Enam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pagi ini ada dua kandidat calon sekretaris yang harus saya uji kelayakannya. Dua pria dengan latar belakang pendidikan berbeda. Manajemen dan Teknik Informatika. Tidak banyak pria yang tertarik menduduki posisi sekretaris untuk perusahaan swasta berkembang. Yang paling penting, saya ingin tahu motivasi mereka. Terutama untuk Teknik Informatika, di mana lapangan pekerjaan untuk spesialisasi tersebut terbuka lebar kenapa dia tertarik melamar posisi sekretaris perusahaan properti?

Dua map berisi data pribadi calon karyawan harus saya pelajari sebelum bertatap muka. Lima belas menit sebelum tatap muka, ada gangguan sedikit di benak saya. Tiba-tiba saya sukar berkonsentrasi ketika seorang OB meletakkan secangkir kopi di atas meja. Saya meletakkan data pribadi calon karyawan kemudian meraih secangkir kopi yang asapnya masih mengepul. Melihat cangkir kopi membuat saya teringat kejadian semalam.

Tingkah laku Enzi yang tidak wajar, mengusik pikiran gara-gara mata saya menangkap cangkir yang motifnya persis seperti cangkir di rumah. Padahal tadi pagi sebelum berangkat ke kantor saya sudah minum kopi dari cangkir serupa, tapi tidak ada reaksi apa-apa. Saya menarik napas dalam-dalam. Menyingkirkan cangkir kopi ke atas lemari buku, saya akan memulai mewawancarai kandidat satu per satu.

"Andini, tolong kamu telepon dia. Besok suruh datang ke kantor. Langsung offering." Satu jam sesudah sesi wawancara berakhir, saya langsung menuju ruang HRD. Menyerahkan data calon karyawan terpilih kepada Andini untuk dihubungi.

"Baik, Pak. Besok mau jam berapa?" tanya Andini sambil menerima map yang saya serahkan.

"Jam sepuluh. Tepat."

"Eh, sebentar, Pak. Besok, kan, libur."

Saya menggaruk tengkuk. Ah, bisa-bisanya saya sampai lupa kalau besok hari libur weekend. Waktu yang selalu ditunggu untuk mengajak anak-anak jalan-jalan, tapi saya malah melupakannya. Tidak mungkin saya mengalami gejala pikun mendadak begini, kan? Tampaknya saya harus semakin waspada.

"Ah, ya. Yang penting kamu telepon sekarang saja. Suruh dia datang besok Senin," saya meralat.

"Siap, Pak."

Sepertinya ada yang salah dengan kinerja sistem syaraf di otak saya. Sepadat apa pun aktivitas, saya selalu ingat hari-hari libur yang menghiasi kalender. Lupa ingatan versi ringan begini mengindikasikan saya memang kurang piknik. Kesempatan waktu luang Sabtu–Minggu mungkin harus benar-benar saya manfaatkan. Saya mulai mencari destinasi yang asyik untuk pergi berlibur bersama anak-anak.

Saya sengaja pulang kantor lebih awal. Terlebih dahulu saya menjemput Resaka dan Dheka di sekolahnya. Momen pulang bertiga seperti ini sangat jarang kami lakukan. Tidak langsung menuju rumah, saya mengarahkan mobil menuju kafe es krim. Berpasang-pasang mata pengunjung kafe yang didominasi anak muda itu, mengamati kami bertiga. Tidak merasa terganggu, saya sudah terbiasa mendapati perlakuan demikian. Barangkali mereka tertarik dengan dua bocah montok yang tengah beranjak remaja berjalan di sisi saya.

"Jadinya besok kita piknik ke mana, Pa?" tanya Resaka di sela aktivitas menjilati es krimnya.

"Papa ngikut saja kalian penginnya ke mana," jawab saya sembari mengelap mulut Dheka yang belepotan dengan tisu.

"Jangan ke rumah nenek, ya, Pa. Masa tiap liburan ke sana terus. Bosan," tukas Dheka.

"Kenapa bosan? Di rumah nenek, kan, banyak makanan. Kalian juga selalu dapat uang saku dari nenek kalau ke sana, kan?"

"Iya, tapi di sana nggak ada mainan. Nggak boleh main game, mainannya cuma sama sapi, kambing, ayam. Kan, Dheka bosan," komentar Dheka tanpa ragu mencomot es krim dari tangan saya karena jatah es krimnya sudah habis.

"Malah seru yang kayak gitu, loh," timpal Resaka.

Orang tua saya tinggal berkilo-kilometer jauh dari pusat kota Jogja. Sebuah desa di kabupaten Gunung Kidul, ibu saya dibantu oleh adik perempuan saya—yang sudah berkeluarga—beternak sapi, kambing, dan ayam. Ayah saya sudah meninggal lima tahun yang lalu. Seringnya kalau libur sekolah, Resaka dan Dheka saya kirim ke sana.

"Tapi, Dheka pengin refreshing beneran, Mas," protes Dheka pada kakaknya.

Ya, Dheka sama seperti saya. Saya juga bosan pulang ke rumah ibu. Kalau Dheka bosan disuruh membantu mandiin sapi dan kambing, saya bosan ditanya kapan menikah dan bosan dijodoh-jodohkan. Saya sudah bilang pada keluarga besar bahwa saya tidak akan menikah selamanya. Semua ini juga karena ayah dan ibu, salah siapa dulu melarang saya menikahi gadis pilihan saya.

Kalau dulu tidak dilarang, keadaan saya tidak akan semengenaskan ini. Kalau dulu direstui, tentu sekarang hidup saya sangat membanggakan. Kalau dulu diizinkan, jalan hidup saya tidak akan berliku seperti sekarang. Jangan salahkan pilihan hidup saya yang rela melajang di angka empat puluh dua. Kalau dulu ayah dan ibu tidak merestui saya menikah dengan gadis pilihan, lantas kenapa sekarang justru gencar menjodohkan?

"Gimana kalau besok kita naik bianglala, ke taman bermain?" usul saya seraya memperlihatkan tempat wisata yang menyuguhkan aneka macam permainan dari aplikasi Instagram.

"Bianglala? Wah, mau, Pa. Pokoknya besok Dheka mau jalan-jalan ke mana saja asal nggak ke rumah nenek. Dheka lagi malas disuruh mandiin sapi."

"Di sana ada kolam renang, kan, Pa? Aku pengin berenang, nih," sahut Resaka.

"Ada, dong. Komplit, lah."

Oke, keputusan sudah ditetapkan. Liburan akhir pekan bersama anak-anak tidak lagi sekadar wacana. Es krim sudah tandas, saatnya kembali ke rumah. Resaka dan Dheka segera berhambur keluar begitu mobil telah terparkir sempurna. Saya menyusul di belakang mereka.

Tidak tahu kenapa, otomatis mata saya menoleh. Biasanya kalau saya pulang kerja jam segini, Enzi ada di teras rumahnya. Bahkan tak jarang saya malah menemui sosoknya berada di dalam rumah saya. Namun kali ini, rumahnya sangat sepi tidak ada tanda-tanda berpenghuni. Mungkin Enzi sedang pergi. Seusianya memang harus banyak bergaul, mencari koneksi untuk mengembangkan diri. Apa lagi Enzi baru lulus kuliah, dia membutuhkan ruang gerak sebanyak-banyaknya untuk mengembangkan kemampuannya.

Tetapi hingga malam tiba, saya tidak mendengar ada aktivitas di rumah sebelah. Berulang kali saya mengecek keadaan, gelap. Lampu penerangan tidak menyala. Kebiasaan saya bila esok hari libur adalah begadang. Tidur di atas pukul dua belas malam adalah hal biasa. Sekarang sudah pukul setengah satu dan tidak ada tanda keberadaan penghuni rumah sebelah.

Saya menyimpan nomor kontak Enzi, tapi buat apa menghubungi. Hanya saja malam hari ini tiba-tiba ada firasat tertentu menghinggapi batin saya. Apa lagi di luar hujan deras. Sungguh aneh, kenapa tiba-tiba saya jadi peduli dengan Enzi? Menunggunya pulang seperti seorang ayah yang sedang menunggu anak gadisnya pulang kencan dengan pacarnya. Semoga saja Enzi tidak diculik.

Pada saat yang sama, terdengar seseorang mengetuk pintu. Siapa yang bertamu semalam ini?

"Enzi!" Saya terkejut menemukan seseorang di balik pintu. Penampilan Enzi sangat berantakan. Tubuhnya basah kuyup. Tetesan air hujan tidak dapat menyamarkan matanya yang sembab. Saya tahu dia habis menangis.

"Pak Garen, bolehkah saya ...." Enzi menggantungkan kalimat karena tubuhnya menggigil, gemetar. Dia tampak kedinginan. Berbicara saja kayaknya kesulitan. "Saya ...."

"Ayo masuk." Saya menarik tangannya, mengunci pintu lantas mendudukkan Enzi di sofa. "Tunggu sebentar."

Bergegas ke dalam kamar, saya mengaduk-aduk lemari. Mencari handuk, celana trening, kaos, dan jaket untuk Enzi. Saya juga menarik selimut dari atas kasur.

"Ganti baju kamu," ucap saya seraya mengangsurkan pakaian kepadanya. Enzi menatap saya cukup lama sebelum menerima berbagai perlengkapan yang saya sodorkan. Lalu, dia mengangguk. Tanpa saya tunjukkan, dia sudah tahu di mana letak kamar mandi rumah saya.

"Maaf." Enzi berucap sambil duduk di sebelah saya. Tubuh Enzi tampak tenggelam mengenakan setelan pakaian milik saya.

"Ayo, saya antar kamu pulang."

"Pak Garen, boleh nggak buat malam ini saja saya menginap di rumahnya Bapak?" pinta Enzi sambil mencengkram tangan saya. Matanya berkaca-kaca.

"Buat apa kamu menginap di rumah orang kalau kamu punya rumah, Enzi? Rumah kamu di sebelah. Jangan coba-coba memancing fitnah. Lebih baik kamu pulang sekarang."

Enzi menggeleng. Cengkeraman tangannya mengencang. Dia menatap saya lagi, seolah ... memohon dengan sangat.

"Saya sudah bilang sama Pak Awang kalau Pak Garen mengizinkan saya menginap di rumahnya. Cuma malam ini saja. Tolong saya, Pak." Enzi mulai menangis.

"Nggak usah nagis juga, Zi!" seru saya setengah panik. Repot kalau sampai ada tetangga yang mendengar kericuhan kecil ini. Nanti saya dikira berbuat kurang ajar sama Enzi.

Astaga, saya menjadi tempat pelampiasan, tempat penampungan anak-anak bermasalah. Dari awal saya sudah menduga kehadiran Enzi di sini mencurigakan.

"Ya sudah. Kamu tidur di sofa saja. Itu pakai selimutnya biar nggak kedinginan," cetus saya seraya beranjak, meninggalkan Enzi di ruang tamu sendirian.

Mengambil ponsel di atas nakas, saya berniat menelepon Pak Awang. Namun melihat penunjuk waktu di sudut kanan ponsel, saya mengurungkan niat. Saya mendesah lelah, hanya bisa pasrah. Sebelum naik ke atas ranjang, saya kembali mengecek keadaan Enzi. Wanita itu sudah tidur meringkuk di atas sofa. Dengkuran halusnya terdengar. Cepat sekali tidurnya, padahal baru ditinggal sebentar.

"Kamu ini anaknya siapa, sih. Bikin susah orang saja," gumam saya sembari menutupi tubuh Enzi dengan selimut.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro