Tiga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Project pembangunan hotel yang sempat terkendala perizinan akibat pemilihan lokasi dianggap tidak memiliki sisi potensi terhadap pertumbuhan kawasan di sekitarnya, akhirnya disetujui oleh pemerintah setempat. Saya heran dengan argumen yang diberikan, terkadang pernyataan yang tidak masuk akal itu hanya sebagai alasan saja. Mengingat pertumbuhan hotel dan fasilitas umum di Jogja semakin semarak, seharusnya perkara perizinan semacam ini dapat mudah diloloskan.

Sebelumnya survei lokasi sudah diproses secara matang hingga mempertimbangkan berbagai hal yang melibatkan keterlibatan masyarakat dan sistem drainase air di sekitar. Semuanya sudah disusun masak-masak. Ah, bagaimanapun berlikunya jalan yang dilewati, akhirnya saya mampu merasakan angin segar. Saya harus kembali ke kantor untuk mempersiapkan langkah berikutnya.

Seperti biasa, Laksmi menyambut kehadiran saya dengan sigap. Seolah paham cuaca di luar sana menyengat, dia membawa segelas es sirup ke ruangan saya.

"Terima kasih. Kamu nggak usah serepot ini, Laksmi. Saya bisa bikin sendiri," ucap saya ketika Laksmi meletakkan gelas itu di atas meja.

"Nggak apa-apa, Pak. Emangnya Bapak bakal sempat bikin? Mukanya aja capek gitu. Bapak kalau sudah di dalam ruangan, kan, betah banget. Nggak mau keluar-keluar," cetus Laksmi sembari duduk di depan saya.

"Ya, kalau lagi nggak pengin ngapain saya keluar? Toh, nanti kalau butuh saya juga bisa ambil minum sendiri. Kamu nggak usah sedetail itu memerhatikan saya. Saya bisa melakukan segalanya sendiri, Laksmi!"

"Memang sudah jadi tugas saya untuk memerhatian setiap detail buat Bapak, kan?" Suara Laksmi mengecil, tampaknya dia kaget mendengar intonasi suara saya yang cukup tinggi. Tidak hanya dia, saya sendiri juga terkejut.

"Sirupnya buat kamu saja. Saya sudah punya air mineral di kulkas," sahut saya seraya mengeluarkan laptop dari dalam tas kemudian menyalakannya.

Tentu saja saya jarang keluar ruangan kalau tidak terlalu urgent. Di dalam ruangan saya sudah tersedia fasilitas penunjang yang cukup memadai. Kulkas, yang di dalamnya selalu penuh dengan persediaan makanan sesuai selera saya. Kalau tidak sempat mengisi ulang, saya tinggal menyuruh OB untuk belanja. Dia sudah hafal apa yang saya suka. Kenapa saya tidak menyuruh Laksmi—sebagai sekretaris perusahaan sekaligus sekretaris pribadi saya—untuk mengisi ulang persediaan makanan? Karena dia pernah teledor ketika berbelanja. Daripada mendapat kesalahan yang sama, lebih baik saya tidak menyuruhnya berbelanja lagi.

"Maaf, kalau Bapak nggak suka. Permisi." Laksmi menggenggam gelas bening itu lantas membawanya pergi.

Wajah Laksmi terlihat begitu murung saat meninggalkan ruangan saya. Kenapa dia jadi begitu? Argh, saya menggeram kesal. Hanya masalah segelas es sirup saja urusannya jadi ribet begini. Saya tidak paham apa yang ada di pikiran wanita itu.

Dan, saya semakin tidak mengerti ketika Laksmi sama sekali tidak menyapa begitu saya keluar ruangan. Padahal saya menoleh ke arahnya, tapi dia tidak menegakkan wajah. Biasanya, Laksmi selalu menatap saya dengan senyuman lebar meskipun guratan lelah tergambar di wajahnya.

"Laksmi, tumben kamu belum pulang?" tanya saya sambil melirik arloji.

"Ini mau pulang," sahut Laksmi dengan gerakan buru-buru membereskan meja. Tanpa menatap saya, dia pergi melewati saya begitu saja. Apa yang terjadi dengannya? Ada apa lagi ini? Memangnya sefatal itu, ya, gara-gara saya menolak es sirup buatannya?

"Laksmi!"

Saya memanggilnya, tapi tidak ada sahutan. Malahan, Laksmi mempercepat langkah tanpa menoleh. Mungkin dia memang buru-buru ada urusan lain atau mungkin dia memang sedang tidak ingin memedulikan saya. Yah, padahal saya membutuhkan bantuannya esok hari. Mengurus berkas pembangunan hotel yang baru saja disetujui pihak berwenang tadi pagi. Kalau dia masih kayak gitu, urusannya bakal berbuntut panjang.

Senja nyaris bergulir. Waktunya nanggung kalau saya meneruskan perjalanan pulang. Sebaiknya saya menepi sebentar di sebuah tempat sekalian menunggu Dheka selesai les Matematika. Anak itu agak bawel kalau saya tidak bisa menjemput. Padahal sudah saya fasilitasi smartphone biar Dheka bisa pesan ojek online. Berangkat les bisa pakai ojek online, tapi pulangnya dia memaksa saya yang jemput. Harus pakai cara apalagi agar Dheka bisa mandiri, paling tidak dia tidak terlalu bergantung dengan orang lain. Dipikir nanti saja, deh.

Lantas, saya memilih kedai es krim yang pengunjungnya rata-rata mahasiswa. Kedai es krim yang dulu sering saya kunjungi setiap kali suntuk dan mempertemukan saya dengan seseorang tak terduga.

Sambil duduk menghadap jendela supaya leluasa memandang jalan raya, saya menikmati es krim tanpa peduli sekitar. Saya sadar beberapa pasang mata—terutama para wanita muda—menatap saya aneh, prihatin, kasihan, dan apa pun. Melihat pria dewasa menyantap es krim kekinian yang mayoritas pengunjungnya adalah anak muda, tentu ada yang menganggap tidak wajar.

"Sendirian saja, Om?" Seorang wanita yang tampaknya masih mahasiswa, duduk menjejeri saya. Dia memandangi saya dengan gerakan lidah menari-nari di seputar lapisan es krim cone. Kelihatannya sengaja. Entahlah, apa maksudnya.

"Iya," jawab saya sekenanya.

"Kenalin, aku Emma." Wanita itu mengangsurkan tangan, tapi saya abaikan. Fokus saya hanya menghabiskan es krim di tangan lalu bergegas menuju tempat Dheka les privat di rumah gurunya. Saya tidak berminat meladeni cabai-cabaian yang kurang kerjaan.

Tanpa mengucapkan sepatah kata, saya beranjak. Melenggang keluar kedai dengan seperempat es krim tersisa yang masih saya genggam. Melempar sisa es krim ke tempat sampah, kemudian saya langsung masuk ke dalam mobil. Tepat sekali saya memarkir mobil berhadapan persis dengan tempat duduk wanita bernama Emma tadi. Hanya dibatasi kaca bening, dia melambaikan tangan sambil menjilati es krimnya dengan cara aneh.

"Papa." Dheka membuka pintu mobil lantas duduk manis di samping saya.

"Gimana petualangan berhitung hari ini?"

"Biasa aja, Pa. Matematika dari dulu ya gitu-gitu aja. Nggak ada yang berubah kecuali gurunya yang ganti-ganti. Tadi ada tugas Matematika, Dheka cuma dapat enam."

Saya tertawa. "Ya sudah, besok dicoba lagi, ya."

Dheka mengangguk lantas asyik bermain game dari layar smartphone-nya. Sebelum tiba di rumah, saya mampir ke warung tenda di pojok perempatan. Membeli ayam penyet untuk menu makan malam. Pintu rumah terbuka lebar begitu kami tiba. Mungkin teman-teman Resaka sedang berkunjung. Mereka sering berkumpul di rumah, seolah-olah rumah sudah menjadi basecamp kegiatan mereka. Saya tidak keberatan, justru dengan begitu saya jadi tahu mereka ngapain saja.

"Hai, kalian sudah pulang."

Ternyata bukan teman-teman Resaka. Hanya seorang wanita tetangga sebelah yang menumpang duduk di ruang tamu. Sendirian, Resaka tidak terlihat. Jangan-jangan dia sengaja menerobos masuk rumah tanpa izin. Saya harus buru-buru mengecek apakah keberadaan barang-barang berharga yang ada masih tersimpan aman di tempat persembunyiannya.

"Kamu ngapain? Mana Resaka?" Saya berseru panik.

"Resaka lagi mandi. Barusan, kok," sahut Enzi sambil menoel pipi Dheka. Anehnya, Dheka tidak memberontak. Matanya malah mengerjap-ngerjap. Bisa centil juga bocah satu ini.

"Mandi? Kamu nungguin anak saya mandi?"

"Enggak gitu, Pak. Tadi saya mau minta tolong pasangin tabung gas, tapi Resaka nggak bisa. Saya diminta nunggu Bapak makanya saya di sini. Nungguin Bapak pulang," ucap Enzi sambil meringis tanpa dosa.

Astaga, bisa-bisa orang tua Enzi tega melepasnya seperti ini. Mengurus diri sendiri saja tidak bisa, malah disuruh hidup sebatang kara. Pasti dia terbiasa dimanja orang tua. Asal usulnya juga tidak jelas begitu. Katanya dari Malaysia, bisa jadi dia dideportasi oleh pemerintah sana gara-gara melanggar peraturan. Mungkin dia dikembalikan ke Indonesia sebagai bentuk hukuman.

"Maaf ngerepotin Bapak lagi. Kalau Bapak nggak bersedia membantu, saya bisa minta tolong yang lain, kok," cetus Enzi meremas jari-jemarinya, tapi matanya menatap ke arah saya terus-terusan. "Saya mau bikin mi instan, belum makan dari tadi siang. Ada kompornya, tapi nggak ada gas. Jadi saya beli gas dulu, cuma nggak bisa masang. Makanya ...."

"Iya, iya, saya bantuin pasang sekalian saya ajarin biar besok-besok kamu bisa pasang sendiri."

Belum juga sempat rebahan, sudah diminta pasang tabung gas. Kenapa pula dia harus menunggu saya datang? Kan, bisa minta tolong tetangga lainnya. Benar-benar wanita yang merepotkan.

"Nih, perhatikan. Semudah ini, kamu rugi kalau nggak bisa." Saya menunjukkan tutorial memasang regulator dengan posisi tegak lurus ke arah leher tabung, lalu memutar penguncinya searah jarum jam dengan posisi kemiringan 180 derajat. "Nah, sudah. Ini namanya regulator, kalau sudah terpasang dengan baik, tapi kompor nggak mau nyala, cek lagi indikator jarumnya. Dia harus bergerak ke kanan. Kalau nggak gerak berarti ada yang nggak beres. Paham?"

Enzi manggut-manggut.

"Sudah, ya. Saya balik."

"Terima kasih banyak, Pak Garen. Maaf, ya, ngerepotin melulu. Sekarang saya bisa bikin mi instan kapan saja," celetuk Enzi bertepuk tangan riuh.

Kening saya mengerut. Mi instan kapan saja? Kalau dikonsumsi terus-menerus bisa bahaya itu. Enzi bilang tadi siang belum makan dan sekarang mau memasak mi instan. Ya Tuhan, itu sangat buruk untuk lambung. Kemudian saya teringat ayam penyet yang saya beli di perempatan. Saya sengaja membeli porsi berlebih untuk persediaan kalau ada sesuatu terjadi di luar perencanaan.

"Kamu makan mi instan?"

"Hehe, iya. Habis lagi pengin makan mi, sih. Kan, saya nggak bisa masak."

Suram sekali hidupmu, Nak.

"Barusan saya beli ayam penyet. Mau?"

Mata Enzi berbinar. Dia bersorak semakin heboh. Saya menggelengkan kepala. Apakah dia memang sering segembira ini setiap dapat makanan gratis? Kelihatannya sudah dewasa, tapi tingkahnya tak lebih jauh kayak Dheka.

"Bapak nawarin saya makanan? Mau banget, dong. Saya paling suka ayam goreng apa lagi ayam penyet. Beneran saya boleh makan bareng Bapak?" tanya Enzi sekali lagi.

"Nggak ada salahnya berbagai rezeki," ucap saya mengedikkan bahu.

"Beneran? Wah, terima kasih banyak, Pak. Entar ayamnya saya ganti, deh. Yang lebih banyak."

"Nggak usah."

Saya melangkah ke luar pintu sedangkan Enzi menyejajarkan langkahnya dengan saya setelah menutup pintu rumah. Jarak antara rumah kami hanya beberapa meter saja. Enzi kelihatan begitu bahagia dikasih makanan gratisan. Dia berceloteh panjang lebar tanpa saya gubris. Namun, saya sempat memergokinya tersenyum dan tak sengaja melihat lesung di pipinya sebelah kanan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro