06. Ajak Aku ke Rumahmu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Baiklah. Apa ini berarti, diskusi di antara kita selesai?" Aku menarik napas lega. Entah ini keputusan benar atau tidak, tapi Lisa bilang, semua hal baik perlu dicoba. Yah, siapa tahu saja aku akan menemukan banyak kecocokan dengan Arcano, kami bisa terus saling memupuk perasaan, dan jodoh nggak ada yang tahu, kan?

"Oke." Arcano menjawab renyah sembari tersenyum.

Aku melirik arloji di tangan. "Sudah larut, sebaiknya kamu pulang dulu. Nggak enak sama Lisa. Besok-besok, mungkin kita bisa ngobrol lagi."

"Oke." Lagi-lagi Arcano menjawab tanpa beban. Pemuda itu bangkit, dan aku terkesiap ketika ia membungkuk, menangkup wajahku dengan kedua tangan lalu menyesap bibirku dalam.

"Woah, wait. What are you doing?" protesku sembari mendorong tubuhnya menjauh.

"Menciummu. Apa ada sebutan lain untuk adegan ini?" Sosok itu menjawab sembari terkekeh.

"Maksudku, ngapain kamu menciumku?"

"Bukankah itu hal yang lumrah dilakukan sepasang kekasih?"

Aku menatap sekitar. Takut bila tiba-tiba Lisa nongol dan kami kena amuk karena ulah Arcano. "Ya nggak gini juga kalik. Ini di kosan orang. Sopan dikit, dong." Aku protes sembari bangkit.

"Berarti kalo nggak di sini, boleh berciuman lagi, gitu?" Arcano menyeringai. Aku mendesis lalu buru-buru mendorong dirinya. "Udah, pulang sana," titahku sembari mendorong tubuhnya menuju pintu. Dasar bocil. Main sosor mulu!

Pemuda itu menyeret langkah tapi sekian detik kemudian berbalik, "Mau kuantarkan pulang?" ucapnya sambil menyugar rambutnya yang berjuntaian. Dan kali ini aku benar-benar tak bisa menahan diri. Kuulurkan tangan kemudian membantu merapikan rambutnya.

Bukannya kaget atas tindakanku, Arcano malah membungkukkan badan agar aku bisa leluasa menyentuh rambutnya. Mungkin anak ini kebanyakan minum susu. Lihatlah, tubuhnya tinggi menjulang begini. Leherku jadi pegel karena sering mendongak.

Pada saat itu terjadi, ketika aku dan Arcano tengah beradu tatap, dengan posisi tangan ada di rambut, tiba-tiba pintu terbuka dan Lisa muncul. "Hei, hei, lagi ngapain ini? Mundur, jaga jarak. Ngerti Social Distancing, nggak?" Ia segera ngedumel.

Aku menarik tangan dari rambut Arcano lalu mundur selangkah. "Cuma benerin rambut, kok," kilahku. Sementara pemuda di depanku cuma melirikku sekilas lalu tersenyum.

"Dia udah mau pulang, nih." Aku buru-buru mendorong pemuda itu lagi menuju pintu. Ketika sosok itu melewati Lisa yang tengah berkacak pinggang, Ia berucap santai, "Kami resmi pacaran." Tatapannya singgah padaku dan matanya mengerling penuh arti.

Spontan, kupukul pundaknya dengan keras. "Pulang sana!" teriakku. Tergelak, Arcano mencubit puncak hidungku dengan gemas lalu berlalu. "Sampai ketemu lagi, Ge Sayang." Ia berlalu, pamit pada Lisa, lalu melangkahkan kakinya meninggalkan ruangan. Setelah kepergian sosoknya, tatapanku singgah pada perempuan yang masih menatapku dengan ternganga.

"Serius? Kalian jadian?"

Aku berbalik, melangkah menuju ranjang dan menghempaskan tubuhku ke sana sementara Lisa mengekori. "Ge? Beneran? Kalian pacaran?"

Kali ini aku menjawab sembari menatap ke arahnya. "Kamu bilang untuk mencobanya, kan? Jadi ya, udah, aku iyakan aja ajakannya untuk pacaran."

"Waktu itu aku nggak serius, Ge." Ekspresi wajahnya mulai panik.

"Nggak apa-apa. lagipula, saranmu ada benarnya juga, kok. Kalo cocok kami lanjut, kalo nggak, udahan aja." Aku mengangkat bahu.

"Tapi, kalian kan baru ketemu beberapa kali? Belum bener-bener kenal. Asal-usulnya juga nggak jelas. Gimana kalo dia itu cuma cowok pengangguran yang nyamar jadi orang kaya cuma buat ngerayu perempuan buat diporotin? Macem ... pengejar Sugar Mommy, gitu."

Aku tergelak. "Kalo emang dia cowok pengangguran yang nyamar jadi orang kaya, dia nggak akan ngejar-ngejar tante macam aku, Lis. Aku nggak punya banyak duit untuk dijadiin Sugar Mommy."

Lisa menggaruk kepalanya sendiri. "Iya, juga, sih. Tapi kan ... ini mendadak, Ge."

Aku tersenyum. "Aku udah punya banyak pengalaman soal cowok, Lis. Andai yang ini pun nggak berhasil, aku akan baik-baik aja. Santai." Aku bangkit. "Aku pulang dulu, ya." Meraih tas di sofa yang tadi diduduki Arcano, aku melangkah keluar menuju pintu. Tapi, sejenak kemudian, aku menghentikan langkah lalu berbalik. "Lis, sepertinya kamu juga harus mencoba kencan dengan Dion. Percayalah, di antara semua pria yang dekat denganmu, dia yang terbaik."

"Ge ..." Lisa mengerang. "Please, kita sudah pernah bahas ini, kan." Lagi-lagi ia keberatan untuk membicarakan hubungannya dengan Dion.

"He adores you." Aku menambahkan.

"I do too." Lisa menjawab dengan yakin.

"Terus nunggu apa lagi? Kalian cocok. Siapa tahu aku juga cocok dengan Arcano dan kita bisa nikah dalam waktu bersamaan. Aku batal pengen jadi perawan tua. Mamaku bisa stroke kalo aku bilang padanya bahwa aku pengen melajang sampai mati." Aku berujar menggebu-gebu.

Lisa kembali menarik napas berat. "Andai kamu dan Arcano nggak cocok, kalian akan berakhir menjadi orang lain. Kalo aku dan Dion? Kami sudah punya hubungan persahabatan. Andai kami gak berhasil, aku akan kehilangan dua-duanya. Ya cinta, ya sahabat. Enggak, Ge. Itu ... terlampau mengerikan." Ia menyandarkan tubuhnya di dinding.

"Lis, masa depan itu ibarat hamparan misteri di hutan belantara. Pilihannya cuma dua, jelajahi atau diam di tempat. Menjelajah belum tentu akan mendapatkan apa yang kita mau. Pun begitu dengan diam di tempat, belum tentu juga apa yang kita butuhkan akan datang menghampiri kita. Dua-duanya punya peluang yang sama. Yang lebih baik, ataupun sebaliknya. Tinggal jalanin aja, itu 'kan yang kamu bilang." Aku ikut menyandarkan lenganku di kusen pintu.

Beginilah kami. Terkadang obrolan serius tidak harus dilakukan dengan duduk nyaman bersama, saling berhadapan, lengkap dengan teh hangat dan kudapan.

Lisa terkekeh sinis. "Gampang banget ya ngomongnya."

"Iya-lah, kan belajarnya dari kamu," jawabku sewot.

Lisa terkekeh lagi lalu beranjak, menepuk lenganku lembut. "Udah, pulang sana. Urusan pendamping buatku sih, gampang. Yang penting, kamu dan Arcano duluan. Ntar kalo kalian sukses, Dion akan kuurus."

"Janji?"

Perempuan itu mengangguk. Dari raut mukanya aku tahu bahwa ia hanya sekadar basa-basi, agar aku segera pergi. Tapi tak apa, aku tetap tak putus harapan untuk dirinya dan juga Dion.

"Baiklah, aku pulang." Pamit untuk kedua kalinya, lalu aku benar-benar pergi.

***

Setelah pertemuanku dengan Arcano di kosan Lisa beberapa waktu lalu, kami jadi sering ketemu. Aku melarangnya datang ke rumah, jadi kami lebih sering bertemu di luar. Ia yang rajin datang ke tempat kerjaku, kadang di jam istirahat, kadang menunggu setelah pulang, lalu kami akan menghabiskan waktu bersama dengan mengobrol sambil makan. Mengenal satu sama lain.

Dari kedekatan kami akhirnya aku tahu kalau Arcano anak tunggal. Selama ini ia tinggal bersama kedua orang tuanya. Ayahnya punya beberapa bisnis, sementara ibunya sosok ibu biasa yang lebih suka mengurus pekerjaan rumah. Gambaran sebuah keluarga kecil yang bahagia dan berkecukupan. Terlihat dari bagaimana pemuda itu berpakaian. Baju-baju bermerk, dan juga asesoris seharga ratusan juta. Terutama jam tangan yang sering gonta-ganti, dan juga converse yang harganya mencapai tiga kali lipat gajiku. Belum lagi SUV mewah yang kadang ia kemudikan sendiri, dan beberapa kali dikemudikan sopir.

Muda, tampan, dan kaya raya. Definisi; Sempurna untuk dijadikan suami.

Aku juga tak keberatan bercerita tentang Papa, Mama, berikut adik-adikku. Amel, putri kesayangan Mama yang sudah bekerja dengan mapan. Dan Patricia, adik bungsu yang sepertinya juga akan punya karir cemerlang karena otaknya yang cerdas.

Yang tak kuceritakan adalah, bahwa hubunganku dengan Mama ... lumayan rumit.

"Kapan-kapan kenalin aku ke mereka, ya." Arcano berujar antusias. "Aku selalu membayangkan punya banyak keluarga yang tinggal serumah sehingga suasana jadi hidup dan rame sekali. Pasti seru."

"Tentu. Kapan-kapan akan kukenalin kamu ke mereka. Dan kujamin kamu akan terpesona dengan kedua adikku, terutama Amel. Ia cantik luar biasa. Kulitnya cerah, sikapnya lembut, ia cerdas, mandiri, dan ...." Tiba-tiba aku kepikiran, andai saja Amel belum punya pacar, mungkin Arcano akan jadi pasangan yang cocok untuknya. Mereka seumuran dan sama-sama rupawan. Bagaimana kalo aku jodohkan saja mereka? Amel dan Mama pasti suka dengan Arcano. Lihatlah, ia sopan, tampan, dan mapan. Pastinya ....

"Please, don't ...." Desisan Arcano membuyarkan segenap angan-angan.

"What?" Tatapan kami beradu.

"Kamu pasti berpikir untuk menjodohkanku dengan adikmu, kan?"

Tanganku yang tengah sibuk mengaduk es lemon, terhenti. Menyeringai, aku berkelakar, "Kelihatan banget, ya?"

Pria di hadapanku mengangguk lalu berkata, "Banget. Terbaca dari raut wajahmu."

Aku mengangkat bahu lalu menyeruput es di gelas. "Emang kayaknya kalian cocok, kok. Kamu dan adikku tuh seumuran. Coba deh kenalan dulu. Siapa tahu nyambung."

Arcano menegakkan punggung lalu bersedekap. "Nggak asyik banget sih, kamu."

"Nggak asyik gimana?"

Arcano menarik napas berat. "Kok bisa-bisanya kamu kepikiran mau jodohin aku sama adikmu? Aku ini pacar kamu, lho."

Menyaksikan ekspresi kesal di wajah di lelaki tersebut, aku menggigit bibir. Apa iya aku keterlaluan?

"Cano Sayang, kan hubungan kita masih coba-coba. Barangkali aja kamu menemukan kecocokan dengan adikku. Kan kalian seumuran. Gitu, lho, maksudku."

"Mau seumuran kek, mau enggak kek, kalo sudah ada komitmen dengan orang lain, harusnya kamu nggak ngatur-ngatur kayak gini. Kesannya kayak ... kamu tuh sedang mempermainkan perasaan orang." Suara Arcano terdengar berat. Setelah kembali menarik napas berat, ia bangkit.

"Mau kemana?" tanyaku.

"Bayar tagihan. Habis itu ayo pulang. Aku nggak mood makan." Ia menjawab datar.

"Kamu ngambek?"

Tanpa menjawab pertanyaanku, ia beranjak, tak menghiraukan panggilanku. Dan serius, selesai membayar di kasir, ia tak kembali ke meja kami. Sosok itu melenggang keluar menuju parkiran. Buru-buru aku meraih tas lalu melesat menyusul dirinya. "Arcano!" panggilku.

Lagi-lagi ia tak menggubris, menoleh pun tidak. Langkahnya urung terhenti.

"Masa cuma gitu aja marah?" protesku ketika pada akhirnya aku berhasil menggapai dirinya di depan SUV yang biasa ia kendarai manakala kami keluar berdua. BMW seharga dua em itu terlihat mencolok di parkiran sempit tempat kami makan. Sebuah warung sederhana kecil yang kupilih secara acak. Setiap kali keluar jalan, aku memang yang senantiasa memilih tempat tujuan.

"Iya, dong. Ini nggak sekadar 'cuma gitu aja marah'. Serius, aku tersinggung. Ya kalo kamu nggak siap dengan hubungan ini ya nggak apa-apa. Tapi jangan ngatur-ngatur hubungan dengan orang lain gitu, dong." Rahang Arcano kaku. Terlihat sekali kalau suasana hatinya sedang buruk.

Pria yang hari ini menguncir rambutnya asal itu bergerak membuka pintu penumpang. "Ayo naik, akan kuantarkan kamu pulang." Setelah membuka pintu mobil, ia bersandar sejenak menungguku masuk ke sana.

Sejenak, aku mematung. Tertegun dengan perlakuan Arcano barusan.

Beberapa kali punya hubungan asmara, beberapa kali pula aku pernah terlibat pertengkaran seperti ini. Baik yang pertengkaran hebat, maupun perselisihan sepele. Setiap kali hal ini terjadi, jangankan membukakan pintu mobil untukku, mengantarkan pulang saja tak mereka lakukan. Terlebih dengan mantanku yang terakhir, Lukas. Aku ingat kami pernah terlibat pertengkaran, dan pada akhirnya aku harus pulang dengan taksi. Pria itu menginggalkanku begitu saja. Serius.

Sekarang, dengan perlakuan Arcano seperti ini, entah kenapa aku terharu. Aku merasa dihargai dan diperhatikan.

"Ayo naik." Arcano kembali berujar. Kalimatnya tak memerintah, tak menunjukkan nada tinggi. Ketika aku tak kunjung bergerak, ia mengulurkan tangan, mendorong punggungku lembut untuk segera masuk ke mobil. Aku menahan langkah, membuat kami berdekatan di dekat pintu.

"Sorry," ucapku. Dan ketika kami beradu pandang, aku kembali tak mampu menahan diri. Tatapan pria itu serupa magnet, membuatku ingin berdekatan dan menyentuh dirinya. Pada akhirnya, kedua tanganku terangkat lalu menangkup wajahnya dengan lembut. "Sorry," ulangku. "Aku nggak akan mengulanginya lagi. Janji." Kali ini bibirku berbisik di atas bibirnya.

Arcano menelan ludah. Lirih pria itu berujar, "Jangan terlalu dekat. Aku takut nggak mampu menahan diri. Aku pernah menciummu di depan umum, dan sepertinya aku nggak keberatan untuk melakukannya lagi."

Menyelami kedua telaga bening miliknya, aku tahu bahwa kemarahan pria itu telah memudar. Terkikik, aku kembali berbisik. "Mau melakukannya di dalam mobil?" Aku menggigit bibir.

Senyum Arcano terkulum. "Tentu." Ia menjawab cepat. Setelah aku duduk di kursi penumpang, Arcano berjalan memutar dan duduk di belakang kemudi. Pintu baru saja tertutup kasar ketika pria itu mencondongkan tubuh dan menyambar bibirku. Dan kali ini, aku tak ragu untuk membalas ciuman tersebut. Pada akhirnya ciuman itu benar-benar berhasil meredakan amarah di dirinya.

"Udah nggak marah lagi, kan?" tanyaku.

Kedua mata Arcano berbinar. Dengan senyum lebar, ia menggeleng. Tingkahnya lucu dan menggemaskan sekali. Rasanya ... pengen ku uyel-uyel.

"Cano ...." panggilkku.

"Ya?"

"Ajak aku ke rumahmu."

Arcano menatapku dalam. Perlahan, senyumnya kembali mengembang. "Oke," jawabnya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro