hyung?"

"Aku sudah lama memimpikan ini, Sohyun. Kuharap, kau mendesahkan namaku malam ini ...," bisiknya seduktif di telingaku.

Tidak. Aku ingin menolaknya untuk berbuat lebih jauh. Tapi aku menyukai sentuhan Taehyung. Ada apa denganku? Aku sama sekali tak bisa menolaknya. Ke mana ketegasanku pergi?

Di saat sebelah tangannya yang lain hendak menyentuh dadaku, tiba-tiba pintu terbuka.

"Mommy, Daddy? Kalian sedang apa?"

"Ah, tidak," ucap Taehyung dengan nada kecewa. "Sebaiknya aku tidak lupa mengunci pintunya lain kali."

"Taehyung! Dia anak kita, kau tega mengurungnya di luar," protesku.

Taehyung tertawa dan mengakhiri aktivitas panas kami dengan kecupan di hidungku.

"Kali ini kau selamat, tapi tidak untuk kesempatan berikutnya."

***

Tbc

Huwaaaaaaaaaaa!!!!

Aku update lagi, makasih udah nungguin ceritanya.

Di bab ini, aku kasih full momen Taeso. Di bab-bab selanjutnya, harus siap mikir lagi ya? Hehehehe😌







Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro