Salapan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"HFF?!"

"sshh, tenang, Kang. Ieu abdi."

Charles terkejut setengah mati ketika tiba-tiba, dari balik kegelapan di jalan menuju gudang bagian belakang, seseorang mendekap mulutnya dan menariknya. Ternyata orang itu adalah Tatang. Sesaat setelah Charles mengetahuinya, ia berhenti mengelak. Astaga, jika saja Charles satu tingkat lebih panik dan ceroboh, ia bisa saja menembak kawannya di tempat saat itu juga.

Bekapan tangannya terlepas. "Tang, naha anjeun di dieu keneh? Bahaya. Bukannya semua rakyat lagi sama-sama keluar dari Kota Bandung?"

(Kenapa kamu masih di sini?)

Charles ikut merunduk, mensejajarkan posisinya dengan Tatang yang berjongkok. Pemuda ini menggenakan kemeja cokelat dan caping, lengkap dengan senapan laras panjang yang tergantung di pundaknya. Sama seperti pertemuan pertama di Pertempuran Lengkong. Di satu sisi, Charles menyayangkan aksi pemuda ini untuk nekat menuju gudang Sekutu di saat rakyat Bandung yang lainnya pergi, tetapi ia juga lega mengetahui Tatang masih selamat sampai sekarang.

"Karena Kang Menir hiji-hiji na Kompeni anu abdi teu ceuceub, saya mohon banget Kang Menir harus pergi dari sini—atuh, eta kenapa kakinya?!" Tatang menatap terkejut ke arah rembesan merah di sekitar paha Charles. Peluh menetes dari dahi menuju pipinya. Sesekali pemuda di hadapan Charles ini menatap was-was ke sekitar, lalu pandangannya kembali melihat Menirnya di 7 tahun lalu. Suara tembakan masih terdengar bersahut-sahutan.

(Karena Kang Menir satu-satunya Kompeni yang saya nggak benci,)

"Katembak, nggak fatal. Seharusnya kamu yang pergi, Tang! Bunuh diri namanya kalau berani ke sini."

"Haish, teu kitu. Saya gak punya banyak waktu, tapi penyerangan Kang Ramdan sama temen-temennya di depan, itu cuma pengalih perhatian. " Charles mengerutkan alis, sementara pemuda di depannya mengambil jeda sejenak. "Saya tadi sempet nemenin Kang Toha pas mau nyusup ke dalam gudang. Dia teh udah bawa dinamit, Kang. Buat meledakin gudang!"

Baik dari Charles maupun Tatang, setelahnya terjadi keheningan di antara mereka. Charles berusaha menelan informasi yang diterimanya, dan Tatang menunggu respon majikan-kawannya.

Apakah ia akan berusaha menghentikan penyusup ini? Ah, tetapi dari mana Charles tahu keberadannya? Tatang? Kalaupun ia memberi tahunya, takutnya sudah terlalu telat. Tetapi harga dirinya akan hancur karena tidak memilih untuk mempertahankan kependudukan bangsanya sendiri, dibandingkan dengan meledak bersama tumpukan mesiu ....

Akh, persetan dengan itu, Charles memilih untuk kabur. Seharusnya tindakan ini tidak lebih sulit dari seorang Tentara Gurkha yang membelot membawa sebuah truk. Jadi, Charles menepuk pundak Tatang, lalu memegang lengannya. Ia menghembuskan napas sejenak. "Baik, ayo kita pergi."

...

Semakin malam seharusnya semakin gelap, namun, langit Kota Bandung berona merah karena kobaran api yang melahap hampir sebagian besar wilayahnya.

Langkah kaki Charles, tertatih-tatih, tetapi berusaha bergerak cepat menembus jalan pintas di depannya. Tak jauh dari jalurnya, banyak kobaran api yang asapnya sudah membumbung tinggi juga pekat, membuatnya sesekali terbatuk dan menahan napas. Sekarang Charles memasuki daerah perkampungan.

Rasa nyeri di permukaan kulit paha yang bergesekan dengan celananya semakin terasa di saat ia sekilas melihat sebuah ... jalan utama. Oh, puji tuhan, sepertinya terdapat kendaraan yang melintas juga di sana. Charles lantas mendekati tempat itu, berdiri di samping jalan. Yang dilihatnya adalah sekelompok pengungsi, bergerak keluar dari Bandung.

Charles menyipit. Ah, apakah itu ... Ekstremis? Ia melihat beberapa orang di antaranya ada yang bersenjata. Ya, walaupun kebanyakan wanita, tetapi tetap saja, bersenjata. Melihat seorang Tentara Sekutu yang terpisah dari kawanannya sama dengan santapan rentetan tembakan senapan. Jadi, di sinilah Charles, maju-mundur antara bergabung dengan rombongan itu atau tidak, dengan rembesan darah di pahanya yang perlahan menyebar.

Kobaran api semakin terdengar jelas dari belakang, Charles masih diliputi kebingungan ketika iris matanya menangkap seseorang yang ia kenal. Ia kembali menyipit, lalu dengan cepat membuka seragam tentaranya dan melambaikannya ke arah bocah kecil yang membalas tatapan matanya.

"Jang! Jang! Ini A' Tentara!" urat di leher Charles terbentuk, namun, hanya sebuah bisikan kecil yang keluar. Gerak mulutnya sepertinya terbaca oleh bocah itu, melihat Ajang juga melambaikan tangan kepadanya sebagai sebuah respon. Lalu ia tampak menghampiri seorang pejuang wanita, dan menunjuk ke arah Charles.

Sepertinya terjadi perdebatan, tetapi tentara ini sudah tidak bisa fokus dengannya. Ia terus memerhatikan luka tembak di pahanya.

"A' terluka? Atuh naik mobil yang di sana ayo, nanti ada anggota Laswi yang bakal ngobatin." Sebuah suara terdengar, uluran tangan yang mengiringinya dibalas Charles. Seorang Ektremis wanita yang mengajaknya, dan tentara itu sekali lagi, merasa beruntung.

...

"Baik, ayo kita pergi."

Namun, sebuah gelengan menjadi jawaban dari ajakan Charles. Tentara itu menatap Tatang tak mengerti. Jangan bilang kalau ia berniat untuk berlama-lama di sini lebih lama.

"Engga, Kang. Saya udah komitmen tetep di sini, bantu Kang Toha biar aksi kita lancar." Tatang berdiri. Ah, bahkan keberanian pemuda 19 tahun di depannya lebih besar dari miliknya sendiri. Charles merasa memalukan di satu tempat, tetapi ia juga tidak bisa menolak keinginannya untuk tidak mati secepat ini.

Tentara ini lantas ikut berdiri, kaki satunya sedikit tertekuk. Melihat itu, Tatang lantas merogoh salah satu saku celana Charles yang terbuka, mengambil sebuah gulungan kain kasa, lalu melilitkannya ke luka di paha Charles. Menahan keluarnya darah lebih banyak.

"Nah, sekarang cepet, Kang. Dari sini langsung nyari jalan utama. Bisa ikut keluar Bandung bareng rombongan rakyat."

Tatang beranjak dari tempatnya.

"Abdi mios tiheula."









































tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro