15. Tangled

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah menyampaikan keinginanku untuk menikah, aku beranjak ke kamar dengan langkah santai. Senyum tak lenyap di bibir. Merasa puas setelah menyaksikan ekspresi syok di wajah Papa, Mama, Amel dan juga pacarnya.

"It's time to get out from this hell." Aku seolah berbisik pada diriku sendiri. Setelah mengunci pintu kamar dari dalam, aku melemparkan tas ke tempat tidur dan menghempaskan tubuhku di sana. Merasa malas untuk mandi ataupun berganti baju. Lagipula, aku suka dengan bajuku. Ada bau Arcano di sini.

Lumayan lama aku menghabiskan waktuku untuk diam merenung. Menatap langit-langit kamar dengan sejuta harapan. Harapan baru, seperti yang Arcano ungkapkan. Tak kuhiraukan suara ketukan pintu. Pertama oleh Papa, kemudian di sambung oleh Mama. Tidak, tak ada lagi yang ingin kubicarakan. Apa yang kusampaikan di teras tadi sudah cukup. Andai mereka butuh penjelasan lebih lanjut, besok saja. Sekarang aku ingin sendiri.

Mataku terpejam, nyaris terlelap. Sampai akhirnya ponselku berbunyi. Notifikasi yang menandakan bahwa ada pesan baru masuk. Tanpa beranjak, aku mengulurkan tangan dan merogoh ponsel di tas. Mengusap layar, pesan baru itu ternyata dari Arcano. Ada pula beberapa panggilan tak terjawab di sana. Tak terdengar, karena dalam situasi tertentu, ponsel ku atur getar.

"Sudah sampai rumah?" Ia menulis. Dan cepat kubalas; sudah. Tak lama berselang, panggilan itu ia lakukan.

"Ya?" Aku menyapa terlebih dulu.

"Sudah di rumah ya?" Arcano bertanya.

"Sudah." Aku kembali menjawab.

"Nggak pengen nginep di rumahku lagi?"

Pertanyaan itu kujawab dengan tawa lirih. "Enggak lah. Aku sedang nggak ingin kabur dari rumah."

"Kabur lagi saja nggak apa-apa. Nanti ke sini lagi." Suara Arcano terdengar renyah. Manja sekali. "Ayolah, Ge. Ke sini lagi, ya. Atau kujemput?"

Aku kembali tertawa. "Besok kita ketemu lagi."

Terdengar desahan kekecewaan dari seberang sana.

"Ngomong-ngomong, aku sudah bilang ke orang tuaku kalau besok kamu dan ayahmu akan datang ke sini untuk melamar. Awas saja kalau kamu ingkar janji, akan ku kejar sampai ke ujung dunia." Aku mengomel.

Kali ini Arcano yang terkekeh. "Asal kamu tahu, besok tuh terlalu lama buatku. Andai bisa, malam ini aku ke rumahmu bersama Ayah, melamarmu, lalu besoknya nikah. Nggak pakai lama."

Terbahak, aku menjawab, "Dih, nggak sabaran banget."

"Emang iya. Kalo nggak sabaran, nggak mungkin aku ngejar-ngejar kamu kayak gini. Sekarang aja Ayahku sudah berjibaku dengan berkas-berkas persyaratan pernikahan. Dia bilang, setidaknya perlu waktu sekitar dua minggu. Duh, itu lama banget, Ge. Aku pengennya besok, atau paling nggak lusa." Arcano ngedumel. Menyenangkan sekali rasanya mendengarkan ia banyak bicara, mengomel ini dan itu. Pertama kalinya aku menyaksikan Arcano seakan tak punya kehidupan, ketika ia hanya duduk termenung di depan jendela seraya menatap hamparan bunga Morning Glory kesukaannya dengan tatapan hampa. Ekspresi itu masih terekam jelas, membuatku dilanda rasa takut dan bertanya-tanya, seperti apa dia yang sebenarnya.

Untuk waktu yang lumayan lama, aku sabar mendengarkan ia berbicara. Ketika pada akhirnya ia berniat untuk mengakhiri obrolan kami, aku mengucapkan permintaan dengan tulus, "Tidur yang nyenyak, ya. Kalo nggak bisa tidur, telpon aku, kita mengobrol."

Pria itu tak memberikan jawaban. Setelah berdiam sejenak, ia hanya mengucapkan selamat malam. Menyebutkan namaku lembut disusul kata 'I Love You', lalu menghentikan panggilan telepon.

***

Acara lamaran itu akhirnya dilakukan dengan dadakan. Walau begitu, Mama berhasil menyiapkan jamuan yang layak untuk disuguhkan. Tentunya dengan omelan di sepanjang hari. Memarahiku habis-habisan karena memberitahu acara mendadak seperti ini. Pun begitu dengan keluarga dekat, tak banyak yang bisa dihubungi untuk datang ke acara. Hanya ada Bude Tati sekeluarga, Om Rendra sekeluarga, beserta sepupu-sepupu jauh yang kesemuanya berada di satu kota dengan kami.

Awalnya aku malah melarang Mama untuk memberitahu mereka. Aku ingin acara lamaran dan juga pernikahan nanti dilakukan dengan sederhana dan privat, tanpa mengundang banyak orang. Berharap hanya ada keluarga inti baik dari pihak kami ataupun Arcano. Sayangnya Mama menolak rencana tersebut. Walau dilakukan secara sederhana dan tanpa ada pesta, ia bersikeras untuk memberitahu beberapa saudara. Tak banyak, hanya tertentu saja. Setelah sempat beradu arguman dengan alot – seperti biasanya, akhirnya aku memilih mengikuti rencananya.

Arcano dan rombongannya datang pukul tujuh malam, dengan dua mobil saja. Tak banyak juga yang datang. Hanya ada Arcano, ayahnya, dua sopir, dan beberapa pasang orang dewasa. Ketika rombongan mereka datang, aku bisa menyaksikan ekspresi kaget di wajah Papa, Mama, maupun keluargaku yang lain. Bagaimana tidak? Mereka datang dengan dua MPV mewah yang harganya nyaris dua milyar rupiah. Untuk satu mobil saja, catat. Belum lagi dengan banyak barang bawaan yang tak kalah mewah. Gaun branded, cincin berlian, dan juga sepasang sepatu Jimmy Choo. Yang kesemuanya disiapkan khusus untukku. Ini belum kue-kue mahal dan juga bingkisan-bingkisan yang lain.

Malam itu Arcano tampak memukai dengan setelan jas. Rambut panjangnya ia kuncir rapi. Kedua matanya cerah, dan wajahnya semringah. Tanpa sadar, aura bahagianya pun menular. Aku merasakan hatiku berbunga-bunga. Merasa begitu cantik, walau hanya mengenakan blouse dan rok selutut. Baju lama yang entah kapan kubeli.

"Calon suaminya Mbak Ge ternyata sultan banget." Aku mendengar Patricia berbisik bangga pada Bude Tati.

"Alphard sama Lexus, wow...." Patricia kembali berbisik lirih sembari melirik ke halaman, menatap dua mobil yang tengah Ia sebutkan.

"Bukan rental, kan?" Kali ini Bude Tati balas berbisik di telinga Patricia. Dan adikku itu tampak protes dengan pertanyaan tersebut. Sementara aku tak ambil pusing. Bodo amat. Aku lebih senang menikmati ekspresi syok di wajah Mama, Amel, dan juga Aditya. Rasanya puas sekali ketika menyaksikan mereka ternganga.

Acara inti berlangsung to the point dan tak bertele-tele. Setelah berbasa-basi sejenak, Pak Herry sendiri yang menyampaikan maksud kedatangannya. Melamar, sekaligus membahas pernikahan yang akan dilaksanakan beberapa minggu kemudian. Segalanya berjalan cepat, karena aku dan Arcano sepakat untuk tak menunda pernikahan. Papa dan Mama, berikut keluarga yang lain pun menyambut baik rencana tersebut. Tentu saja mereka setuju, mereka pikir aku akan jadi perawan tua. Mumpung ada yang mau denganku, disegerakan saja. Ya, kan?

Setelah acara inti selesai, mereka mengobrol ringan sambil menikmati hidangan. Tak ada yang menanyakan perihal ibunda Arcano yang tak turut hadir, karena tadi pagi aku sudah memberitahu Papa dan Mama bahwa ibunda Arcano sudah tiada. Aku meminta mereka untuk tak membahas hal tersebut di depan Arcano karena ia masih trauma. Sementara hanya itu yang mampu kusampaikan pada mereka. Nanti saja, setelah pernikahan dilaksanakan, aku akan mencari waktu yang tepat untuk menceritakan segalanya.

"Ma, aku ingin mengajak Arcano mengobrol dan berkeliling," ucapku. "Silahkan mengobrol dengan santai." Dan tanpa menunggu jawaban dari Mama maupun Papa, aku bangkit. Mengulurkan tangan ke arah Arcano, pria itu ikut berdiri. Sejujurnya, aku ingin segera membawa dia pergi. Terlalu banyak orang di sini dan aku takut Arcano akan mendapatkan pertanyaan-pertanyaan sensitif yang tak mampu ia jawab.

"Ayo, Sayang." Aku menggandeng tangannya. Melangkah meninggalkan ruang tamu, melewati Amel dan Aditya yang kebetulan duduk di kursi paling ujung.

Setelah berbasa-basi sejenak menunjukkan ruang tengah, dapur, dan beberapa kamar milik keluarga yang lain, aku mengajak Arcano ke kamarku. "Ruangannya sedikit kecil dan ... mungkin agak engap." Aku meringis sembari menunjukkan ruangan tersebut. Arcano menatap sekitar dengan canggung sebelum akhirnya melangkah ragu memasuki kamar.

"Tutup saja pintunya." Aku memberi perintah, lalu buru-buru membersihkan sofa satu dudukan yang berada di sisi meja, berhadapan langsung dengan tempat tidur. Sofa tua yang tak kuingat kapan dibeli oleh Mama.

Arcano patuh menutup pintu lalu melangkah mendekat. "Ayo duduk sini," ucapku sembari menunjuk sofa yang baru saja kubersihkan dengan dagu. Sementara aku sendiri duduk di pinggiran ranjang.

"Sambil menunggu para orang tua selesai beramah tamah di ruang keluarga, kita bisa mengobrol di sini saja." Aku tersenyum.

Arcano manggut-manggut. Ia kembali bergerak, bukan untuk duduk di sofa seperti yang ku mau, melainkan berkeliling melihat-lihat seisi kamar.

"Nggak ada yang istimewa. Hanya ada lemari baju, meja rias, dan beberapa buku. Aku nggak terlalu suka membaca," ucapku. Arcano mengalihkan pandangannya ke arahku sekilas, lalu beralih ke meja rias dan sekeliling lagi.

"Aku nggak melihat fotomu. Bukankah biasanya perempuan suka sekali memajang foto-fotonya di kamar. Aku melihat ini di drama-drama televisi." Ia bersuara.

"Aku nggak suka foto."

"Foto keluarga juga nggak punya?"

"Enggak."

Seketika aku ingat dengan foto keluarga di kamar Arcano. Hanya ada dia dan ayahnya. Tapi ia bersikeras bahwa foto itu bertiga, ada ibunya di sana.

"Bagaimana dengan foto masa kecil? Aku penasaran sekali dengan tampangmu sewaktu kecil. Apakah sudah cantik dan menggemaskan seperti sekarang." Pria itu tertawa lirih. Aku tersenyum lalu menggeleng. "Itu aku juga nggak punya."

"Serius?"

Aku mengangguk. "Masa kecilku kuhabiskan di rumah nenek. Jadi, foto-foto masa kecilku kemungkinan masih ada di sana."

"Cerita, dong, Ge." Ia bergerak. Bukan duduk di sofa seperti yang kuminta, tapi di sisiku.

"Ceritanya panjaaang sekali. Aku takut kamu akan menginap di sini jika aku mulai bercerita." Aku terkekeh lirih. "Kalau kamu begitu penasaran dengan foto masa kecilku, percayalah, nggak jauh beda dengan sekarang. Aku cantik dari kecil," ucapku bangga.

Senyum Arcano kembali merekah. "Percaya," jawabnya. "Ngomong-ngomong, malam ini kamu cantik sekali. Penampilanmu sedikit berbeda, tapi ... luar biasa." Menjatuhkan tatapannya ke arah rok selutut dan blouse lama yang kukenakan, ia kembali berucap, "Sudah sejak dari ruang tamu tadi aku ingin memujimu. Bahwa ... rokmu bagus, blouse-mu juga." Ia melanjutkan.

Aku tersenyum dan balas memuji, "Terima kasih. Malam ini kamu juga luar biasa, Cano."

Hening menyelimuti ruangan. Waktu kami lewati dengan saling tatap.

"Boleh aku menciummu?" pintanya tiba-tiba.

Apakah tadi aku bilang padanya bahwa kamarku engap? Sebenarnya tadi aku hanya basa basi. Kamarku, walau sempit, tak pernah terasa engap bagiku. Tapi setelah apa yang Arcano tanyakan barusan, entah kenapa kali ini ruangan ini terasa begitu panas dan ... benar-benar engap. Aku gagal mengontrol pikiranku untuk tak kemana-mana. Hingga pada akhirnya, tanpa menjawab pertanyaan Arcano, aku yang bergerak lebih dulu, mencondongan tubuh ke arahnya lalu mencium bibirnya lembut. "No need to ask," bisikku lembut, seraya kembali mencium bibirnya lembut.

Dan ternyata ciuman itu tersambut. Ia membalas melumat bibirku, hingga ciuman yang tadinya direncanakan hanya dilakukan dengan 'sederhana', kini berubah panas dan membara.

Pria itu mengerang, menggumamkan namaku berulang. Tanpa melepaskan ciuman kami, ia melepaskan beberapa kancing jasnya lalu mengangkat tubuhku ke pangkuannya. Menempatkan kedua pahaku mengapit pinggul. Salah satu tangannya memeluk pinggangku erat, sementara tangan yang satunya menyelinap ke rambutku yang tergerai, jemarinya lembut membelai kulit kepala. Sesuai dugaanku, berciuman dengannya selalu saja luar biasa.

"Haruskah aku menghentikannya?" Arcano berbisik setelah menghentikan ciuman kami sejenak untuk mengambil napas.

"Menurutmu?" Aku tersengal, ia pun begitu.

"Aku ingin menunggu, tapi dua minggu itu terlalu lama." Kali ini ia menyurukkan wajahnya ke leherku, mengecup lembut di beberapa bagian hingga membuat jantungku berpacu.

"Cano ....," panggilku serak. Pria itu mengangkat wajah, menatap diriku dengan sorot mendamba, lalu kembali menyambar bibirku rakus sebelum aku mampu berkata-kata.

"Pintunya ...," erangku.

"Sudah kukunci." Ia menjawab dengan napas tersengal, lalu melanjutkan ciuman kami.

Aku terkekeh. "Nakal kamu," protesku dengan suara tertahan. Ia terkikik, lalu melanjutkan cumbuannya.

Dan kami menggila.

***

[Ge, kok sekarang kamu jarang main ke sini, sih?]

Pesan singkat dari Lisa kuterima ketika aku tengah berada di bis, dalam perjalanan pulang. Dan rasanya aku dilanda rasa bersalah. Sejak acara lamaran beberapa waktu lalu aku memang belum berkunjung ke tempat kost-nya. Bukan karena tengah disibukkan dengan persiapan pernikahan, tapi aku sengaja menjauh darinya.

Kenapa? Karena aku takut tak bisa mengontrol mulutku manakala bersamanya. Aku khawatir rencana pernikahanku yang akan dilaksanakan diam-diam dan privat, akan kuungkapkan padanya secara tak sengaja.

[Lagi banyak kerjaan, nih, Lis. Ntar kalo udah kelar, aku bakal main ke situ.] Aku memberi jawaban setelah merenung sejenak.

[Sip. Ntar gosip-gosip lagi, ya. Banyak banget yang mau kuceritakan ke kamu.]

[Samaaa....]

Lalu obrolan lewat pesan singkat itu aku sudahi karena bis yang kutumpangi sampai di halte. Setelah ini, aku masih harus berjalan sekitar 200 meter untuk ke rumah.

Ketika baru saja turun dan menginjakkan kakiku di aspal, panggilan itu mengalihkan perhatianku. Ketika aku mendongak, pria tegap yang mengenakan kemeja santai dan celana jeans sudah ada di sana. Duduk santai sembari menatapku dengan senyum. "Selamat malam, Ge."

Aku menggigit bibir kesal. Aditya.

Aku menyibakkan rambut lalu beranjak tanpa menghiraukan dirinya.

"Aku nungguin kamu, lho." Ia berujar lagi.

Lagi-lagi tak kugubris kalimatnya. Menoleh padanya pun aku enggan. Aku pernah bilang, kan, bahwa sebetulnya Aditya dikaruniai wajah yang rupawan. Belum lagi postur tubuhnya yang menjulang, tak jauh berbeda dengan Arcano. Dengan penampilannya, akan sangat mudah sekali untuk menyukainya. Harusnya kami bisa dekat, entah sebagai sahabat, entah sebagai calon ipar. Tapi, begitu mengingat apa yang ia lakukan padaku selama ini, ingin sekali kutampar mukanya berkali-kali.

"Ayo bicara, tentang calon suamimu."

Aku menelan ludah, langkahku terhenti seketika. Berbalik, kutatap pria itu dengan tajam. "Jangan berani membicarakan tentang dirinya," peringatku.

Aditya tersenyum lalu bangkit dan bergerak mendekatiku. Ketika kami sudah berhadapan, ia berucap pelan, "Arcano, pria depresi dengan gangguan jiwa yang berkali-kali mencoba mengakhiri hidupnya. Apakah Mamamu sudah tahu itu?" Senyumnya kembali terkembang. "Oh, belum ya? Perlu kubantu untuk memberitahunya? Tentang kondisi calon menantunya itu?" Ia mengangkat bahu santai.

Dan aku kalap seketika. Mendorong tubuhnya kasar, aku berteriak dengan marah, "Bangsat! Sebenarnya apa maumu?!"

***

Hai, ketemu lagi. Dan jelas slow update lagi. Hehe...

Terima kasih untuk yang masih betah mampir. Jangan ragu kasih tahu kalau ada typo maupun kekurangan lainnya.

I Love You.  

Salam dari Mas Aditya sing njaluk dipisuhi 🤣



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro