Tiga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dian datang menemuiku sepulang kantor. Entah kebetulan, nepotisme, atau apa pun namanya, tetapi dia juga bekerja di kantor Papa sebagai manajer divisi humas. Bicara dan menghadapi orang banyak memang sudah keahlian Dian sejak dulu.

"Gue sudah hampir yakin lo nggak bakal balik ke sini," omelnya begitu pelukan kami terlepas. "Lo beneran jahat. Gue pikir lo sudah memutuskan untuk beranak pinak di Makassar."

Aku hanya meringis. "Pasaran gue nggak terlalu bagus di sana. Kerjaan gue sebelum ke Papua cuman bolak-balik ke kampus-kontrakan-rumah sakit doang. "

"Alah, paling-paling lo juga yang kelewat jual mahal."

Aku tertawa. Dian masih seperti dulu. Kecuali penampilannya yang semakin dewasa dan menarik, dia sama sekali tidak berubah. Aku segera menggiring langkah Dian masuk ke dalam kamarku setelah mampir mengambil dua buah kaleng soda di kulkas.

"Gimana rasanya kerja di kantor Papa?" Aku menyusul Dian berbaring di ranjang setelah meletakkan kaleng soda di atas nakas.

"Papa lo baik. Tapi tegas dan disiplinnya itu, lho."

"Tapi Kak Elwan menyenangkan, kan?"

"Tentu saja." Dian meringis jail. "Penggemarnya banyak di kantor."

Ya, Kak Elwan memang keren sih, apalagi pembawaannya yang supel. Tidak sulit menyukainya. "Nggak heran sih." Aku ikut tersenyum.

"Lo nggak bertanya tentang Vino?" Dian memiringkan tubuh untuk menatapku. Dia tahu soal hubunganku yang buruk dengan Vino. Ada masa di mana dia mengutuk Vino karena sikap gagal dewasa yang tunjukkan dengan tidak bisa move on dari perceraian orang tuanya. Dian hanya tidak tahu soal perasaanku kepada Vino. Itu rahasia yang tidak pernah ingin kubagi dengan siapa pun juga, karena aku tahu itu perasaan yang tidak akan terbalaskan sampai kapan pun.

"Gue sudah dengar kabarnya dari Kak Elwan sih." Aku memutar bola mata. "Tapi kalau lo mau gue tanyain, oke, gue tanyain deh. Gimana kabar cowok paket komplit lo itu?" Aku membuat nada canda dalamm kalimatku.

Dian bangkit dari tidurnya. Dia duduk di tepi ranjang, meraih kaleng soda, dan mulai menyesap isinya. "Dia nggak banyak berubah sih. Masih cuek kayak dulu. Gue nggak terlalu dekat juga sama dia. Kayaknya, hanya pacarnya saja yang bisa dekat-dekat sama dia tanpa dicuekin." Dian mengangkat bahu. "Tapi penggemarnya juga tetap banyak. Ya, beberapa hal masih sama setelah sekian lama."

"Dia punya pacar?" Entah mengapa aku tidak suka mengucapkannya. Oh tidak, semoga kisah cinta anak monyetku tidak memasungku di masa lalu.

"Sepertinya sih begitu. Beberapa bulan ini ada perempuan cantik yang rajin banget menjemputnya makan siang. Kami pikir itu pasti pacarnya karena dia bisa seenaknya menggandeng Vino."

"Kami?"

Dian tertawa. "Gue dan anggota #timVino."

"Lo masuk tim Vino?" Aku memaksakan senyum. Entah mengapa semangatku langsung raib mendengar cerita yang dibawa Dian. "Lo ternyata masih suka bergosip kayak dulu."

"Bergosip itu obat stress yang mujarab, tahu!" Dian meringis."Gue nggak masuk tim Vino. Gue hanya senang ikutan nimbrung saat anggota tim Vino menggosip. Lo sudah ketemu dia?"

Aku menggeleng. "Belum. Ngapain juga gue nanyain kabarnya kalau sudah ketemu. Kak Elwan bilang kalau dia menginap di apartemennya week day gini. Dia baru akan pulang akhir pekan." Aku menghitung dalam hati. "Empat hari lagi. Itu pun kalau dia mau datang karena dia pasti sudah tahu gue pulang."

"Vino bukan ABG labil lagi, Nay. Dulu dia mungkin berpikir kalau pernikahan Mama-Papa kalian akan menjadi penghalang rujuk orangtuanya. Tapi nyatanya, bahkan setelah Mama lo meninggal pun kemungkinan itu nggak terjadi, kan? Dia pasti sudah move on."

Aku sedang memikirkan perkataan Dian itu saat masuk kembali ke dalam rumah setelah mengantarnya sampai di pintu gerbang pagar.

Mama juga berpendapat seperti itu dulu. Bahwa Vino menentang pernikahan papanya karena dia menginginkan kedua orang tuanya rujuk kembali. Aku sedang memikirkan Mama ketika langkahku tertahan di ruang keluarga. Ada foto Mama yang tergantung di dinding. Tadinya kupikir jejakku dan Mama sudah menghilang dari rumah ini, setelah aku pergi cukup lama. Dan karena Vino sudah kembali ke sini. Dia pasti tidak suka melihat sisa-sisa peninggalan Mama dan aku, foto ini, misalnya.

Mataku menghangat menatap Mama yang sedang tersenyum di depan kamera. Persis di sebelah foto itu, ada gambar diriku dengan bingkai yang sama besar. Berbeda dengan Mama, aku tidak tersenyum. Foto itu dulu diambil Kak Elwan secara candid karena aku tidak pernah mau disuruh berfoto.

Di foto itu, aku kelihatan menerawang dan tampak dari samping. Entah apa yang sedang kupikirkan. Mengapa juga sih Kak Elwan harus memilih foto itu untuk diperbesar dan digantung di dinding?

Aku tidak pernah suka jika disuruh berfoto, terutama kalau bersama Mama. Bukan, bukan karena aku tidak sayang Mama. Aku mencintai Mama dengan segenap jiwa. Aku bahkan sempat menyesal tidak bersama Mama di dalam mobil saat kecelakaan itu terjadi. Kalau aku bersama Mama, aku bisa ikut tewas, dan tidak perlu menjadi sebatang kara di dunia ini.

Aku tidak suka berada satu frame dengan Mama karena kami akan terlihat sangat berbeda. Tidak ada kemiripan satu tetes pun yang bisa ditemukan. Dan itu selalu mengingatkanku akan sesuatu yang ingin kulupa. Bahwa Mama bukanlah ibu kandungku.

Perbedaan fisik kami akan terlihat jelas kalau berdampingan dalam foto yang sama. Mama berkulit hitam manis sedangkan kulitku sangat putih. Pucat. Bola mata dan rambut Mama hitam, sedangkan mataku berwarna abu-abu dan rambutku cokelat. Tidak butuh orang genius untuk tahu kalau aku punya ras kaukasia dalam darahku. Dan aku tidak suka itu. Aku tidak suka terlihat berbeda dengan Mama.

Mama menceritakan tentang ibu biologisku ketika aku meminta penjelasan masuk akal mengapa kami terlihat begitu berbeda. Waktu itu aku berumur empat belas tahun.

Ibu biologisku adalah sahabat Mama sejak kecil. Mereka besar di panti asuhan yang sama. Menurut Mama, ibuku bertemu dengan ayahku saat menjadi guide untuknya. Mereka menikah, tetapi kemudian berpisah. Ibu meninggal setelah melahirkanku. Sejak saat itulah aku diasuh oleh Mama.

Waktu itu Mama menceritakan dengan kalimat yang halus, sesuai konsumsi anak seumurku. Setelah dewasa, aku punya versi sendiri, yang sayangnya tidak mungkin lagi kukonfirmasi dengan Mama. Aku pastilah hasil hubungan terlarang yang tidak diinginkan. Laki-laki asing yang semestinya kupanggil ayah itu pasti meninggalkan ibuku yang lantas meninggal karena patah hati saat melahirkanku.

Aku menarik napas panjang, menggelengkan kepala untuk mengusir berbagai hal yang hinggap di benakku. Inilah salah satu hal yang membuatku enggan pulang. Perasaan melankolis yang membuat hatiku terasa babak belur dihantam kenangan.

Aku lalu menarik kursi, bermaksud menurunkan fotoku yang melekat dinding. Fotoku saja. Aku tidak berhak menurunkan foto Mama dengan tanganku sendiri. Bagaimana pun, Mama adalah istri Papa. Sedangkan aku sebenarnya bukan siapa-siapa. Hubunganku dengan Mama hanyalah sebatas akta adopsi saja. Aku tahu Mama pasti akan marah besar jika mendengar aku mengucapkan kata-kata itu.

"Kamu ngapain?" Suara itu membekukan tanganku di udara. Itu bukan suara Kak Elwan dan aku tidak ingin menoleh untuk membuktikannya. Bukankah kata Kak Elwan Vino tidak akan pulang sebelum akhir pekan?

"Kamu mau ngapain dengan foto itu?" Suara Vino sudah terdengar dari sisi kursi yang kupakai memanjat.

"Saya... saya... mau menurunkannya," jawabku tergagap. Aku memberi jawaban formal, karena dia juga tidak menggunakan kata lo-gue seperti yang selalu kami pakai dalam percakapan kami dulu.

"Mengapa?" tanya Vino lagi.

Apakah aku harus menjelaskannya? Bukankah aku seperti parasit di matanya? "Saya... saya hanya nggak suka melihatnya."

"Kamu harus minta izin sama Kak Elwan kalau mau menurunkannya karena dia yang menggantungnya di situ."

"Tapi... ini foto saya," kataku bodoh.

"Iya, tapi Kak Elwan yang memasangnya."

Aku tidak ingin terlibat perdebatan dengan Vino di pertemuan pertama kami setelah berpisah sekian lama. Perlahan, aku menurunkan kaki ke lantai. Vino mengembalikan kursi yang kupanjat tadi ke tempatnya semula sebelum aku melakukannya.

"Sudah malam, saya mau tidur sekarang." Aku menunjuk ke atas. Aku harus segera kabur sebelum situasinya semakin canggung. Bahkan keberadaannya di dekatku terasa mengintimidasi.

"Naaayy...!" Tiba-tiba teriakan Kak Elwan terdengar. Dia lantas menyadari kehadiran Vino saat mendekat. "Oh, lo datang, Vin?" Kak Elwan menatap kami bergantian. Dia mungkin menangkap aura canggung yang menggantung di antara kami. "Nih, gue bawa martabak telur kesukaan lo." Kak Elwan mengacak rambutku dan lantas menarikku ke meja makan. "Ikut makan, Vin?" tawarnya.

Waduh, ini membingungkan. Baru saja aku mengatakan hendak balik ke kamar untuk tidur kepada Vino, tetapi menolak Kak Elwan yang sudah susah payah mampir untuk membelikan maratabak juga tidak enak. Aroma martabak itu juga sudah masuk dalam penciumanku.

Untungnya Kak Elwan tidak membiarkan aku berpikir lebih lama karena dia sudah menarik kursi untukku. "Ekstra daging dan daun bawang nih, Nay. Kesukaan lo belum berubah, kan?"

Aku terharu. Kak Elwan belum melupakan semua hal yang kusuka. Hubunganku dengan Kak Elwan memang dekat. Terlebih setelah kepergian Mama. Kak Elwan melakukan banyak hal untuk membuatku merasa tetap nyaman tinggal di rumah ini, berusaha meyakinkan kalau dia dan Papa benar-benar menyayangiku.

Aku hanya menjawab pertanyaan Kak Elwan dengan senyum dan mulai menyuap potongan martabak telur dengan acar timun itu. Namun sulit melakukannya di bawah tatapan Vino. Dari ekor mataku, aku bisa lihat dia mengamatiku. Apa yang dipikirkannya? Usaha untuk menyingkirkanku lagi?

"Gue mau tidur dulu, Kak. Masih capek," kataku setelah menghabiskan dua potong martabak dengan susah payah, hanya untuk menyenangkan Kak Elwan. Aromanya yang tadi menggoda ternyata tidak berhasil menaikkan selera makanku.

Kak Elwan mengusap lenganku. "Tidur yang nyenyak ya, Nay. Lo sudah di rumah sekarang."

Andai saja aku bisa melakukannya. Kurasa aku bahkan akan sulit memejamkan mata setelah sesaat beradu pandang dengan Vino secara tak sengaja. Dia diam, bibirnya terkatup rapat. Aku sama sekali tidak bisa membaca apa yang ada di balik tatapan tajamnya. Satu hal yang aku tahu dengan pasti, aku masih membawa sisa cinta masa kecilku ke hari ini. Hanya butuh sekian detik tatapannya untuk tahu. Aku belum pernah merasa membenci diriku sendiri seperti sekarang. Sembilan tahun! Aku meninggalkan Jakarta sembilan tahun. Demi Tuhan, itu waktu yang sangat lama. Dan aku kembali jatuh pada pesona orang yang sama. Orang yang menganggap aku musuh terbesar yang merampas kebahagiaannya karena tidak berhasil menyatukan orangtuanya kembali. Menyedihkan. Aku pastilah orang yang paling bodoh di dunia.

**

Papa sudah berada di meja makan ketika aku turun dari kamar keesokan paginya. Aku tertidur menjelang subuh, tetapi tidak mendengar kedatangannya.

"Jam berapa tiba, Pa?" tanyaku sambil memeluknya.

"Jam lima tadi, Nay." Papa membalas pelukanku. "Senang melihatmu sudah pulang."

Aku memaksakan senyum. "Papa mau langsung ke kantor?" Papa sudah rapi. Tinggal jasnya yang belum dikenakan. "Nggak capek?"

"Papa tidur di pesawat, Nay."

"Papa khawatir gue sama Vino akan menghancurkan perusahaan kalau dia nggak masuk kantor beberapa hari." Suara Kak Elwan membuatku menoleh. Dia menarik kursi dan duduk di dekatku. Dia juga sudah rapi. Vino yang berada persis di belakangnya menggabungkan diri di meja makan. Dia tidak mengatakan apa-apa dan langsung menyesap kopinya.

"Apa yang akan kamu kerjakan, Nay?" Papa tidak menjawab candaan Kak Elwan. "Maksud Papa, sambil menunggu pendaftaran sekolah spesialis. Masih lama, kan? Kamu nanti pasti bosan tinggal di rumah terus."

Papa benar. Aku sudah terbiasa bekerja. Sehari dua hari masih akan terasa menyenangkan diam di rumah, karena terasa seperti menikmati liburan. Namun aku tidak mungkin melakukannya sampai tahun depan. Dan tidak ada jaminan aku juga akan lulus tes itu.

"Nggak tahu, Pa. Nay belum tahu. Dan lagi, Nay nggak yakin bisa lulus di sini." Ini kesempatanku, aku mencoba memanfaatkannya. "Di Makassar kemungkinannya—"

"Tidak, Nay." Papa menggeleng. "Papa nggak mau terdengar egois, tapi membiarkan kamu terus berada jauh dari rumah membuat Papa merasa bersalah sama almarhumah Mama kamu."

"Mengapa ngotot di Makassar sih, Nay?" Kak Elwan menimpali. "Lo sudah punya pacar di sana, ya? Lo sudah janji untuk balik ke sana?"

"Benar begitu, Nay?" tambah papa.

Aku merasa wajahku memanas. Kak Elwan sama sekali tidak membantu. Dengan kulit yang putih begini, aku pasti sudah mirip udang rebus.

"Bukan gitu," jawabku buru-buru. "Ini hanya soal kemungkinan lulus saja."

"Jadi benar bukan soal pacar?" Kak Elwan tidak berhenti menggodaku. "Kalau lo sudah punya pacar, dia harus datang ke sini buat melamar lo. Baru deh kita bisa ikhlas lepas lo pergi dari rumah."

"Pacar apa, Kak?" gerutuku. "Gue nggak punya pacar."

"Kasihan—" Tawa Kak Elwan lantas pecah. Dia sepertinya senang sekali sudah berhasil membuatku gusar. "Tapi tenang saja, Nay, cari pacar nggak sesulit sekolah kedokteran kok. Gue punya banyak teman yang bisa gue kenalin sama lo. Gue bakal sortir deh. Hanya yang terbaik buat adek gue yang cantik."

"Berhenti mengganggu adikmu, Wan!" Papa membelaku, tetapi tak urung tersenyum. Papa rupanya menikmati candaan Kak Elwan juga.

"Temanku punya klinik. Kalau mau, aku bisa merekomendasikan kamu untuk kerja di sana. Pasti bisa. Dokter kalau cari kerjaan kan nggak terlalu sulit."

Aku menoleh cepat ke sumber suara. Vino! Aku pikir dia tidak akan bicara apa pun. Ini untuk yang pertama kalinya kami duduk dan makan di meja yang sama setelah pernikahan Mama dan Papa.

"Itu bagus, Vin," kata Papa terdengar bersemangat. "Supaya Nay punya kesibukan sambil menunggu pendaftaran pendidikan spesialisasinya."

"Saya—" Aku tidak tahu bagaimana harus menanggapinya.

"Nanti kasih aku CV kamu supaya bisa kukasihkan sama temanku itu," potong Vino pada kalimatku.

"Nanti gue yang bawa kantor besok, Vin." kata Kak Elwan. "Biar urusannya cepat beres. Lo balik ke apartemen nanti, kan? Kasihan Nay kalau kelamaan nganggur. Bisa-bisa dia kepikiran buat balik ke Makassar lagi."

"Nggak perlu. Gue pulang ke rumah kok sebentar. Dengan begitu Nay nggak akan merasa jika kepulangannya nggak gue inginkan, supaya dia berhenti mencari alasan untuk pergi lagi. Iya kan, Nay?"

Aku tidak bisa merespon. Lidahku terasa kelu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro