Bab 33

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sudah beberapa hari aku dilanda perasaan cemas. Setelah mengetahui fakta bahwa rohku terlepas dan roh Sohyun kembali ke dalam tubuhnya, aku merasa was-was. Bagaimana nasibku nanti? Bahkan setelah aku keluar dari tubuh itu, tidak ada sesuatu pun yang terjadi. Sohyun tak dapat melihatku. Tetapi, aku dapat melihat setiap gerak-gerik dan aktivitasnya.

Aku memantaunya sepanjang hari karena tampaknya tak hanya diriku, tetapi Taehyung juga kelihatan khawatir. Bagaimana tidak? Istrinya menunjukkan sikap yang sama seperti dulu. Sering melamun, tak banyak bicara, bahkan kini mengabaikannya dan juga Hamin.

Seandainya aku dapat berbicara pada Sohyun, ingin sekali aku memberitakan semua hal yang telah terjadi. Tentang bagaimana sikap Taehyung kini kepadanya, tentang siapa Hamin dan situasi seperti apa yang tengah ia hadapi. Aku ingin memberitahu segalanya. Sayangnya, Tuhan mencegahku bicara dan membiarkanku menyaksikan ini semua.

"Sohyun? Kau tidak memasak?"

Mataku otomatis mengarah ke jam dinding. Pukul sepuluh pagi dan belum ada sarapan di atas meja. Oh, tidak. Hamin pasti kelaparan sekarang.

"Sohyun? Kau aneh akhir-akhir ini. Kenapa kau jadi pendiam dan sering melamun? Apa ... apa permintaanku tempo hari sangat membebanimu?"

Tidak. Bukan begitu. Yang kau ajak bicara itu Sohyun yang asli!

"Daddy ... perut Hamin bunyi." Hamin, anak kecil itu tampak mengintip dari arah dapur. Ekspresi wajahnya begitu melas. Membuatku tersentuh dan iba.

"Hamin, kalau begitu Daddy buatkan omelet, ya."

"Daddy, sudah tiga hari kita makan omelet terus."

Kening Taehyung berkerut. Tangannya terulur untuk menarik Hamin ke dalam pelukan. Ia memanjakan Hamin seperti memanjakan anaknya sendiri. Taehyung mencium puncak kepala anak itu seraya berkata, "Mommy sedang tidak enak badan. Kau harus bersabar, ya, Sayang."

"Mommy sakit? Pantas saja Mommy jarang main sama Hamin dan juga Nenek. Nenek bilang, Nenek menghawatirkan Mommy."

"Oh ya? Kalau begitu, saat Nenek main ke rumah, Hamin panggil Daddy saja, ya. Kita main bertiga. Biar Mommy istirahat."

"Oke. Daddy janji? Daddy kan selalu sibuk."

"Iya, Daddy janji."

Dan seperti yang Taehyung bilang, ia menggantikan Sohyun dengan mengajak Hamin bermain. Memasakkan makanan untuknya meskipun menunya hampir sama setiap hari. Di sela-sela waktu luang, ia menyempatkan diri untuk membuka laptop dan melanjutkan pekerjaannya.

Aku terenyuh. Tidak seharusnya Taehyung kecapaian sendiri. Kondisinya tampak mengenaskan. Aku beberapa kali memergokinya menghela napas panjang. Ia juga sering memegangi kepalanya, mungkin pusing, aku tidak tahu. Wajahnya terlihat lelah. Kalau malam, ia terpaksa lembur karena waktu pagi dan sorenya ia habiskan untuk menjaga Hamin.

Rasanya aku ingin sekali kembali ke posisi itu. Posisi sebagai istri Kim Taehyung. Jika aku menjadi istrinya lagi, ia pasti tidak akan kelelahan karena memaksakan diri untuk melakukan semua hal sendirian. Namun, lagi-lagi keberadaan Sohyun mencegahku. Aku sadar, itu bukan tubuhku. Aku tidak boleh serakah untuk merebut kehidupan Sohyun dan berpura-pura menjadi dirinya.

Lalu, apa yang bisa kulakukan? Memandangi Taehyung dari dekat tanpa pria itu sadari bahwa aku menemaninya setiap hari? Atau berbaring di sebelah Hamin, mengecup keningnya dan membelainya setiap malam dengan kedua tanganku yang tembus pandang? Apa yang aku harapkan dengan melakukan semua itu? Aku malah semakin menunjukkan keserakahanku, bahwa aku ingin kembali bersama mereka.

"Sohyun! Sohyun, apa kau mendengarku?!"

Aku melambai-lambaikan tanganku di depan wajah Sohyun. Tatapan wanita itu sangat kosong. Taehyung bukannya tidak memedulikannya, ia bahkan tak pernah lupa membawakan Sohyun makanan bila waktunya tiba. Tetapi, dari hari ke hari kuperhatikan tubuh Sohyun kembali kurus seperti pertama kali kami bertemu. Menyusut seperti dulu. Membuatku cukup tertekan.

"Sohyun, apa yang kau lakukan? Kenapa kau bersikap seperti ini? Aku sudah berhasil membuat suamimu menyayangimu. Aku juga sudah mengungkap sikap busuk kakakmu, tetapi kenapa kau tak berubah? Kau masih sama seperti dulu. Kenapa Kim Sohyun?" keluhku.

"Sadarlah! Kau kini memiliki suami yang memperhatikanmu, kau bahkan punya seorang anak laki-laki yang manis dan imut! Hidupmu jauh lebih baik daripada dulu! Karena itu, kumohon, jangan menyia-nyiakan usahaku...."

Sohyun tak bergeming. Pintu kamar pun terbuka. Kim Taehyung masuk dan menghampiri Sohyun yang duduk di tepi ranjang.

"Sayang, kau melamun lagi? Kali ini, apa yang kau pikirkan?" tanya Taehyung. Pria bodoh itu tetap memberikan Sohyun pertanyaan meskipun ia tahu, ia bakal diabaikan.

"Hari ini, Hamin mengatakan kalau ia merindukanmu. Aku sampai lupa sudah berapa kali ia bilang begitu. Apa kau masih sakit?"

Taehyung meraih Sohyun ke dalam dekapan. Cukup lama. Pria itu menyembunyikan wajahnya di balik punggung Sohyun.

"Aku juga merindukanmu. Maafkan aku, maaf kalau aku sering menuntutmu untuk berbagai hal. Mulai sekarang, aku pasti akan mendengar pendapatmu terlebih dahulu. Karena itu ... kembalilah."

Deg. Hatiku berdebar, mendengar Taehyung meminta Sohyun untuk kembali. Apa maksudmu Taehyung? Istrimu sudah kembali. Kim Sohyun yang asli, orang yang kau cintai. Dia telah kembali ke sisimu lagi. Seharusnya kau senang.

"Apa yang harus kulakukan? Kalau kau diam terus, bagaimana aku bisa tahu apa yang kau inginkan?"

"Kenapa ...."

Kim Taehyung terkesiap. Ia menegakkan duduknya, kulihat matanya cukup basah. Apa dia baru saja menangis?

"Kenapa aku harus menikahimu?" Taehyung tidak salah dengar. Kim Sohyun berbicara! Iya, wanita itu berbicara padanya setelah beberapa hari membungkam mulut.

"So-Sohyun, apa yang kau bicarakan, Sayang?"

"Aku benci kau."

"So ... hyun?"

"Aku benci hidupku! Aku benci kau! Aku benci kalian semua!" Sohyun berteriak histeris, melakukan tindakan agresif dengan menjambak dan memukuli kepalanya sendiri.

"Sohyun, hentikan! Kau bisa terluka!"

Taehyung berusaha menahan kedua lengan Sohyun agar ia tidak berontak. Namun, saking kuatnya, Sohyun malah tidak sengaja mencakar pipi Taehyung. Taehyung sedikit syok, ia terdiam sesaat hingga akhirnya mendapat kewarasannya kembali dan sigap menghadapi Sohyun yang tiba-tiba menggila.

"Sayang, hentikan! Tolong jangan begini!"

Taehyung kebingungan. Di jam segini, kepada siapa ia harus meminta pertolongan? Sohyun seolah-olah tidak mendengar ucapannya. Wanita itu mengamuk, kehilangan kendali.

"Sohyun, sadarlah!" teriakku yang jelas-jelas tak akan masuk ke telinga siapapun. Aku merasakan hal yang sama. Terkejut. Terkejut mengetahui bahwa Sohyun kembali ke tubuhnya dalam keadaan terluka. Terluka secara mental. Benar, begitulah kondisi terakhir kali yang ia alami. Seakan ia lupa, kami pernah bertemu antara hidup dan mati. Sohyun tak tahu, jika selama ini orang lain hidup sebagai dirinya. Mengubah nasibnya. Ia sama sekali tidak tahu!

"Ya Tuhan ... apa yang terjadi," desah Taehyung. Sohyun berhasil ditenangkan setelah hampir satu jam. Kini, wanita itu terlelap di sampingnya.

"Kenapa kau seperti ini Sohyun? Aku harus apa sekarang?"

Taehyung memijit keningnya, frustrasi. Dan begitulah. Tidak ada jalan lain selain membawa Sohyun ke kota untuk diperiksa keadaannya. Taehyung tak dapat menghadapi Sohyun sendirian. Tanpa bantuan psikiater atau setidaknya obat-obatan penenang.

***

"Bagaimana menurutmu kondisi istriku?"

Sebelum menerima bantuan, Taehyung menemui Jimin yang sedang menembus kesalahannya di penjara, di Daegu. Meskipun tahu bahwa identitas Jimin sebagai psikiater itu palsu, tetapi Taehyung tetap mempercayainya. Kalau bukan karena Jimin, keburukan Jisoo tidak akan terkuak. Lagi pula, pria itu sempat menangani Sohyun sebelumnya. Dan ia tahu sedikit-banyak tentang medis kejiwaan.

"Kau harus membawanya ke psikiater. Dia harus mendapat penanganan."

"Apa itu artinya penyakit istriku kambuh?"

"Bisa jadi. Kau tahu, aku tidak akan bisa membantunya lagi karena aku bukan dokter."

"Lalu, apa yang harus kulakukan?"

"Pergilah ke Rumah Sakit Shin-Il. Temui dr. Sungjin. Beliau yang akan membantumu."

dr. Sungjin? Rekan kerja Park Jisung—kakaknya Jinyoung—ketika masih hidup dan bekerja sebagai dokter jiwa? Aku tidak menyangka, Jimin—alias Jisung—akan merekomendasikannya.

"Baiklah, kalau begitu! Aku akan segera membawa Sohyun ke dr. Sungjin. Terima kasih! Terima kasih banyak atas saranmu!"

"Tidak masalah, pergilah. Mumpung dia masih tenang. Kalau dia kambuh lagi, bisa bahaya."

"Terima kasih, Jimin-ssi. Aku pasti akan mengunjungimu lagi!"

Setelah itu, Taehyung bergegas kembali ke mobil dan mengantarkan Sohyun ke rumah sakit yang Jimin sebutkan. Aku pun bergerak mengikutinya, namun ... tiba-tiba saja Jimin memanggil namaku.

"Sohyun. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu."

Dia melihatku?

***

Aku berada di dalam sel penjara. Kurang lebih, sekitar 25 menit Jimin menceritakan padaku dan menjelaskan fenomena yang sedang kualami. Dimana aku terjebak dalam dua pilihan. Harus hidup sebagai diriku sendiri alias pergi meninggalkan dunia ini, atau hidup sebagai Kim Sohyun—yang artinya aku mencuri kehidupan orang lain.

Setelah misinya berhasil, Jisung juga mendapat dua pilihan itu. Ia bilang bahwa ia akan melanjutkan hidup sebagai Jimin karena ia termotivasi untuk mengungkap kebenaran tentang kematian adiknya—Jinyoung. Namun, malaikat maut menyampaikan satu konsekuensi yang ia dapat dari pilihannya.

"Jika aku memilih untuk hidup sebagai Park Jimin, maka Tuhan akan mempersingkat umurku. Ujung-ujungnya, aku akan mati dan kembali ke posisi yang sebenarnya, menjadi roh di alam lain."

"Kau lakukan semua itu demi ketenangan arwah adikmu?"

"Tentu saja. Kakak mana yang tega melihat adiknya meninggal dalam keadaan menderita? Aku tidak sudi jika Jinyoung meninggal, sementara penyebab kematiannya malah hidup enak di dunia."

"Lalu, bagaimana jika yang aku pilih adalah pilihan pertama? Yaitu, hidup sebagai diriku sendiri?"

"Sederhananya, kau akan kehilangan kehidupanmu yang sekarang. Dan kau akan pergi ke tempatmu semula. Sebagai Yoon Yooseul yang telah tiada. Hidupmu akan terhenti saat itu juga."

"Itu artinya, Kim Sohyun ...."

"Ya, dia kembali ke tubuhnya untuk selamanya. Namun, kondisinya tidak akan berubah. Tidak akan pernah bisa berubah."

Aku termenung. Jujur ini keputusan yang sulit. Kalau aku boleh egois, aku akan mengambil pilihan yang kedua. Hidup sebagai Sohyun meskipun umurku jauh lebih singkat. Setidaknya, aku bisa sedikit membahagiakan Taehyung dan juga Hamin. Mengabdikan diriku untuk keluarga kecil itu. Tetapi, kupikir memberikan kesempatan kedua untuk Sohyun menjalani kehidupannya dengan benar bisa menjadi keputusan yang terbaik. Namun Jisung bilang, keadaan Sohyun tidak akan berubah dari keadaan terakhirnya sebelum ia meninggal.

Mana yang harus kupilih?

"Kau harus bergegas. Waktumu untuk memutuskan pilihanmu tidaklah lama. Satu minggu. Malaikat maut memberimu satu minggu untuk berpikir."

Satu minggu? Itu berarti, waktuku tinggal tersisa sampai malam ini. Aku harus cepat memutuskan!

"Pikirkan dengan matang. Kalau boleh jujur, aku berharap kau tetap hidup."

"Kenapa? Kenapa kau ingin aku tetap hidup? Kau tahu, aku tidak bisa mengambil apa yang menjadi milik orang lain...."

"Ya! Aku tahu, aku tahu kau akan berpikiran sempit begitu. Ini bukan hanya soal egois. Jika kau memilih pilihan pertama, apa kau yakin, Sohyun akan hidup bahagia?"

"Taehyung pasti dapat mengubahnya. Ia pasti bisa membuat Sohyun kembali seperti semula, karena aku percaya kekuatan cinta itu ada."

"Lalu apa kau bisa menjamin, bahwa yang Taehyung cintai adalah wanita itu? Bagaimana kalau ternyata dirimu?"

"Apa yang kau bicarakan! Taehyung itu mencintai istrinya, Sohyun. Bukan aku yang cuma orang asing ini. Kau berbicara hal yang mengerikan."

"Kalau begitu pastikan. Pastikan, apakah yang ia butuhkan istri lamanya, atau istri yang rohnya berkeliaran ini!"

Jisung begitu tegas menyampaikan pendapatnya. Hal itu membuatku kesulitan untuk membantah. Wajahnya begitu yakin dan serius. Tetapi aku—yang selalu mengandalkan perasaan dan nuraniku ini—sulit menerima sarannya. Bagaimana bisa aku hidup di tubuh orang lain dan terus berpura-pura bermain peran? Sejak awal, menaruh rohku di tubuh Sohyun itu adalah hal yang tidak benar! Aku ragu, kenapa Tuhan memberiku takdir ini.

***

Situasi kacau! Begitu Sohyun dibawa ke Rumah Sakit Shin-Il dan ditangani oleh dr. Sungjin, mendadak ia kambuh dan menyakiti dirinya lagi. Untungnya, dr. Sungjin sigap memberikan suntikan penenang, sehingga Sohyun kini tertidur pulas di atas ranjang.

dr. Sungjin menyarankan agar Sohyun menginap di rumah sakit dan mendapat observasi penuh. Dokter perlu tahu, seberapa parah perkembangan penyakit Sohyun supaya Sohyun memperoleh penanganan yang tepat. Taehyung pun tanpa basa-basi menyetujuinya. Ia sudah meminta Nenek Sim untuk sementara menjaga Hamin selama ia membawa Sohyun berobat. Jadi, tidak ada yang perlu ia cemaskan kecuali kondisi istrinya saat ini.

Hari semakin larut. Taehyung tertidur di depan ruangan Sohyun. Tanpa Taehyung sadari, Sohyun terbangun saat itu. Aku yang tadinya menemani Taehyung di luar, bergerak mengikuti Sohyun yang melangkahkan kakinya entah ke mana.

Ia pun lalu berhenti di ujung lorong. Ruangan tempat Sohyun dirawat berada di lantai delapan rumah sakit. Rumah Sakit Shin-Il adalah rumah sakit jiwa terbesar yang gedungnya dibangun dengan fasilitas laboratorium serta kantor tempat para staf non-medis bekerja.

Samar-samar, aku mendengar suara tangisan. Kim Sohyun menatap ke depan, kedua tangannya mencengkeram erat pegangan besi yang membatasi pinggir lorong—yang nyatanya adalah bagian luar rumah sakit. Aku merasa de javu. Aku berpikir negatif, karena sepertinya Sohyun akan melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan sebelum ia koma. Yaitu, menjatuhkan diri dari gedung. Dan sekarang ini, ia berada di lantai delapan.

"Apa yang kau lakukan Sohyun?!" pekikku begitu melihat Sohyun melangkahkan kakinya melintasi pembatas. Ia berdiri di pinggir gedung. Jarak antara pijakan kaki Sohyun dengan udara adalah sekitar 30 cm. Jika salah gerak sedikit saja, Sohyun akan terjatuh dan membenturkan kepalanya pada permukaan paving di bawah sana.

Tidak bisa dibiarkan!

"Aku tidak mau hidup. Aku tidak mau menderita," gumamnya. "Aku tidak mau dihina. Aku tidak mau seperti ini, aku mau mati saja. Mati."

Sohyun, jangan lakukan itu, kumohon....

"Jinyoung meninggal karenaku. Aku akan menyusulnya. Iya, menyusulnya! Lalu meminta maaf padanya, begini lebih baik. Lebih baik mati."

"Sohyun!!" teriakku sekali lagi.

Bagaimana ini? Bagaimana caraku menyelamatkannya? Bagaimana caraku memberitahu Taehyung bahwa Sohyun mau bunuh diri lagi?

Aku bingung. Aku pusing. Aku panik. Tidak ada yang dapat kulakukan karena aku hanyalah roh gentayangan! Aku tidak bisa menyelamatkan Sohyun dalam keadaan seperti ini.

"Sohyun!! Berhenti!" teriakku lantang tak kala Sohyun mulai melangkahkan sebelah kakinya ke udara.

Dan terjadilah! Sohyun menghempaskan tubuhnya begitu aku berteriak dan memaki kebodohannya.

"Kim Sohyun! Kalau begini caranya, biarkan aku hidup menggantikanmu!!" teriakku untuk yang terakhir kali dengan nada yang cukup panjang. "Jika aku tahu kau akan menyia-nyiakan nyawamu lagi setelah Tuhan bermurah hati mengembalikannya, maka lebih baik kau pergi saja! Apa gunanya kau meminta tolong padaku waktu itu? Sohyun, kau wanita bodoh. Kenapa takdir kita harus tertukar seperti ini!"

Aku tahu. Aku tahu Sohyun tak akan mendengarku. Aku hanya meluapkan seluruh emosiku. Meskipun aku tak dapat mencegahnya secara fisik, aku berharap bahwa kepedulianku padanya ini tersampaikan secara batin. Aku berharap Sohyun sadar dari kegilaannya, di detik-detik terakhir. Meskipun—sekali lagi—aku pikir ini hal yang mustahil.

Aku memejamkan mataku. Tak kuasa menyaksikan tubuh Sohyun yang lemah menghantam permukaan paving yang keras. Yang membuat darahnya berceceran. Yang membuat tulang-tulangnya remuk dan patah. Aku tidak sanggup!

Beberapa saat setelah kejadian itu, aku tak mendengar suara apapun. Entah karena aku yang terlalu fokus mengalihkan pandangan, atau karena jatuhnya Sohyun memang tidak menimbulkan suara. Aku tak tahu. Tetapi yang pasti, aku merasakan sesuatu menggenggam erat pergelangan tanganku.

Butir-butir air jatuh menetes, membasahi pipiku. Hingga aku memberanikan diri untuk membuka mata, di saat itulah aku merasakan berat tubuhku. Aku melayang di udara. Tidak! Lebih tepatnya, aku menggantung di udara dengan sebelah tanganku yang ditarik oleh Kim Taehyung!

Tunggu, apa yang terjadi sekarang?!

***

Tbc

Sampai jumpa besok🙆🏻‍♀️

Oh iya, aku jelasin dikit. Di bagian pas roh Yooseul ketemu Jimin di penjara. Itu sengaja Jimin nggak manggil pake sebutan 'Yooseul'. Meskipun sempet dia notice nama aslinya tapi kan nggak dibuat manggil Yooseul langsung.

Mungkin kalian udah lupa. Jadi ada aturan, kalau suffer itu harus merahasiakan identitasnya, termasuk dari suffer yang lain. Jadi, kalo Jimin manggil nama asli Yooseul lagi, otomatis dia dapat konsekuensi. Menghilang secara tiba-tiba seperti di bab-bab sebelumnya. Nah, untuk mencegah kejadian yang sama terulang kembali, dia lebih berhati-hati karena dia pikir, mungkin suatu saat Yooseul butuh bantuannya lagi. So, dia nggak bisa dengan sengaja cepet-cepet pergi dari dunia ini. Dia berpikir, sepertinya misinya sekarang adalah buat menuntun Yooseul—yang pada dasarnya masih awam dengan kejadian tidak masuk akal yang ia alami.

Sebaik itu, Jimin (alias Jisung).

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro